Komitmen pemerintah dalam pengendalian produk tembakau perlu dibuktikan dengan pengesahan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012. Pengendalian produk tembakau perlu dilakukan secara komprehensif.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana untuk memperkuat regulasi terkait pengendalian tembakau sudah cukup lama menjadi wacana. Diharapkan komitmen untuk merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 bisa segera direalisasikan. Hal tersebut penting untuk memastikan target penurunan perokok anak bisa tercapai.
Komitmen untuk mengendalikan produk tembakau dinilai menguat dengan terbitnya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 25 Tahun 2022 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah Tahun 2023.
Dalam keputusan tersebut, salah satu yang diamanatkan adalah Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
”Komitmen untuk merevisi peraturan ini sangat baik. Namun, perlu diingat bahwa pada 2018 juga sudah pernah dibahas mengenai revisi tersebut. Untuk itu, saat ini yang perlu dipastikan agar revisi PP No 109/2012 bisa segera diterbitkan. Kita perlu kawal bersama,” kata Ketua Lentera Anak Lisda Sundari ketika dihubungi di Jakarta, Rabu (28/12/2022).
Sebelumnya, Keppres Nomor 9 Tahun 2018 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah Tahun 2018 juga mengamanatkan revisi PP No 109/2012. Namun, revisi tersebut belum juga selesai hingga saat ini.
Saat ini yang perlu dipastikan agar revisi PP Nomor 109 Tahun 2012 bisa segera diterbitkan. Kita perlu kawal bersama. (Lisda Sundari)
Karena itu, Lisda menyampaikan, penerbitan Keppres No 25/2022 belum membuktikan komitmen pemerintah dalam pengendalian produk tembakau, khususnya untuk melindungi anak dari dampak buruk rokok. Semua pihak harus terus mengawal hingga pemerintah benar-benar mengesahkan revisi PP No 109/2012.
Menurut dia, revisi peraturan tersebut kian mendesak dengan tingginya angka perokok anak di Indonesia. Dalam 10 tahun terakhir, prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun meningkat dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 9,1 persen pada 2018. Jika tidak ada intervensi yang berarti, angka tersebut bisa semakin meningkat. Target penurunan perokok anak menjadi 8,7 persen yang harus dicapai pada 2024 pun tidak akan terwujud.
”Pembahasan PP No 109/2012 sudah cukup lama sehingga seharusnya tidak perlu dimulai dari nol. Itu sebabnya pengesahan harus dilakukan setidaknya pada 2023 agar bisa segera diimplementasikan sehingga target 2024 bisa tercapai,” ucap Lisda.
Ia berpendapat, aturan terkait pengendalian produk tembakau tersebut bukan untuk menekan industri, melainkan lebih untuk menekan perokok anak. Lewat peraturan tersebut juga sekaligus menunjukkan keseriusan pemerintah untuk melindungi masyarakat, terutama anak-anak dari paparan rokok.
Dalam regulasi tersebut tidak hanya diatur mengenai pelarangan penjualan rokok batangan, tetapi juga aturan lain seperti rokok elektronik dan pelarangan iklan, promosi, dan sponsorship. Dengan adanya aturan tersebut diharapkan bisa menjauhkan anak dari akses rokok. Penjualan rokok batangan mudah diakses anak karena harganya murah.
Lisda pun berharap agar komitmen Presiden dalam pengendalian produk tembakau bisa diterapkan semua pihak, termasuk kementerian di bawahnya. Selama ini revisi PP No 109/2012 menghadapi kendala yang muncul dari kementerian yang masih menentang beberapa subyek yang diusulkan dalam peraturan tersebut.
”Proses revisi tidak mengalami kemajuan karena masih ada kementerian yang tidak setuju, seperti Kementerian Perindustrian dan Kementerian (Koordinator) Perekonomian. Dengan adanya Keppres yang baru seharusnya menunjukkan seluruh kementerian sudah satu suara. Peraturan ini tidak bisa terwujud jika hanya didorong Kementerian Kesehatan,” katanya.
Secara terpisah, Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Agus Suprapto menyampaikan, revisi PP No 109/2012 saat ini masih dalam pembahasan di Kementerian Kesehatan. Koordinasi dengan kementerian/ lembaga juga telah dilakukan untuk menjelaskan maksud dan tujuan dari revisi peraturan tersebut.
Selain dialog dengan kementerian/ lembaga, dialog juga dilakukan pada aktor terkait seperti petani, pengusaha, dan korban dari rokok. Dialog dengan mitra nasional dan internasional serta uji publik pun telah dilakukan.
”Ada yang setuju dan ada yang keberatan. Tidak semua poin disepakati sehingga butuh kebijakan untuk penyelamatan. Poin yang paling berat disepakati terkait penambahan luas persentase gambar dan tulisan peringatan kesehatan pada kemasan produk tembakau,” tutur Agus.
Selain perbesaran persentase gambar dan tulisan peringatan kesehatan, subyek yang akan diatur dalam revisi PP 109/2012 antara lain, ketentuan rokok elektronik; pelarangan iklan, promosi dan sponsorship produk tembakau di media teknologi informasi; pengawasan iklan di media penyiaran, media dalam dan luar ruang, dan media teknologi informasi; penegakkan dan penindakan; serta penetapan kawasan tanpa rokok (KTR). Aturan lainnya yakni pelarangan penjualan rokok batangan.