Tahun 2023, Penonton Film Indonesia Ditargetkan Pecahkan Rekor Baru
Berakhirnya pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM membawa angin segar bagi dunia perfilman. Hal ini diharapkan dapat mendongkrak jumlah penonton film Indonesia.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Para penonton keluar dari salah satu gedung teater di bioskop CGV Grand Indonesia, Jakarta, Kamis (4/8/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Jumlah penonton film Indonesia diperkirakan akan memecahkan rekor baru pada tahun 2023. Berakhirnya pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM menjadi elemen penting untuk meningkatkan jumlah penonton dari tahun lalu.
Rekor penonton film Indonesia terbanyak masih dipegang tahun 2022, yakni sebanyak 54,07 juta orang. Jumlah itu cukup jauh di atas rekor tahun 2019 dengan penonton sebanyak 51,9 juta orang.
”Bukan tidak mungkin akan ada rekor (penonton film Indonesia) baru lagi di tahun 2023. Ekosistem industri perfilman juga semakin bertumbuh baik dalam kualitas maupun lainnya,” ujar Ketua Asosiasi Produser Film Indonesia Edwin Nazir, Rabu (4/1/2023).
Ekosistem industri film itu terdiri dari pendidikan, produksi, distribusi, ekshibisi, hingga apresiasi. Semua hal tersebut saling berhubungan untuk menyokong pertumbuhan penonton nasional. Semakin banyak penonton, maka semakin besar apresiasinya terhadap film.
Apresiasi tersebut akan membuka peluang dan minat untuk memproduksi lebih banyak film dengan genre yang beragam, bahkan dalam skala lebih besar. Di sisi lain, tingginya apresiasi terhadap film juga berpotensi menambah layar bioskop yang nantinya akan membuka peluang kerja dan meningkatkan pertumbuhan sekolah film.
Bioskop
Ketua Gabungan Pengelola Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) Djonny Syafruddin menuturkan, pandemi Covid-19 berdampak signifikan pada industri bioskop yang hampir membuat kolaps atau kebangkrutan. Jumlah layar bioskop hingga saat ini masih sebanyak 2.088 layar di 417 bioskop. ”Misalnya tidak pandemi, jumlah (2.088) layar bioskop dapat mencapai 3.000 (layar),” ucapnya.
Merujuk data GPBSI, per Februari 2022 jumlah layar bioskop masih didominasi Cinema XXI dengan 1.200 layar di 223 bioskop, CGV Indonesia 386 layar di 66 bioskop, dan Cinepolis sebanyak 314 layar di 63 bioskop. Masih ada 17 jenama bioskop lainnya yang rata-rata di bawah dua layar per bioskop.
Hingga kini, industri bioskop baru pulih sekitar 70 persen dan diharapkan dapat pulih sepenuhnya pada tahun 2023.
Perkembangan bioskop, kata Djonny, dipengaruhi faktor seperti ekonomi, situasi politik, film, dan daya beli masyarakat. Hingga kini, industri bioskop baru pulih sekitar 70 persen dan diharapkan dapat pulih sepenuhnya pada tahun 2023. Momentum awalnya saat pemutaran film KKN di Desa Penari yang tayang sewaktu Lebaran dan membawa harapan baru bagi pengelola bioskop.
Kepala Pemasaran dan Konten CGV Indonesia Diana Abbas mengutarakan, pihaknya akan menyajikan tayangan yang variatif di 2023, mulai dari film Tanah Air, Asia (Thailand, Korea, India, animasi Jepang, dan lainnya), hingga blockbuster internasional. Selain itu, studio bioskop menawarkan pengalaman dan kenyamanan menonton yang berbeda-beda, seperti 4DX, ScreenX, Satin, Gold Class, Velvet Class, Starium, dan Private Box.
KOMPAS/DENTY PIAWAI NASTITIE
Petugas merapikan tempat tidur di ruang Velvet di bioskop CGV Blitz, Grand Indonesia, Jakarta Pusat, Kamis (15/10/2015). Selain menawarkan sensasi berbeda melalui tontonan film empat dimensi (4DX), pengelola menawarkan kemewahan dan kenyamanan menonton film seperti berada di kamar sendiri.
”Kami optimistis okupansi bioskop di tahun ini meningkat dan bioskop terus menjadi opsi yang tepat sebagai sarana hiburan. Ini juga perlu didukung kerja sama yang baik dengan rumah produksi, media, dan film-film favorit di 2023,” tuturnya.
Tolok ukur atau barometer film yang tayang di bioskop masih ditentukan oleh wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Misalnya sebuah film tidak ditayangkan di daerah Jabodetabek, maka film tersebut juga tidak akan ditayangkan di bioskop di daerah-daerah.
”Penonton di daerah (luar Jabodetabek) lebih sering menonton film Indonesia, sedangkan di Jabodetabek lebih beragam pilihannya. Khusus film luar negeri paling banyak ditonton masyarakat Jabodetabek,” kata Djonny.
Akademisi perfilman dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Samuel Gandang Gunanto, menyebutkan, perbedaan perlakuan antara penonton Jabodetabek dan non-Jabodetabek hanya pada ruang lingkup akses bioskop. Ketersediaan bioskop terpusat di daerah Jabodetabek ketimbang di daerah.
”Berakhirnya PPKM melahirkan harapan baru bagi perfilman Indonesia. Produser dan sutradara lebih berani untuk menampilkan stok-stok film mereka karena pasar sudah terbuka lebar,” ujarnya.
Selain itu, kehadiran layanan streaming konten di internet (over the top) yang dinilai menjadi pesaing bioskop, kata Samuel, memiliki target pasar yang berbeda dari penonton bioskop. Masyarakat memilih menonton film dari bioskop karena waktu tayang lebih awal, terkurasi, dan atmosfer suasana yang disediakan di dalam studio.