Penyandang disabilitas masih menerima stigma negatif dari masyarakat. Hal ini membuat mereka kesulitan mengakses haknya.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Stigma negatif masih santer menimpa penyandang disabilitas, antara lain dianggap tidak mampu bekerja dan tidak diterima belajar di sekolah. Akibatnya, peluang difabel untuk menjadikan dirinya berdaya dan mandiri terhambat.
Ketua Komisi Nasional Disabilitas (KND) Dante Rigmalia mengatakan, penyandang disabilitas sulit mengakses pendidikan. Sebagian difabel ditolak saat mendaftar ke sekolah dengan alasan tidak ada guru atau ahli yang bisa menangani mereka. Ada juga yang tidak diberi kesempatan sekolah karena dipandang tidak mampu belajar oleh orang sekitar.
”Tanggapan underestimate (meremehkan) kerap diperoleh, padahal jika penyandang disabilitas mendapat lingkungan yang kondusif dan akomodasi layak, disabilitasnya bukan menjadi persoalan,” kata Dante, Rabu (4/1/2023).
Salah satu akibat stigma adalah rendahnya tingkat pendidikan penyandang disabilitas. Menurut Komisi Ekonomi dan Sosial Asia Pasifik Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCAP), hanya 3 dari 20 difabel anak yang mengenyam pendidikan usia dini. Anak yang mengikuti pendidikan sekolah dasar 36,4 persen, sekolah menengah pertama 60 persen, dan sekolah menengah atas 87,5 persen.
Di sisi lain, Badan Pusat Statistik (BPS) 2020 mencatat ada 20,51 persen penyandang disabilitas di Indonesia yang tidak pernah sekolah. Sebanyak 29,35 persen difabel tidak tamat SD, sementara 29,35 persen lainnya tamatan SD.
Rendahnya tingkat pendidikan difabel bakal memperkecil peluang mereka untuk memperoleh pekerjaan.
Difabel yang mengenyam pendidikan di tingkat lanjut lebih kecil lagi. Difabel dengan pendidikan terakhir SMP ada 9,97 persen, SMA 10,47 persen, dan perguruan tinggi 3,38 persen.
Peluang kerja
Rendahnya tingkat pendidikan difabel bakal memperkecil peluang mereka untuk memperoleh pekerjaan. Dante mengatakan, sebagian difabel kini bekerja di sektor informal dengan upah tak menentu atau bahkan tak digaji. Pekerja sektor informal juga umumnya tidak memiliki jaminan sosial.
Pemerintah lantas membuka peluang kerja bagi difabel. Misalnya, dengan menyediakan kuota tenaga kerja sebesar 2 persen di badan usaha milik negara (BUMN) dan badan usaha milik daerah (BUMD). Kuota 1 persen pun tersedia di perusahaan swasta.
Walakin, aksi afirmasi ini tidak mudah dipenuhi. Dante mengatakan, lowongan kerja umumnya disertai dengan sejumlah syarat dan ketentuan, misalnya jenjang pendidikan minimal SMA atau S-1. Padahal, jenjang pendidikan difabel di Indonesia rata-rata rendah.
”Kuota itu sulit dipenuhi. Itu sebabnya, kami mendorong Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi untuk melakukan education for all yang sesungguhnya,” ucap Dante.
Ia juga mendorong agar guru sekolah diberi pelatihan dan pemahaman sensitif disabilitas. Calon guru juga agar diberi mata kuliah untuk memahami dan menangani penyandang disabilitas. Perusahaan juga didorong untuk mengalokasikan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) untuk mendukung difabel.
Adapun Kementerian Sosial membuka peluang pemberdayaan difabel, baik melalui pelatihan keterampilan maupun pameran, seperti Hari Disabilitas Internasional (HDI) Expo yang digelar di Jakarta, 30 Desember 2022. HDI Expo, antara lain, memamerkan karya difabel, seperti makanan dan minuman, kain, dan kerajinan tangan.
Menteri Sosial Tri Rismaharini sebelumnya mengatakan, produk para difabel bagus, tetapi terkendala pemasaran. Penyandang disabilitas akan diajarkan berwirausaha secara daring.
”Ini tidak hanya membuat produk, tetapi juga bagaimana mereka bisa mengakses pasar yang utama. Hanya, saya coba perbaiki kualitasnya supaya mereka (bisa) masuk pasar menengah atas,” ujar Risma.
Difabel juga bakal dibekali keterampilan sesuai dengan minat, seperti pijat bagi tunanetra. Tunanetra dari Jawa Barat, Jajang Komar (43), mengatakan, ia ikut pelatihan pijat selama setahun pada 2022. Setelahnya, ia bekerja di beberapa panti pijat. Ia kini telah mendirikan dua gerai pijat.