Capaian Pengendalian Emisi Perlu Didukung Penguatan Komitmen di Sektor Energi
Hasil inventarisasi gas rumah kaca nasional menunjukkan Indonesia bisa mengendalikan emisi di bawah skenario yang ditetapkan. Tahun ini harus jadi momentum untuk memperkuat penurunan emisi, terutama dari sektor energi.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hasil inventarisasi gas rumah kaca nasional menunjukkan Indonesia bisa mengendalikan emisi di bawah skenario yang ditetapkan. Ke depan, upaya pengendalian emisi perlu terus diperkuat dengan agenda di tingkat lokal dan global, khususnya di sektor transisi energi.
Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Adila Isfandiari menyampaikan, selama ini sudah ada beberapa perbaikan komitmen iklim dari Pemerintah Indonesia. Hal itu, di antaranya, ditunjukkan dengan sejumlah upaya dan aksi nyata dalam mengatasi krisis iklim, khususnya di tingkat global sepanjang tahun 2022.
Contoh perbaikan komitmen ini ialah pembaruan target dokumen kontribusi nasional penurunan emisi (NDC) dan komitmen transisi energi yang didorong dalam pertemuan G20. Dalam pembaruan NDC tersebut, Indonesia meningkatkan target penurunan emisi menjadi 31,89 persen dengan upaya sendiri dan 43,2 persen dengan dukungan internasional.
Capaian ini bukan berarti kita kemudian tidak memperjuangkan agar negara-negara maju memenuhi komitmennya. Jadi, kita tetap menuntut dan melakukan upaya lainnya yang lebih keras. Capaian ini merupakan hasil kerja bersama.
”Namun, masih banyak perbaikan dan peluang yang dapat diambil oleh pemerintah untuk meningkatkan komitmen iklim Indonesia di tahun 2023. Seperti pada pembaruan NDC, walaupun ada peningkatan target, ternyata NDC Indonesia masih sangat tidak cukup untuk mencapai target Kesepakatan Paris,” ujar Adila di Jakarta, Rabu (4/1/2023).
Komitmen transisi energi Indonesia juga dipandang belum optimal. Sebab, rencana percepatan pengakhiran masa operasional pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara belum tertuang dalam rencana mitigasi pembaruan NDC. Padahal, pensiun dini PLTU perlu dilakukan secepatnya untuk memberikan ruang bagi pengembangan energi terbarukan.
Adila juga menilai masih terdapat berbagai solusi yang justru berpotensi meningkatkan emisi gas rumah kaca (GRK), seperti pencampuran batubara dengan biomassa (co-firing) PLTU, biofuel, dan teknologi batubara bersih. Berbagai solusi yang tidak tepat sasaran inilah yang perlu dilakukan perbaikan pada pembaruan NDC mendatang.
Selain itu, pemerintah juga harus memanfaatkan peluang komitmen pendanaan Just Energy Transition Partnership(JETP) untuk Indonesia pada G20 guna mendorong percepatan transisi energi. Hal ini sekaligus untuk mengakhiri ketergantungan Indonesia terhadap batubara yang menghasilkan emisi GRK tinggi.
”Peningkatan komitmen dan aksi iklim Indonesia sangat dibutuhkan, terlebih lagi proses global stock take akan dimulai pada 2023 untuk menilai perkembangan pencapaian target Kesepakatan Paris dari setiap negara,” kata Adila.
Berdasarkan data hasil inventarisasi GRK nasional, Indonesia bisa mengendalikan emisi selama penghitungan dua tahun terakhir, yakni 2020 dan 2021. Bahkan, emisi yang dihasilkan Indonesia tercatat di bawah skenario yang ditetapkan.
Dalam inventarisasi GRK nasional, pemerintah menetapkan target skenario penurunan emisi melalui upaya sendiri (CM1) dan skenario dengan bantuan internasional (CM2). Skenario penurunan emisi ini setiap tahun terus meningkat hingga mencapai target pada 2030.
Pada 2020, target CM1 yang ditetapkan ialah 1.476 megaton setara karbondioksida (MtonCO2e) dan 1.279 MtonCO2e untuk target CM2. Sementara emisi Indonesia dari hasil inventarisasi GRK nasional tahun 2020 yang telah diverifikasi mencapai 1.080 MtonCO2e.
Sementara pada 2021, emisi yang dihasilkan Indonesia mencapai 1.038 MtonCO2e atau lebih rendah dari target skenario CM1 sebesar 1.511 MtonCO2e ataupun CM2, yakni 1.341 MtonCO2e. Namun, hasil inventarisasi GRK tahun 2021 ini masih belum diverifikasi.
Tingkat tapak
Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Laksmi Dhewanthi dalam acara refleksi akhir tahun 2022, pekan lalu, di Jakarta, menyatakan, hasil inventarisasi GRK nasional tersebut menunjukkan bahwa Indonesia sudah bisa mengendalikan emisi, bahkan di bawah target CM2.
”Akan tetapi, capaian ini bukan berarti kita kemudian tidak memperjuangkan agar negara-negara maju memenuhi komitmennya. Jadi, kita tetap menuntut dan melakukan upaya lainnya yang lebih keras. Capaian ini merupakan hasil kerja bersama,” ucapnya.
Menurut Laksmi, komitmen global penurunan emisi ini juga direfleksikan hingga ke tingkat tapak yang ditunjukkan melalui Program Kampung Iklim (Proklim). Sampai saat ini, sebanyak 424 Proklim telah terbentuk di seluruh wilayah di Indonesia. Program ini akan terus ditingkatkan untuk mencapai target terbentuknya 20.000 Proklim hingga 2024.
”Proklim bertujuan untuk meningkatkan ketahanan iklim. Namun, pada saat yang bersamaan, Proklim juga menyumbang penurunan emisi gas rumah kaca di Indonesia. Semua upaya ini dicatat dalam sistem registri nasional Indonesia,” ucapnya.
Laksmi menegaskan bahwa sesuai dengan kesepakatan dalam Konferensi Perubahan Iklim ke-27 (COP27) di Mesir, Indonesia tetap setuju untuk memperkuat sektor energi. Namun, hal ini harus diimbangi dengan sektor lainnya, seperti kehutanan dan kelautan. Ke depan, KLHK juga akan terus mengembangkan, memperbarui, dan memperkuat aksi-aksi melalui seluruh sistem pendukung pengendalian perubahan iklim.