Orang dengan HIV yang Patuh Terapi di Bawah 50 Persen
Persentase orang Indonesia dengan HIV yang patuh berobat masih kurang dari 50 persen. Hal ini jadi salah satu hambatan menuju target Indonesia untuk bebas AIDS pada 2030.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Kesehatan pada 2020 memperkirakan ada 526.841 orang dengan HIV di Indonesia. Dari jumlah itu, hanya 44,6 persen di antaranya yang patuh minum obat antiretroviral atau ARV. Penyebab pasien putus obat antara lain karena efek samping obat dan pandemi Covid-19.
Menurut Pelaksana Program Dukungan Psikososial untuk Orang Dengan HIV Jaringan Indonesia Positif (JIP), Sari, sebagian orang dengan HIV (ODHIV) putus obat karena efek samping pengobatan. Ada yang mengalami mual, muntah, ruam pada kulit, hingga sakit kepala. Ada juga yang berhenti berobat karena bosan.
”Kasus paling rumit adalah bosan. Biasanya, orang-orang yang bosan (berobat) itu sudah pintar dan tahu banyak informasi. Jadi, percuma jika kita bilang mereka akan sakit (kalau berhenti berobat). Akhirnya, kami memberi kontak kami kalau suatu hari mereka mau kembali berobat,” ujar Sari di Jakarta, Selasa (27/12/2022).
Dengan rutin mengonsumsi ARV selama 3-6 bulan, jumlah virus menjadi minim sehingga risiko penularan dapat ditekan. Orang yang rutin berobat pun sangat mungkin menikah dan melahirkan anak yang negatif HIV.
Pandemi Covid-19 juga menghambat penanganan penyakit AIDS yang disebabkan virus HIV. Pandemi membuat layanan Perawatan Dukungan Pengobatan (PDP) HIV-AIDS terganggu. Dari 2.048 layanan PDP HIV-AIDS yang ada di Indonesia, hanya 1.705 layanan yang aktif. Akses layanan pengobatan yang terbatas berpotensi membuat orang dengan HIV-AIDS putus obat (Kompas.id, 2/12/2021).
ARV mesti diminum setiap hari untuk menekan pertumbuhan virus HIV pada tubuh. Menurut data Kemenkes, jumlah virus (viral load) pada 91,97 persen ODHIV yang patuh terapi ARV berhasil ditekan.
Perwakilan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Zubairi Djoerban, mengatakan, dengan rutin mengonsumsi ARV selama 3-6 bulan, jumlah virus menjadi minim sehingga risiko penularan dapat ditekan. Orang yang rutin berobat pun sangat mungkin menikah dan melahirkan anak yang negatif HIV.
”Yang jadi masalah di Indonesia adalah yang minum obat secara teratur masih minim sekali. Banyak yang putus obat,” kata Zubairi.
Telusuri ODHIV
Sari mengatakan, organisasinya menelusuri ODHIV dan mendorong mereka untuk kembali berobat. Tujuannya untuk meminimalkan angka kematian ODHIV. Sebab, orang yang terinfeksi HIV sejatinya bisa diobati. Keberlangsungan hidup ODHIV akan semakin baik jika pengobatan dilakukan sedini mungkin.
”Ada hampir 20.000 ODHIV dampingan kami di DKI Jakarta. Sekitar 3.000 di antaranya berhenti (terapi) ARV. Kami akhirnya membuat skala prioritas dan mengejar ODHIV yang baru berhenti berobat selama enam bulan. Itu lebih mudah ditangani dibandingkan ODHIV yang sudah berhenti berobat bertahun-tahun,” ujar Sari yang juga ODHIV.
Menurut Victoria (19, bukan nama sebenarnya), seorang dengan HIV, pengobatan yang ia jalani tidak selalu mudah. Selain mengalami efek samping berupa mual dan sakit kepala, ia juga khawatir dengan masa depannya serta kemungkinan diskriminasi bila statusnya sebagai ODHIV diketahui publik.
”Aku juga pernah bosan (berobat). Biar tidak bosan, ya, diriku ingat apa manfaat obat itu. Dengan obat itu, aku bisa sehat seperti orang lain dan bisa meraih cita-citaku, membahagiakan orang sekitar, termasuk keluargaku,” ujarnya.
Ketua Badan Pembina Yayasan Kemitraan Indonesia Sehat (YKIS) Nafsiah Mboi berpendapat bahwa percepatan penanggulangan HIV-AIDS mesti dilakukan. Salah satu caranya meningkatkan kepatuhan ODHIV untuk terapi ARV. Pelibatan komunitas penting untuk menelusuri ODHIV yang putus obat dan menjaga kepatuhan mereka yang sudah mengakses ARV.
Penanganan HIV-AIDS juga agar menyasar ibu hamil dan anak. Menurut data Kementerian Kesehatan, hingga Desember 2022, ada 4,256 ibu hamil dengan HIV dan 1.226 orang di antaranya menjalani terapi ARV.
Program penanganan HIV-AIDS juga mesti menyasar remaja berusia 15-24 tahun. Data pada 2021 dan 2022 menunjukkan bahwa persentase remaja ODHIV lebih dari 50 persen.
Program ini juga mesti menyasar laki-laki karena kini temuan ODHIV didominasi oleh laki-laki. Nafsiah mengatakan, jika jumlah laki-laki yang terinfeksi semakin banyak, potensi penularan bisa terjadi pada perempuan atau laki-laki pasangannya.
Adapun Indonesia menargetkan bebas AIDS pada 2030. Ada three zeroes (tiga nol) yang mesti dicapai untuk itu, yaitu tidak ada lagi kasus baru infeksi HIV, tidak ada kasus kematian terkait AIDS, serta tidak ada lagi diskriminasi pada orang dengan HIV-AIDS.