Amerika Wajibkan Tes Covid-19 bagi Pelaku Perjalanan China, Indonesia Mengkaji
Sejumlah negara telah mewajibkan pemeriksaan Covid-19 untuk pelaku perjalanan dari China. Indonesia masih mengkajinya.
Oleh
AHMAD ARIF
·3 menit baca
AFP/JADE GAO
Dua petugas kesehatan yang mengenakan alat pelindung diri membawa alat tes Covid-19 dengan menggunakan sepeda untuk melakukan tes Covid-19 kepada warga di Beijing, China, Kamis (24/11/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Amerika Serikat dan sejumlah negara lain telah mewajibkan pemeriksaan Covid-19 untuk semua pelaku perjalanan dari China. Sejumlah negara lain juga telah menerapkan pemeriksaan serupa, tetapi Indonesia masih mengkaji hal ini.
Sebagaimana diberitakan kantor berita AFP pada Rabu (28/12/2022), mulai tanggal 5 Januari 2023, semua pelaku perjalanan dari China ke Amerika Serikat akan diminta untuk mengikuti tes Covid-19 tidak lebih dari dua hari sebelum perjalanan dan memberikan tes negatif sebelum naik ke pesawat. Pengujian berlaku untuk siapa pun yang berusia dua tahun ke atas.
Negara-negara lain telah mengambil langkah serupa dalam upaya mencegah penyebaran infeksi di luar perbatasan China. Jepang juga mewajibkan tes Covid-19 negatif pada saat kedatangan untuk pelancong dari China. Adapun Malaysia mengumumkan langkah pelacakan dan pengawasan baru. India, Italia, Korea Selatan, dan Taiwan juga mewajibkan tes Covid-19 untuk pelaku perjalanan dari China.
Menanggapi hal ini, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi, yang dikonfirmasi pada Kamis (29/12/2022), mengatakan, Indonesia masih mengkaji dan memonitor perkembangan kasus Covid-19 di China sebelum menentukan kebijakan lebih lanjut. ”Termasuk kita kaji tindakannegara lain di sekitar kita,” katanya.
AFP/HECTOR RETAMAL
Tenaga kesehatan dengan alat pelindung diri menanti untuk mengambil sampel usap tes Covid-19 bagi masyarakat selama karantina wilayah untuk mencegah penyebaran Covid-19 di Distrik Xuhui, Shanghai, China, pada 29 Mei 2022.
Situasi di China
Peningkatan kasus di seluruh China terjadi seiring dengan pelonggaran pembatasan di negara itu. Sebelumnya, kebijakan ”nol Covid” China telah menjaga tingkat infeksi tetap rendah, tetapi memicu frustrasi publik dan menghancurkan pertumbuhan ekonomi.
Indonesia masih mengkaji dan memonitor perkembangan kasus Covid-19 di China sebelum menentukan kebijakan lebih lanjut, termasuk kita kaji tindakan negara lain di sekitar kita.
Seperti dilaporkan wartawan AFP, rumah sakit dan krematorium di seluruh China terus dibanjiri oleh masuknya sebagian besar orang lanjut usia. Lusinan pasien Covid-19 yang sebagian besar berusia lanjut terbaring di brankar bangsal darurat rumah sakit di Tianjin, 140 kilometer barat daya ibu kota Beijing, Rabu.
Reuters juga merilis sejumlah foto yang menggambarkan kondisi rumah sakit di China yang kewalahan karena gelombang kasus Covid-19. Salah satunya adalah Rumah Sakit Chaoyang, Beijing.
Namun, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin menegaskan, perkembangan situasi epidemi China secara keseluruhan masih terkendali. ”Hyping, fitnah, dan manipulasi politik dengan motif tersembunyi tidak tahan uji fakta,” kata Wang, menyebut media Barat yang melaporkan lonjakan Covid-19 di China ”sepenuhnya bias”.
Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit China melaporkan 5.231 kasus Covid-19 baru dan tiga kematian secara nasional pada hari Rabu. Namun, para peneliti internasional meragukan data ini, terutama karena adanya perubahan kebijakan di China, termasuk mengubah kategori kematian Covid-19.
AFP/HECTOR RETAMAL
Tenaga kesehatan dengan alat pelindung diri mengendarai kendaraan bermotor di jalan saat pemberlakuan karantina wilayah untuk mencegah penyebaran Covid-19 di Distrik Jing'an, Shanghai, China, 29 Mei 2022.
China juga mengubah definisi kematian karena Covid-19. Sebagaimana disampaikan Wang Guiqiang, Kepala Departemen Penyakit Menular Peking University First Hospital, kepada Reuters, Kamis (22/12/2022), hanya kematian yang disebabkan oleh pneumonia dan gagal napas setelah tertular Covid-19 yang akan diklasifikasikan sebagai disebabkan oleh Covid-19.
Metode penghitungan ini bertentangan dengan pedoman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang bahkan memperhitungkan kematian tidak secara langsung disebabkan oleh Covid-19, tetapi disebabkan efek lanjutannya. Termasuk di dalamnya orang yang tidak dapat mengakses rumah sakit untuk mendapatkan perawatan yang mereka butuhkan.