Pelajaran Setelah 18 Tahun Tsunami Aceh
Tepat 18 tahun setelah gempa bumi dan tsunami dahsyat menghancurkan pesisir Aceh, banyak pelajaran yang bisa dipetik untuk membangun Indonesia tangguh bencana.
Tanggal 26 Desember 2022 tepat 18 tahun setelah gempa bumi dan tsunami dahsyat menghancurkan pesisir Aceh. Lebih dari 160.000 orang meninggal, menjadikan gempa dan tsunami Aceh sebagai yang paling mematikan dalam sejarah modern di Indonesia.
Pada Minggu, 26 Desember 2004, pukul 07.58 WIB, gempa bawah laut dengan magnitudo 9,1 berpusat di bawah Samudra Hindia, 250 kilometer tenggara pesisir Banda Aceh terjadi. Gempa tersebut menyebabkan dasar laut naik secara tiba-tiba setinggi 40 meter sehingga memicu tsunami raksasa yang diam-diam menjalar ke berbagai penjuru.
Saat gempa mulai mereda, orang-orang di pesisir Banda Aceh melihat laut yang surut, tanpa menyadari bahwa tsunami tengah menjalar menuju pantai. Sekitar 20 menit setelah gempa itu, gelombang pertama tsunami menghantam garis pantai Banda Aceh, diikuti serangkaian gelombang panjang yang susul-menyusul. Elevasi maksimum dan landaan tsunami mencapai 34 meter, terekam di pantai barat Banda Aceh (Gegar Prasetya, dkk, 2011).
Begitu mencapai daratan, tsunami bisa merobohkan berbagai penghalang yang dilaluinya, bahkan beton ataupun pepohonan. Tidak seperti gelombang yang digerakkan oleh angin yang hanya menciptakan gejolak lapisan paling atas lautan, tsunami menggerakkan seluruh kolom air, dari dasar samudra hingga ke permukaan samudra.
Tsunami bisa diibaratkan dengan rangkaian kereta api yang semuanya berupa lokomotif—bukan gerbong—sehingga masing-masing memiliki daya dorong. Maka, tsunami bisa membongkar bangunan hingga fondasinya, mencabut pohon hingga akarnya, bahkan mengelupas aspal, dan menjadikan berbagai material yang terbongkar itu sebagai amunisi untuk melabrak berbagai penghalang di depannya.
Begitu melihat laut surut setelah gempa, orang-orang Simeulue langsung berhambur mendaki bukit di dekat permukiman mereka sambil berteriak, Smong, smong, smong!
Sebelum tsunami pada 2004 itu, mayoritas warga Aceh saat itu belum memiliki pengetahuan bahwa gempa kuat yang terjadi di bawah laut bisa diikuti tsunami dahsyat sehingga tidak segera menjauh dari pantai. Ketika itu, Indonesia juga belum memiliki sistem peringatan dini tsunami sehingga tidak ada evakuasi pada waktu jeda yang sedikit setelah gempa.
Di sisi lain, Banda Aceh merupakan kota pesisir, yang sebagian besar pusat permukimannya dibangun sejajar pantai yang datar. Kombinasi berbagai hal inilah yang mengakibatkan jumlah korban jiwa yang sangat banyak di Banda Aceh.
Situasi berbeda di Simeulue, pulau terdekat dari pusat gempa. Begitu melihat laut surut setelah gempa, orang-orang Simeulue langsung berhambur mendaki bukit di dekat permukiman mereka sambil berteriak, ”Smong, smong, smong!” Sekalipun ribuan rumah rusak dilanda tsunami, tujuh warga Simeulue yang jadi korban.
Bagi orang Simeulue, gempa 26 Desember 2004 itu membuka kembali ingatan tentang smong, kisah turun-temurun tentang gelombang laut dahsyat yang menghancurkan pulau mereka tahun 1907. Dikisahkan sejak anak-anak Simeulue masih dalam ayunan, gelombang smong datang setelah gempa besar dan laut surut hingga jauh. Maka, begitu gempa itu disusul laut surut, orang Simeulue langsung tahu smong bakal datang.
Baca juga : Tsunami Sekuat 2004 Hancurkan Aceh 600 Tahun Lalu
Mitigasi ke depan
Setelah tsunami Aceh 2004, banyak perubahan terjadi. Di Aceh sendiri, tsunami sudah menjadi pengetahuan umum. Pendidikan dan pelatihan evakuasi dari tsunami beberapa kali dilakukan di sekolah walaupun belum menjadi kurikulum wajib. Upaya untuk memasukkan kurikulum bencana Qanun Pendidikan Kebencanaan Aceh masih belum menunjukkan hasil sekalipun naskah akademiknya telah disusun sejak 2017.
Secara nasional, tsunami Aceh telah mendorong sejumlah perubahan. Bahkan, pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Bencana, yang merupakan amanat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007, juga karena tragedi ini. Selain itu, sejak 2005, Indonesia mulai membangun sistem peringatan dini tsunami atau dikenal sebagai InaTEWS (Indonesia Tsunami Early Warning System).
Baca juga : Jalan Panjang Penanganan Pascabencana Palu dan Nasib Mitigasi ke Depan
Meski demikian, deretan tsunami yang terjadi di Indonesia setelah tragedi Aceh pada 2004 menunjukkan banyak hal masih harus dibenahi. Dari kejadian gempa dan tsunami Palu pada 28 September 2018 dan tsunami di Selat Sunda akibat erupsi Anak Krakatau pada 22 Desember 2018, kita bisa melihat bahwa InaTEWS di Indonesia belum efektif menyelamatkan jiwa.
Dalam kasus tsunami Palu, tsunami datang lebih awal, hanya sekitar tiga menit setelah gempa M 7,3 dibandingkan produk peringatan dini tsunami yang dikeluarkan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sekitar 5 menit setelah gempa. Lagi pula, sesaat setelah gempa Palu, sinyal telepon dan listrik di lokasi bencana padam sehingga informasi berisi peringatan dini tsunami tidak bisa terkirim ke masyarakat.
Sebagaimana di Palu, masyarakat di Selat Sunda juga tidak mendapatkan peringatan dini dari sistem InaTEWS sebelum gelombang bencana itu menerjang. Sistem InaTEWS hingga 2018 hanya didasarkan pada pemodelan gempa bumi, belum memasukkan variabel ancaman dari erupsi gunung api, sehingga BMKG tidak mengeluarkan peringatan dini di Selat Sunda.
Saat ini, InaTEWS terus disempurnakan dan upaya integrasi ancaman dari gunung api pun telah dimasukkan, dengan adanya kolaborasi BMKG dengan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG). Meski demikian, kita tidak bisa hanya menyandarkan keselamatan warga dari ancaman tsunami dengan InaTEWS.
Dari tsunami Aceh 2004 kita bisa belajar bahwa pengetahuan lokal tentang smong bisa berperan penting dalam mitigasi bencana di Pulau Simeulue. Peringatan dini harus berbasis komunitas, dalam artian warga di daerah rentan tsunami harus diingatkan untuk segera menjauh dari pesisir begitu terjadi gempa kuat, tanpa harus menunggu adanya peringatan dini dari BMKG.
Baca juga : Kearifan Lokal Tumbuhkan Kesadaran Mitigasi Bencana
Tak hanya di Simeulue, masyarakat tradisional di pelbagai kawasan daerah di Indonesia memiliki pengetahuan lokal tentang tsunami. Di Pulau Ambon, misalnya, mereka menyebut tsunami sebagai air turun naik, di Singkil disebut galoro. Warga Kaili di Palu menyebut bombatalu untuk tsunami yang datang hingga tiga kali, sementara orang Kaili dan Mandar di Donggala menyebutnya lembotalu. Pengetahuan lokal ini harus terus diajarkan agar bisa beroperasi melalui edukasi dan pelatihan yang rutin.
Selain pengetahuan dan respons saat darurat, hal yang juga mendesak dilakukan adalah pembenahan tata ruang. Pertumbuhan ekonomi kita saat ini cenderung meningkatkan kerentanan tsunami. Pusat-pusat permukiman, komersial, hingga pariwisata kita semakin banyak yang tumbuh di zona rentan.
Di Banda Aceh, misalnya. Sebelum tsunami 2004, jumlah penduduk 239.146 jiwa. Sebanyak 61.265 penduduknya tewas atau hilang saat tsunami sehingga tinggal 177.881 orang pada 2005. Jumlah warga Aceh sudah 249.282 orang pada 2013 dan menjadi 270.321 orang pada 2019. Sebagian besar penduduk ini kembali bermukim di tepi pantai, yang sewaktu-waktu bisa terdampak tsunami.
Baca juga : Daerah Rawan Tsunami Kembali Ramai, Mitigasi Masih Rapuh
Fenomena serupa terjadi di sejumlah daerah lain di Indonesia pascabencana. Bagaimanapun, sebagai negara kepulauan, kita tidak bisa membangun dengan mengosongkan area pesisir. Namun, ada banyak cara yang bisa dilakukan agar mitigasi bisa sejalan dengan pembangunan area pesisir.
Sejumlah studi telah menunjukkan, kombinasi elevasi dan mangrove bisa efektif mengurangi dampak tsunami yang berketinggian maksimal 7 meter. Hal ini bisa dibuktikan dengan terlindunginya Kampung Kabonga dan Labuan Bajo, Kabupaten Donggala, dari dampak tsunami Palu 2018 karena mangrove setebal 50-75 meter yang tumbuh di pesisir (Kompas, 27/11/2018).
Sebaliknya, tanggul laut yang tersusun dari batuan lepas, seperti yang dibangun di Palu setelah tsunami 2018, dinilai justru tidak efektif meredam dampak tsunami. Bahkan, tumpukan batu yang disusun bisa menjadi peluru yang mematikan jika terbawa tsunami (Kompas, 29/03/2019). Kegagalan tanggul raksasa di pantai timur Jepang dalam menahan tsunami pada 2011 juga seharusnya jadi pelajaran.
Baca juga : Penataan Kota di Jepang Berbasis Mitigasi Bencana
Untuk tsunami raksasa dengan ketinggian 7 meter atau lebih, satu-satunya jalan memang harus menyediakan ruang aman. Sempadan pantai, khususnya di zona rentan tsunami, harus ditegakkan, khususnya permukiman. Hal ini bisa dikombinasikan dengan meninggikan daratan, jalur evakuasi tegak lurus pantai, serta tempat evakuasi vertikal. Selain itu, bangunan-bangunan komersial, seperti hotel yang telanjur berada di zona rawan, harus menggunakan lantai bawah untuk bagian pelayanan, dan kamar-kamar harus diprioritaskan di lantai atas.
Tentu saja, berbagai upaya ini tidak bisa menjamin 100 persen dari ancaman tsunami raksasa sekuat Aceh 2004. Namun, sebagai negara yang berada di zona cincin api dan sewaktu-waktu bisa dilanda kembali gempa bumi dan tsunami raksasa, berbagai upaya mitigasi harus terus dilakukan serta ditingkatkan. Tsunami Aceh 2004 harus jadi pelajaran untuk memperkuat ketangguhan Indonesia dari bencana.