Terlalu Sering Memeriksa Media Sosial Mengubah Otak Remaja
Kebiasaan selalu memeriksa media sosial pada remaja dapat dikaitkan dengan perubahan kepekaan otak terhadap penghargaan dan hukuman sosial dari orang lain.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Media sosial telah menjadi gaya hidup sebagian besar anak-anak muda secara global, tetapi dampaknya bagi kesehatan jangka panjang belum banyak diketahui. Sebuah studi baru menemukan, kebiasaan selalu memeriksa media sosial pada remaja dapat dikaitkan dengan perubahan kepekaan otak terhadap penghargaan dan hukuman sosial dari orang lain.
Dalam kajian ini, para peneliti dari University of North Carolina di Chapel Hill dan tim meneliti kaitan seringnya mengecek situs media sosial (Facebook, Instagram, dan Snapchat) dengan perubahan perkembangan otak fungsional pada remaja awal, sekitar usia 12 tahun. Temuan ini dipublikasikan secara daring pada Selasa (3/1/2023) di JAMA Pediatrics.
Dengan menggunakan pemindaian otak yang disebut pencitraan resonansi magnetik fungsional (fMRI), para peneliti menemukan bahwa kebiasaan memeriksa dan mengunggah status di media sosial dapat dikaitkan dengan perubahan kepekaan otak terhadap penghargaan dan hukuman sosial dari orang lain.
”Kita tahu bahwa masa remaja adalah salah satu periode paling penting untuk perkembangan otak. Ia mengalami lebih banyak perubahan dalam reorganisasi kedua setelah yang kita lihat pada masa bayi,” kata penulis utama studi Eva Telzer, yang merupakan profesor psikologi dan ilmu saraf.
”Ini adalah periode perkembangan otak yang sangat dramatis, khususnya di daerah otak yang merespons penghargaan sosial,” tambahnya.
Penghargaan sosial pada dasarnya tidak terbatas pada situs media sosial. Mereka bisa berupa umpan balik tatap muka yang positif dari teman sebaya dalam interaksi sehari-hari.
Namun, belakangan penghargaan sosial di kalangan anak-anak muda lebih didominasi melalui sosial media. Penelitian lain menemukan bahwa beberapa remaja hampir selalu menggunakan ponsel, memeriksa media sosial mereka setidaknya setiap jam.
Dalam studi yang dilakukan selama tiga tahun, tim Telzer merekrut 169 siswa kelas enam dan tujuh dari tiga sekolah menengah negeri di pedesaan Carolina Utara. Peserta beragam ras dan termasuk anak laki-laki dan perempuan.
Para peserta melaporkan seberapa sering mereka memeriksa ketiga platform media sosial tersebut. Laporan mereka bervariasi mulai dari kurang satu kali sehari atau hingga lebih dari 20 kali sehari. Para peneliti menggunakan informasi ini untuk membuat skala.
Kemudian peserta menjalani pemindaian otak fMRI. Selama pemindaian ini, mereka akan melihat isyarat bahwa umpan balik sosial akan menjadi hadiah, hukuman, atau netral.
Mereka kemudian harus menekan tombol dengan cepat ketika target muncul. Para remaja kemudian akan mendapatkan hadiah atau hukuman sosial.
”Kami dapat memotret otak mereka dan melihat bagian otak mana yang diaktifkan ketika mereka melihat penghargaan sosial ini dan bagian otak mana yang berubah selama tiga tahun sebagai respons terhadap umpan balik dari rekan sebaya,” kata Telzer.
Namun, jika itu menjadi kompulsif dan membuat ketagihan serta menghilangkan kemampuan mereka untuk terlibat dalam dunia sosial mereka, hal itu berpotensi menjadi malaadaptif.
Peserta yang pada usia 12 tahun memeriksa media sosial lebih dari 15 kali sehari menunjukkan perbedaan dalam cara otak mereka berkembang selama tiga tahun berikutnya. ”Dan itu di daerah otak tertentu yang mendeteksi arti-penting dari lingkungan, menanggapi penghargaan sosial tersebut,” ujar Telzer.
Arti-penting mengacu pada elemen mana yang paling menarik perhatian orang dan akan memusatkan perhatian mereka.
Telzer mengatakan, hal ini menunjukkan bahwa remaja yang tumbuh terus menerus memeriksa media sosial mereka menjadi sangat sensitif terhadap umpan balik teman sebaya. ”Otak mereka semakin banyak merespons selama bertahun-tahun terhadap umpan balik penghargaan sosial yang mereka antisipasi,” kata Telzer.
Sekalipun menemukan ada perubahan, penelitian ini belum bisa memprediksi dampaknya bagi masa depan anak-anak. ”Ini berpotensi membuat otak menjadi semakin sensitif terhadap umpan balik sosial dan ini bisa berlanjut hingga dewasa,” kata Telzer.
Meski demikian, para peneliti belum mencoba melihat apakah mereka dapat mengubah lintasan ini.
Para peneliti melihat, perubahan otak pada remaja bisa mempromosikan perilaku media sosial yang kompulsif atau adiktif. Namun, mereka juga mencerminkan adaptasi yang membantu remaja menavigasi dunia digital yang semakin meningkat.
”Kami tidak tahu apakah ini baik atau buruk. Jika otak beradaptasi dengan cara yang memungkinkan remaja menavigasi dan merespons dunia tempat mereka tinggal, itu bisa menjadi hal yang sangat baik,” kata Telzer.
Namun, jika itu menjadi kompulsif dan membuat ketagihan serta menghilangkan kemampuan mereka untuk terlibat dalam dunia sosial mereka, hal itu berpotensi menjadi malaadaptif.
Orangtua, menurut dia, dapat membantu anak remaja mereka dengan memupuk aktivitas yang membawa kegembiraan di luar kegiatan media sosial, misalnya olahraga, seni, atau menjadi sukarelawan.
”Ini adalah studi asosiasional yang menggugah pikiran,” kata Kevin Staley, ahli saraf dan kepala layanan neurologi anak di Rumah Sakit Umum Massachusetts di Boston, yang mengulas temuan tersebut. ”Kami semua khawatir bahwa penggunaan media sosial secara kompulsif akan mengubah perkembangan di masa remaja,” katanya.
Staley menyarankan pentingnya lebih banyak penelitian untuk mengetahui dengan pasti bahwa media sosial mengubah otak remaja. Misalnya, peneliti mungkin melihat apa yang terjadi jika mereka mengambil ponsel anak-anak selama enam bulan untuk mencegah seringnya pemeriksaan media sosial.
Staley menambahkan, fMRI adalah jendela yang menarik ke dalam otak, tetapi masih belum bisa memberi gambaran menyeluruh mengingat kerumitan sirkuit otak. ”Ada banyak hal berbeda yang bisa dilakukan sirkuit itu, dan kami tidak memiliki jendela untuk mengetahui apa yang terjadi,” katanya.