Kemampuan Kognitif Manusia Indonesia Masih Jadi Tantangan Besar
Kemampuan kognitif manusia Indonesia sangat rendah hingga berdampak besar pada proses pembangunan. Karena itu, tengkes pada anak penting segera diselesaikan karena berdampak jangka panjang dan sulit diperbaiki.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·6 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Warga memadati kawasan Pasar Asemka, Jakarta Barat, Minggu (27/2/2022). Kementerian Dalam Negeri melalui Direktorat Jenderal Dukcapil memperbarui data kependudukan semester II tahun 2021 yang mencatat jumlah penduduk Indonesia adalah 273.879.750 jiwa. Indonesia saat ini memasuki era bonus demografi di mana penduduk usia produktif (15-64 tahun) mendominasi jumlah penduduk di dalam negeri.
Saat Indonesia berada di puncak bonus demografi, kualitas sumber daya manusia masih menjadi tantangan besar. Rendahnya kemampuan kognitif dan mutu kesehatan masyarakat menjadi masalah yang belum bisa diselesaikan. Dampaknya bukan hanya pada produktivitas dan daya saing lemah. Demokratisasi pun lambat dan gaduh.
World Population Review pada Oktober 2022 mengeluarkan tingkat intelligence quotient (IQ) negara-negara di seluruh dunia. Hasilnya, IQ orang Indonesia rata-rata mencapai 78,49 dan menduduki peringkat ke-130 dari 199 negara di dunia serta urutan terakhir dari 10 negara ASEAN. Di dunia, IQ tertinggi dimiliki masyarakat Jepang dengan nilai 106,48 dan terendah Nepal 42,99.
Dengan menggunakan klasifikasi Stanford-Binet, maka IQ rata-rata orang Indonesia ada di kelompok borderline alias batas terganggu atau tertunda. Artinya, orang dengan IQ ini memiliki kemampuan intelektual di ambang batas. Mereka tidak mengalami disabilitas intelektual, tetapi kemungkinan bisa mengalami lambat belajar.
Tinggi-rendahnya IQ menunjukkan kemampuan seseorang menalar, menggunakan logika untuk mengolah informasi dalam jangka waktu tertentu guna menjawab permasalahan dan membuat prediksi. Tingginya IQ tidak memprediksikan kesuksesan seseorang karena keberhasilan hidup juga dipengaruhi oleh ambisi, ketekunan, peluang, bahkan keberuntungan.
Bukan hanya nilai IQ, survei Programme for International Student Assessment (PISA) Indonesia pada 2018 menunjukkan skor kemampuan siswa Indonesia membaca adalah 371, kemampuan matematika 379, dan kemampuan sains 396. Jika dirata-ratakan, maka nilai kemampuan anak Indonesia adalah 382 yang menempatkan Indonesia pada ranking ke-71 dari 77 negara.
WORLD POPULATION REVIEW/MZW
10 Negara dengan Tingkat Intelligence Quotient (IQ) Rata-rata Tertinggi dan Terendah di Dunia
Bandingkan dengan nilai PISA tertinggi yang dicapai oleh China, dengan nilai membaca, matematika, dan sains secara berurutan adalah 555, 591, dan 590 atau nilai rata-rata 578,7.
Sementara nilai terendah diduduki Republik Dominika dengan skor kemampuan sesuai urutan adalah 342, 325, dan 336 atau skor rata-rata 334,3. Negara dengan skor rata-rata PISA kurang dari 450 termasuk kelompok bawah.
Sementara itu, Indeks Modal Kecerdasan alias Intelligence Capital Index (ICI) 2017 yang mengukur kemampuan suatu negara mengembangkan ide-ide ekonomi besar berdasarkan kondisi pendidikan, daya kreativitas, dan kemampuan menarik talenta-talenta unggul menempatkan Indonesia pada ranking ke-89 dari 128 negara.
Nilai ICI Indonesia sebesar 23,70 dan ada di kelompok D+ alias kelompok paling paling bawah, tetapi ada di bagian atas dalam kelompok tersebut. Negara dengan ICI terbaik adalah Amerika Serikat dengan nilai 74,88 atau kelompok A+ dan terendah adalah Guinea dengan nilai 6,76 atau kelompok D-.
Capaian kualitas manusia Indonesia dari tiga perhitungan tersebut menunjukkan beratnya tantangan untuk bisa mendapatkan bonus demografi. Mengacu pada Proyeksi Penduduk Indonesia (PPI) 2015-2045, puncak bonus demografi terjadi pada 2021-2022. Namun, jika berdasarkan pada PPI 2010-2035, puncak bonus akan terjadi pada 2028-2031.
WORLD POPULATION REVIEW/MZW
Skor tingkat intelligence quotient (IQ) di negara-negara ASEAN. Tingkat IQ rata-rata orang Indonesia paling rendah di antara negara ASEAN lainnya.
Namun, banyak warga beranggapan puncak bonus demografi itu akan terjadi pada 100 tahun Indonesia merdeka atau tahun 2045. Padahal, saat itu bonus demografi diperkirakan sudah berakhir dan Indonesia menghadapi populasi yang menua.
Status gizi
Rendahnya kemampuan kognitif manusia Indonesia itu tidak terlepas dari buruknya status gizi anak Indonesia. Sejak awal tahun 2000 hingga pertengahan dekada 2010-an, lebih dari sepertiga balita Indonesia mengalami tengkes atau stunting.
Sebagian bahkan sudah tengkes sejak janin dan lahir akibat buruknya status gizi ibu. Sebagian yang lain tengkes akibat infeksi berulang akibat buruknya higienitas pribadi dan sanitasi lingkungan.
Rendahnya kemampuan kognitif manusia Indonesia itu tidak terlepas dari buruknya status gizi anak Indonesia.
Tengkes dicirikan dengan terhambatnya pertumbuhan badan hingga lebih rendah dari standar tinggi sesuai umur. Memang tidak semua orang pendek itu tengkes, tetapi anak yang tengkes bisa dipastikan pendek.
Kekurangan gizi kronis sejak janin itu berdampak besar karena 80 persen otak manusia terbentuk pada 1.000 hari pertama kehidupan atau sejak konsepsi hingga umur 2 tahun. Repotnya, kondisi ini sulit untuk diperbaiki.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Hunian padat penduduk di Pulogadung, Jakarta Timur, Selasa (26/4/2022). Kementerian Dalam Negeri memperbarui data kependudukan semester II-2021 yang mencatat jumlah penduduk Indonesia adalah 273.879.750 jiwa. Indonesia saat ini memasuki era bonus demografi, dengan jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) mendominasi terhadap jumlah populasi Indonesia.
Tidak berkembangnya otak membuat tumbuh kembang anak terganggu, imunitas rendah hingga mudah sakit, dan sulit menangkap pelajaran saat masuk usia sekolah.
Saat mereka dewasa, kemampuan kognitifnya lemah, produktivitas rendah, rata-rata pendapatannya lebih kecil dibandingkan dengan yang tidak tengkes, hingga lebih rentan terhadap berbagai penyakit degeneratif.
Lemahnya kemampuan kognitif itu juga membuat mereka rentan terprovokasi hoaks, disinformasi, propaganda, hingga ajaran-ajaran radikal. Kemampuan memilah dan menimbang informasi sangat kurang. Rendahnya kemampuan membaca membuat emosi mereka mudah tersulut hingga gampang dimanfaatkan kelompok tertentu.
Akibatnya proses demokratisasi yang berlangsung sejak reformasi hingga kini senantiasa diwarnai kegaduhan yang tidak substansial. Nilai Indeks Demokrasi Indonesia antara 2010-2021 pun stabil di angka 6,30-7,03 (tertinggi 10, terendah 0), sedangkan peringkatnya berkisar antara 48-68 dari 167 negara yang disurvei.
Setelah lama tengkes diabaikan tanpa adanya terobosan, pemerintah akhirnya mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting. Presiden menargetkan menurunkan prevalensi anak tengkes dari 27,7 persen pada 2019 menjadi 14 persen pada 2024, meski Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyarankan prevalensi tengkes tidak lebih dari 20 persen.
ARSIP BKKBN
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo mengukur tinggi badan seorang anak di Soe, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, pada Selasa (22/3/2022). Sebanyak 48 dari 100 balita di sana mengalami stunting.
Walau target itu ambisius, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional yang ditunjuk sebagai ketua pelaksana optimistis target itu tercapai. Selama 2019-2021, prevalensi tengkes Indonesia telah turun 0,7 persen per tahun, sedikit lebih besar dari penurunan global yang mencapai 0,5 persen.
Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021 menunjukkan prevalensi tengkes telah turun menjadi 24,4 persen. Sementara prevalensi tahun 2022 masih menunggu hasil SSGI 2022 meski sebelumnya prevalensi tengkes tahun ini ditarget menjadi 21,1 persen.
Richard Lynn dan David Becker dalam The Intelligence of Nations, 2019, yang menyusun nilai IQ per negara, menyarankan pentingnya perbaikan gizi, kesehatan, dan pendidikan untuk meningkatkan IQ bangsa.
Namun, persoalan tengkes tidak sesederhana itu. Tengkes bukan hanya soal kesehatan dan tingginya kemiskinan, melainkan juga buruknya pola asuh, pengetahuan tentang gizi, perilaku hidup bersih dan sehat, sanitasi masyarakat, hingga budaya yang mendukung pernikahan anak.
Belum lagi soal tingginya kesenjangan antarwilayah. Pengentasan tengkes bukanlah isu yang menarik secara politik. Terlebih dampak program ini baru bisa dirasakan jangka panjang. Karena itu, meski prevalensi tengkes di banyak provinsi menurun selama 2019-2021, prevalensi di 21 persen provinsi justru masih naik.
Jika tengkes bisa segera teratasi, setidaknya akan tersedia bibit-bibit manusia Indonesia yang memiliki kemampuan kognitif lebih baik. Setidaknya IQ mereka bisa dinaikkan hingga lebih dari 90 sehingga mereka memiliki kemampuan rata-rata, tidak jauh tertinggal.
Selanjutnya, sistem pendidikan akan mengambil peran untuk bisa mendidik tunas-tunas bangsa itu agar tidak sekadar pintar secara akademik, tetapi juga cerdas secara emosional dan spiritual.
Kini, di masa bonus demografi yang tersisa, masih ada kesempatan untuk memperbaiki kualitas calon manusia Indonesia masa depan. Meski manfaat bonus demografi kemungkinan tidak akan optimal karena masa bonus sudah beberapa tahun terlewati, setidaknya kita bisa meminimalkan beban manusia Indonesia masa depan saat populasi semakin banyak diisi orang tua.