Kasus Tuberkulosis Tinggi di Kota Cirebon, Angka Penyembuhannya Rendah
Kasus tuberkulosis di Kota Cirebon sepanjang 2022 mencapai 1.906 kasus. Meski deteksi dini berjalan, angka kesembuhan penderita penyakit menular itu masih rendah.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Temuan kasus baru tuberkulosis atau TB di Kota Cirebon, Jawa Barat, sepanjang 2022 mencapai 1.906 kasus. Namun, angka kesembuhan penderita penyakit menular itu masih rendah. Pemkot Cirebon pun menerbitkan rencana aksi daerah percepatan penanggulangan TB.
Dinas Kesehatan Kota Cirebon mencatat, setahun terakhir, temuan kasus TB mencapai 1.906 kasus. Jumlah ini meningkat dibanding 2021, yakni 1.131 kasus. Bahkan, angka kasus TB di Cirebon tertinggi kedua di Jabar setelah Kota Sukabumi.
”Cirebon ranking kedua (kasus TB terbanyak) di Jabar. Dan, Jabar ranking pertama se-Indonesia,” ucap Kepala Dinkes Kota Cirebon Siti Maria Listiawaty saat sosialisasi Peraturan Wali Kota Cirebon Nomor 70 Tahun 2022 terkait Penanggulangan TB, Kamis (29/12/2022).
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan kuman Mycobacterium tuberculosis. Penularan terjadi saat pasien batuk, bersin, berbicara, atau meludah sehingga memercikkan kuman. Seseorang bisa terinfeksi hanya dengan menghirup sejumlah kecil kuman TB.
Maria menilai tingginya temuan kasus TB di kota berpenduduk 340.000 jiwa itu menunjukkan upaya deteksi dini TB berjalan. Selain puskesmas yang rutin menggelar skrining, masyarakat mulai aktif melaporkan kasus TB. Dengan begitu, petugas dapat segera mengobati penderita TB.
Meskipun deteksi dini kasus baru cukup memuaskan, lanjutnya, cakupan kesembuhan penderita TB termasuk rendah. ”Angkanya masih sekitar 65 persen (dari 1.906 orang). Ini belum mencapai target minimal 80 persen kasus yang sembuh. Ini salah satu PR (pekerjaan rumah),” ucapnya.
Menurut Maria, banyaknya penyintas yang berhenti berobat menyebabkan angka kesembuhan TB belum ideal. Padahal, kepatuhan mengonsumsi obat secara rutin dapat memulihkan penyintas. Tanpa pengobatan, pasien berpotensi resisten pada obat atau mengalami TBC-RO.
Pasien TBC-RO mesti minum obat yang lebih kuat dari sebelumnya. Obat itu dapat menyebabkan efek samping yang tidak nyaman bagi pasien, seperti muntah dan diare. Kondisi ini dapat menyulitkan dan semakin memperlambat penyembuhan pasien.
”Sekarang sudah ada pokja (kelompok kerja) TB di kelurahan-kelurahan. Di sana ada kader-kader yang dapat lebih dekat mengawasi pasien,” kata Maria. Pihaknya juga mendorong masyarakat agar segera melaporkan temuan indikasi kasus TB ke puskesmas terdekat.
Maria juga berharap terbitnya Perwali No 70/2022 terkait rencana aksi daerah dapat mempercepat penanggulangan TB pada 2022-2027. Regulasi itu merupakan kelanjutan dari Perwali No 49/2017 tentang RAD Penanggulangan Tuberkulosis 2018-2022 yang telah berakhir.
Artinya, kami harus menurunkan kasus TB sampai 10 kali lipat.
Pihaknya berharap Perwali No 70/2022 mendorong satuan perangkat daerah di Pemkot Cirebon untuk turut menanggulangi TB. Apalagi, rencana aksi lima tahun ke depan menargetkan 65 kasus TB per 100.000 penduduk. Saat ini tercatat 647 kasus TB per 100.000 penduduk di Cirebon.
”Artinya, kami harus menurunkan kasus TB sampai 10 kali lipat. Makanya butuh kerja rama-ramai untuk menanggulangi TB,” ujar Maria. Terlebih lagi sebagian besar kasus TB menjangkiti usia produktif 15-54 tahun sehingga dapat mengakibatkan masalah ekonomi warga.
Asisten Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Masyarakat Sekretariat Daerah Kota Cirebon Sutisna mengatakan, Perwali No 70/2022 merupakan komitmen pemkot menjalankan amanat pemerintah. Sebelumnya, terbit Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2021 tentang Penanggulangan TB.
”Amanat perpres harus ada penguatan komitmen pemerintah pusat dan daerah, target minimalisasi TB, penyediaan anggaran memadai, dan lainnya. Ini yang menguatkan kami untuk membuat rencana aksi dalam perwali yang lebih aplikatif, seperti siapa berbuat apa,” ujarnya.
Wakil Ketua Komisi III DPRD Kota Cirebon Tresnawaty mengatakan, Perwali No 70/2022 menjadi dasar hukum untuk menggerakkan pemangku kebijakan menangani TB. ”Pemkot harus mengevaluasi penerapan perwali itu, termasuk memastikan sokongan anggaran,” katanya.