Ancaman terhadap Kemerdekaan Pers Menjelang Tahun Politik
Pasal-pasal bermasalah dalam KUHP potensial mengkriminalisasi kerja jurnalistik. Karena itu, ruang partisipasi untuk mengubah pasal-pasal tersebut perlu dibuka.
Oleh
HIDAYAT SALAM
·3 menit baca
KOMPAS/YOLA SASTRA
Koordinator lapangan aksi berorasi dalam unjuk rasa yang digelar anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Padang dan perwakilan lembaga pers mahasiswa di Kota Padang, Sumatera Barat, Senin (5/12/2022),
JAKARTA, KOMPAS — Memasuki tahun politik dan pemilu 2024, media massa rentan mengalami kriminalisasi. Sejumlah pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana berpotensi mengancam kemerdekaan pers. Padahal, media bekerja untuk memenuhi hak publik untuk mengakses informasi secara transparan dan berimbang.
Wakil Ketua Komisi Pemberdayaan Organisasi Dewan Pers Atmaji Sapto Anggoro menjelaskan, pihaknya menyarankan reformulasi 17 pasal dari 11 kluster Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang berpotensi mengancam kemerdekaan pers.
Namun, masukan yang telah diserahkan kepada pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) itu tidak mendapat respons.
Maka dari itu, ruang partisipasi perlu dibuka untuk mengubah pasal-pasal bermasalah pada tenggat waktu tiga tahun sebelum KUHP baru itu diberlakukan. Jika pasal-pasal bermasalah itu dipertahankan, hal tersebut sangat potensial mengkriminalisasi kerja-kerja jurnalistik.
Kami bersama komunitas masyarakat sipil lainnya ke depan mengupayakan menyusun langkah-langkah lainnya, salah satu alternatifnya dengan judicial review (uji materi).
Menurut Atmaji, terutama menjelang Pemilu 2024 yang dimulai pada 2023 mendatang, para jurnalis menjadi tidak leluasa menyampaikan fakta jurnalistik karena dalam pikiran dan alam bawah sadarnya yang khawatir terkait dengan risiko hukum.
”Karena itu, kami bersama komunitas masyarakat sipil lainnya ke depan mengupayakan menyusun langkah-langkah lainnya, salah satu alternatifnya dengan judicial review (uji materi),” kata Atmaji saat dihubungi, di Jakarta, Sabtu (31/12/2022).
KOMPAS/VINA OKTAVIA
Koalisi Masyarakat Sipil Lampung menggelar aksi penolakan pengesahan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana di Bandar Lampung, Senin (5/12/2022).
Dari hasil kajian Dewan Pers, setidaknya 17 pasal dari 11 kluster RKUHP berpotensi mengancam kemerdekaan pers.
Beberapa pasal, di antaranya, ialah Pasal 188 yang mengatur tindak pidana penyebaran atau pengembangan ajaran komunisme/marxisme-leninisme, serta Pasal 218, 219, dan 220 tentang tindak pidana penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden dan wakil presiden.
Ada juga Pasal 240 dan 241 yang mengatur tindak pidana penghinaan terhadap pemerintah. Selain itu, Pasal 264 tentang tindak pidana kepada setiap orang yang menyiarkan berita yang tidak pasti, berlebih-lebihan, atau yang tidak lengkap.
Sementara peneliti pemantau regulasi dan regulator media, sekaligus dosen Ilmu Komunikasi di Universitas Gadjah Mada (UGM), Wendratama, mengutarakan, sejumlah pasal dalam KUHP serta UU Nomor 16 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) berpotensi mengancam jurnalis. Salah satunya Pasal 264 KUHP yang mengatur tentang kelengkapan berita.
Wendratama mempertanyakan definisi dan batasan dari ketentuan berita tidak lengkap tersebut. Sebab, dalam pemberitaan tertentu, seperti breaking news, berita akan disampaikan bertahap dan bergulir sesuai dengan informasi terbaru yang diperoleh (Kompas, 29/12/2022).
Tahun pahit pers
Sebelumnya, Pelaksana Tugas Ketua Dewan Pers Muhamad Agung Dharmajaya, dalam keterangan pers, menyampaikan, catatan akhir tahun Dewan Pers 2022 adalah tahun pahit bagi komunitas pers. Sebab, upaya untuk mereformulasi RKUHP tidak membuahkan hasil memadai.
Apalagi, hingga kini berbagai masalah, mulai dari kekerasan terhadap wartawan, minimnya jaminan kesejahteraan jurnalis, hingga ancaman jeratan regulasi, terus membayangi.
Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) Indonesia 2022 sudah naik 1,86 poin dari tahun lalu 76,02 poin menjadi 77,88 poin. Namun, capaian itu belum masuk kategori bebas yang membutuhkan 90-100 poin.
ALIF ICHWAN
Sejumlah jurnalis melakukan aksi berjalan mundur saat menggelar aksi solidaritas di kawasan Hari Bebas Kendaraan Bermotor, Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Minggu (29/9/2019).
Ancaman kemerdekaan pers lainnya ialah penyusupan intelijen ke institusi media. Sebab, jika dibiarkan dan penyusupan intelijen terus berulang, sangat berisiko menggerus kepercayaan publik kepada pers.
”Intel kepolisian itu juga menjadi anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan telah lulus menjalani uji kompetensi wartawan. Intel tersebut jelas membuat pernyataan bohong pada surat pernyataan uji kompetensi wartawan,” kata Agung.