Sebagian orang Indonesia begitu mencintai kebudayaannya sehingga tak segan membela budaya yang "diusik" pihak lain. Namun, apa rasa cinta itu sudah tepat?
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
Pola interaksi sebagian orang Indonesia dengan budayanya terbaca dari beberapa kejadian tahun ini. Saat diusik, mereka bakal marah-marah dan memeluk erat budayanya, misalnya saat diklaim negara tetangga. Pokoknya protektif dan posesif abis. Ibarat orang pacaran, ini mungkin termasuk toxic relationship.
Pada April 2022, publik bereaksi saat Malaysia diisukan bakal mengajukan reog sebagai warisan budaya tak benda ke Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO). Publik tidak terima lantaran reog adalah kesenian dari Ponorogo, Jawa Timur.
Publik juga bereaksi saat poco-poco sempat diklaim Malaysia. Hal serupa terjadi saat wayang disebut sebagai budaya negara tetangga tersebut oleh Adidas Singapura tahun lalu.
Saling klaim budaya sebetulnya sudah jadi isu klasik. Setiap kali isu ini muncul, warganet Indonesia biasanya maju paling depan sambil merapatkan barisan. Yang penting budaya kita jangan sampai diklaim pihak lain.
Pembicaraan panas soal budaya juga terjadi pasca jamuan makan malam G20 di Bali, November 2022. Para pemimpin negara G20 hadir dengan busana dari endek, kain tenun khas Bali. Beberapa akun bercentang biru di Twitter mempertanyakan busana itu dengan kalimat (yang sesungguhnya) multitafsir.
Namun, warganet Indonesia tersulut karena merasa pertanyaan mereka dinilai mirip singgungan. Influencer politik di Inggris Mahyar Tousi serta penyiar Inggris Sophie Corcoran pun “dirujak” warganet. Dalam cuitannya, Tousi menyebut bahwa ia menerima ancaman pembunuhan karena ini.
Klaim budaya hingga isu endek ini menimbulkan diskursus lain: bagaimana kita melindungi dan menghidupi warisan budaya selama ini? Apa ini hanya sikap protektif dan posesif musiman?
Kebaya
Pada November 2022, empat negara anggota ASEAN mengumumkan bakal mendaftarkan kebaya sebagai warisan budaya tak benda ke UNESCO. Keempatnya adalah Singapura, Malaysia, Thailand, dan Brunei Darussalam.
Mereka akan mendaftarkan kebaya secara bersama-sama (joint/multi-national nomination) pada Maret 2023. Negara lain dipersilakan bergabung, termasuk Indonesia. Sejumlah komunitas mendukung Indonesia bergabung dengan empat negara ASEAN itu. Hingga kini Indonesia belum menentukan sikap.
Menurut Pelaksana Tugas Ketua Himpunan Wastraprema Sri Sintasari “Neneng” Iskandar, isu ini menumbuhkan lagi kepedulian publik terhadap kebaya. Namun, ada baiknya kepedulian itu diwujudkan dalam perilaku.
“Sekarang semua mau pakai kebaya. Mbok, ya, dari dulu. Jangan saat orang dari negara lain (bergerak), kita baru kebakaran jenggot,” kata Neneng saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (23/12/2022).
Sosiolog Universitas Gadjah Mada Derajad S Widhyharto menilai, sikap reaktif publik atas budayanya terjadi karena masyarakat ada di masa transisi dari tradisional menjadi industrial. “Kita ingin maju seperti negara-negara lain. Tapi, di satu sisi kita tidak mau kehilangan budaya dan kebudayaan,” katanya.
Kita ingin maju seperti negara-negara lain. Tapi, di satu sisi kita tidak mau kehilangan budaya dan kebudayaan.
Ia menambahkan, kemajuan berjalan beriringan dengan globalisasi. Globalisasi, yang antara lain ditandai dengan kemajuan teknologi dan keterbukaan informasi, membuat interaksi budaya mudah terjadi. Tingginya mobilisasi warga dunia juga memungkinkan akulturasi budaya.
Globalisasi tersebut bisa mengaburkan nilai budaya di masyarakat. Di sisi lain, Derajad menilai publik tidak siap dengan konsekuensi globalisasi.
Sikap reaktif publik di media sosial merupakan buntut dari ketidaksiapan itu. Sikap agresif yang ditunjukkan warganet, kata Derajad, terjadi karena mereka berlindung di balik anonimitas.
“Efek globalisasi adalah mengaburkan citra atau identitas budaya. Namun, ketika masuk koridor kebudayaan, kita merasa jadi orang paling paling berbudaya,” ucap Derajad.
Tidak baik
Pada 2022, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menetapkan 200 warisan budaya tak benda (WBTB) baru. Hingga kini, Indonesia memiliki 1.728 WBTB dari berbagai daerah. Namun, tidak semua WBTB dalam kondisi baik.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Hilmar Farid mengatakan, pembinaan bagi pelaku budaya di beberapa daerah masih minim. Sanggar, organisasi, hingga individu yang jadi garda depan pelestarian WBTB pun sulit bertahan.
“Padahal, dalam konteks ini (pasca-penetapan WBTB), pemerintah daerah wajib turun dan memberi dukungan, baik dukungan kelembagaan, sumber daya, dan sebagainya,” kata Hilmar seusai acara pemberian Anugerah Kebudayaan Indonesia (AKI), Jumat (9/12/2022) di Jakarta.
Pemerintah pun berencana menetapkan pembatalan status WBTB yang tidak terurus pada 2024. Sebelum dibatalkan, pemerintah bakal mengumumkan daftar WBTB yang masuk dalam daftar “lampu kuning”. Dengan demikian, pemda diharapkan bersikap dan WBTB dihidupkan kembali.
Hilmar mengatakan, WBTB mencerminkan sejarah panjang suatu bangsa serta interaksi manusia dengan alam. Untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat, warisan budaya mesti sering ditampilkan, baik melalui pertunjukan maupun pendidikan di sekolah.