2023, Tahun Momentum Kebangkitan Kesenian Indonesia
Berakhirnya pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM menjadi momentum bangkitnya seni rupa Indonesia. Karya-karya yang sebelumnya tersimpan dalam ruangan tertutup akan kembali dinikmati publik secara bebas.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Pengunjung menyaksikan karya yang ditampilkan dalam pameran fotografi cetak tua Eksplorasa di Pendhapa Art Space, Bantul, DI Yogyakarta, Selasa (3/1/2023). Pameran ini diikuti 74 peserta pameran yang berasal dari kalangan mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Kegiatan yang menampilkan 150 karya foto yang dicetak menggunakan teknik cetak tua ini berlangsung hingga 4 Januari 2023.
JAKARTA, KOMPAS — Tahun baru 2023 menjadi momentum bangkitnya kesenian Indonesia. Para pelaku seni akan memperjuangkan kebebasannya untuk menuangkan kreativitas dalam berbagai macam karya. Apalagi, sepanjang 2023 hingga 2024 Indonesia akan memasuki tahun politik.
Ketua Pengurus Koalisi Seni Kusen Alipah Hadi mengatakan, kebebasan berkesenian (artistic freedom) akan menjadi fokus perjuangan sebagai upaya membangkitkan kembali kesenian Indonesia. Kebebasan yang dimaksud berupa kebebasan untuk membayangkan, menciptakan, dan mendistribusikan karyanya.
”Sebuah karya memiliki ekspresi yang beragam. Keberagaman ini harus bebas dari sensor pemerintah, intervensi politik, dan tekanan-tekanan dari aktor lainnya,” ujarnya, Selasa (3/1/2023).
KOMPAS/RIZA FATHONI
Pengunjung menikmati karya seni yang ditampilkan dalam pameran Artina Sarinah#1 di Sarinah Thamrin, Jakarta Pusat, Jumat (16/12/2022).
Seniman sering kali terlibat dalam gerakan masyarakat sipil dalam perjuangan terkait isu lingkungan, sosial, antikorupsi, dan hal lain yang sensitif. Pelarangan dan pembatasan atas sebuah karya seni seharusnya tidak terjadi. Upaya membatasi seni merupakan pelanggaran atas hak asasi manusia. Menurut dia, untuk mengukur pemenuhan hak asasi manusia di suatu negara dapat dari kebebasan para senimannya.
Pada saat pandemi Covid-19, para seniman menghabiskan waktu mereka untuk menghasilkan karya seni. Karya-karya yang sebelumnya terpenjara dalam ruangan tertutup akan kembali dinikmati publik secara bebas dan luas di tahun ini.
Momentum
Ketua Umum Persatuan Pelukis Setyo Purnomo yang lebih dikenal sebagai Kembang Sepatu mengatakan, dengan berakhirnya pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM), pameran seni akan menjamur untuk memanjakan mata masyarakat dan kolektor seni.
”Konsep dari karya seni yang ditampilkan juga akan lebih berkembang. Contohnya, perupa dapat lebih leluasa mengekspresikan ide ke karyanya,” ujar Kembang yang juga Ketua Asosiasi Guru Seni Budaya Nasional saat ditemui di pameran North Art Space, Jakarta.
Sebuah karya perlu mendapat respons untuk dapat disebut sebagai seni. Respons ini lahir dari reaksi masyarakat atas sebuah karya seni, entah dalam pameran, pertunjukan, ataupun lainnya.
Konsep tersebut dituangkan seniman melalui komunitas untuk mewadahi kreativitas mereka. Kebebasan berkesenian telah menjadi dasar utama dalam komunitas sehingga seniman dapat menuangkan ekspresi mereka secara bebas tanpa batas.
Selain itu, dunia seni memerlukan regenerasi seniman. Sering kali seniman baru tidak mendapatkan tempat dan terbelenggu oleh seniman senior. Padahal, di era perkembangan teknologi membutuhkan seniman baru yang mudah beradaptasi.
Ketua Umum Persatuan Pelukis Setyo Purnomo yang lebih dikenal sebagai Kembang Sepatu saat menunjukkan kedua lukisannya di pameran seni rupa di North Art Space, Jakarta, Selasa (3/1/2023).
Menurut Ketua Kelompok Seni Tari Rupa dan Komporseni yang berbasis di Yogyakarta, Mahendra Pampam, dunia seni akan berkembang baik dari segi konten maupun teknisnya pada 2023. Kemunculan karya-karya dengan bantuan artificial intelligence (AI) semakin memperluas khazanah seni rupa kontemporer.
”Seni akan semakin melebur. Sekat-sekat yang sebelumnya ada pada seni lukis, grafis, patung, instalasi, video art, dan lainnya akan memudar,” ucapnya.
Perkembangan tidak melulu soal perluasan atau peruncingan, tetapi juga peningkatan aktivitas dalam karya seni. Hal ini akan mengurangi pengotak-ngotakan antara seni konvensional dan kontemporer. Konvensional berarti seni yang mengedepankan konsep tradisional tertentu dan baku, sedangkan kontemporer penuh dengan pembaruan dan penggabungan antargagasan ataupun ide.
Respons
Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada, Derajad Sulistyo Widhyharto, menuturkan, momentum ini dapat dimanfaatkan perupa untuk memperluas pengaruhnya. Sifat dasar manusia, yakni makhluk sosial yang membutuhkan interaksi dan kegiatan sosial, termasuk dalam kesenian.
”Sebuah karya perlu mendapat respons untuk dapat disebut sebagai seni. Respons ini lahir dari reaksi masyarakat atas sebuah karya seni, entah dalam pameran, pertunjukan, ataupun lainnya,” kata Derajad.
Penari tampil dalam acara Pentas Akhir Tahun 2022 di Gandaria City, Jakarta Selatan, Minggu (18/12/2022). Acara ini menampilkan 20 tarian dari sejumlah daerah di Indonesia.
Pertemuan antara penikmat seni dan pelaku seni melahirkan momentum kebangkitan itu. Pada saat pandemi, para perupa dapat menangkap fenomena sosial yang tidak terlihat, lalu dituangkan dalam sebuah karya. Karya tersebut akan dinilai masyarakat sesuai dengan kemampuan mereka untuk menangkap makna suatu karya seni.
”Karena kacamata (cara pandang) seniman menangkap fenomena yang menjadi fokus utama masyarakat. Kemampuan mereka mengeksplorasi celah tersebut menjadi nilai tambah sebuah karya,” ucap Derajad.