Kegagalan prediksi cuaca ekstrem masih bisa diterima, terutama jika publik juga mendapat literasi mengenai keterbatasan pemodelan. Namun, peringatan dini bencana seharusnya hanya dikeluarkan otoritas resmi.
Oleh
AHMAD ARIF
·5 menit baca
Peringatan dini banjir besar di Jabodetabek yang disampaikan peneliti Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Erma Yulihastin pada 26 Desember 2022 melalui akun media sosial Twitter memicu kontroversi. Unggahan yang diberi judul ”Potensi Banjir Besar Jabodetabek” ini diikuti pernyataan, ”Siapa pun Anda yang tinggal di Jabodetabek dan khususnya Tangerang atau Banten, mohon bersiap dengan hujan ekstrem dan badai dahsyat pada 28 Desember 2022.”
Dia kemudian menjelaskan penyebab potensi badai dahsyat itu berdasarkan pemodelan cuaca dari Sadewa (satellite-based early warning system)-BRIN, ”Maka Banten dan Jakarta-Bekasi akan menjadi lokasi sentral tempat serangan badai tersebut dimulai sejak siang hingga malam hari pada 28 Desember 2022.”
Unggahan menjadi viral, dilihat 5,5 juta kali dan disukai 15.800 kali. Apalagi, sejumlah media daring kemudian mengamplifikasi peringatan dini tersebut. Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono, yang hari itu berkunjung ke kantor Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) kemudian menyarankan perkantoran menerapkan kebijakan bekerja dari rumah.
Kita tidak bisa fanatik dengan satu model cuaca untuk memberi peringatan dini. Model cuaca Sadewa bisa salah, begitu juga model cuaca BMKG.
Pada 27 Desember 2022, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) kemudian menggelar konferensi pers untuk menyikapi prediksi cuaca peneliti BRIN ini. Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dan Deputi Bidang Meteorologi BMKG Guswanto menyatakan, tidak ada indikasi bakal adanya badai dahsyat di Jabodetabek pada tanggal tersebut. Prakiraan cuaca pada 28 Desember 2022 pada umumnya adalah hujan dengan intensitas sedang hingga lebat, tetapi bukan badai.
Pada akhirnya, badai dan banjir besar tidak terjadi di Jabodetabek. Dari 20 titik pengamatan hujan di wilayah Jakarta yang diukur BMKG, sepanjang 28 Desember pukul 07.00 WIB hingga 29 Desember pukul 07.00 WIB, hujan tertinggi yang terukur sebesar 60 mm, yaitu berlokasi di Pompa RW 001 Semanan, Jakarta Barat. Hujan tertinggi kedua terukur 55,8 mm dari alat Automatic Rain Gauge Mauk Tangerang.
Sekalipun dalam kategori cukup lebat, hujan ini jauh dari kategori ekstrem, yang biasa didefinisikan jika intensitas hujan lebih dari 150 mm per hari. Menyikapi kegagalan prediksi ini, ahli iklim BMKG Supari, Selasa (3/1/2023), mengatakan, keandalan pemodelan cuaca seperti yang dipakai Sadewa secara numeris tergantung pada dua komponen, yaitu kemampuan model mereplika proses dinamika atmosfer dan keakuratan initial condition dalam merepresentasikan kondisi atmosfer terkini.
Selain dua komponen ini, ada faktor lain, yaitu tingkat prediktibilitas obyek cuaca atau seberapa mudah obyek itu diprakirakan. Misalnya, memprakirakan angin lebih mudah ketimbang memprakirakan hujan. Memprakirakan sistem cuaca di wilayah tropis, apalagi kepulauan tropis seperti Indonesia, lebih susah daripada sistem cuaca di lintang tinggi.
Namun, pesan terpenting yang perlu dipegang sebagai seorang ilmuwan adalah semua pemodelan tidak ada yang sempurna. Karena bisa keliru, kita tidak bisa fanatik dengan satu model cuaca untuk memberi peringatan dini. Model cuaca Sadewa bisa salah, begitu juga model cuaca BMKG.
Untuk mengurangi celah ini, lembaga otoritas seperti BMKG biasanya tidak hanya menggunakan satu model. Misalnya, terkait potensi cuaca ekstrem di pergantian tahun, BMKG bisa menjalankan 5 pemodelan sekaligus, dengan memasukkan 3 model untuk prediksi hujan ekstrem dan 2 model hujan sedang. Dari pemodelan ini, forecaster atau ahli prakiraan cuaca yang akhirnya memutuskan apa yang berpotensi terjadi sebelum disampaikan ke publik sebagai prakiraan cuaca biasa atau peringatan dini cuaca ekstrem.
Satu pintu
Laporan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) pada Maret 2022 lalu menyebutkan, sistem peringatan dini merupakan ujung tombak untuk mengurangi risiko jatuhnya korban jiwa dan kerugian ekonomi di tengah menguatnya perubahan iklim. Sistem peringatan dini ini harus memungkinkan masyarakat mengetahui bahwa cuaca berbahaya akan datang. Selain itu, sistem ini harus menginformasikan bagaimana pemerintah, masyarakat dan individu dapat bertindak untuk meminimalkan dampak yang akan datang.
Agar sistem peringatan dini efektif, komunikasi risiko mesti dijalankan dengan baik. Peringatan dini tidak boleh kontradiktif agar tidak membingungkan publik.
Dalam hal ini, sesuai Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 tentang Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, Pasal 30, 31, dan 33, disebutkan BMKG wajib memberikan pelayanan informasi publik yang rutin menyangkut prakiraan cuaca, hingga peringatan dini cuaca dan iklim ekstrem. Jadi, sesuai UU, BMKG sebagai institusi seharusnya yang berwenang memberikan informasi dini cuaca ekstrem, bukan individu peneliti dari BRIN.
Sekalipun peringatan dini menjadi ranah BMKG, riset dan eksperimentasi terkait pengurangan risiko cuaca ekstrem tentu saja sangat dibutuhkan. Apalagi, Pasal 70 Ayat 2, UU 31/2009 menyebutkan, penelitian meterologi, klimatologi, dan geofisika bisa dilakukan badan, lembaga penelitian, perguruan tinggi, dan/atau warga negara Indonesia. Namun, Pasal 70 Ayat 3 menyebutkan, penelitian yang sensitif dan berdampak luas wajib dilaporkan ke BMKG.
Prakiraan cuaca ini pada dasarnya merupakan produk sains, dan karenanya butuh dukungan penelitian, termasuk eksperimentasi. Namun, ketika ada potensi cuaca ekstrem dan kemudian disampaikan ke publik menjadi peringatan dini yang perlu direspons segera banyak pihak lain, maka hal itu seharusnya disampaikan melalui satu pintu.
Kegagalan prediksi cuaca ekstrem barangkali bisa diterima, terutama jika publik juga mendapat literasi mengenai keterbatasan pemodelan yang dilakukan. Toh, saat ini publik juga bisa mengakses berbagai produk informasi cuaca, termasuk yang disajikan Sadewa melalui telepon pintar.
Namun, menafsirkan data pemodelan menjadi peringatan dini ke publik seharusnya melalui satu pintu oleh otoritas resmi, dalam hal ini BMKG, karena hal itu bisa membawa konsekuensi hidup dan mati, selain potensi kerugian ekonomi.