Mengetuk Hati Presiden Jokowi dan Ketua DPR Puan Maharani
Kasus kekerasan terhadap pekerja rumah tangga terus terjadi. Ketiadaan payung hukum yang melindungi dan mengakui profesi tersebut membuat mereka rentan mengalami perlakuan tidak manusiawi.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
Demi mencari nafkah bagi keluarganya, Khotimah (23), warga Pemalang, Jawa Tengah, memutuskan menjadi pekerja rumah tangga di sekitar tujuh bulan lalu, Mei 2022. Melalui seorang penyalur, dia akhirnya diterima bekerja di salah satu keluarga yang tinggal di Apartemen Simprug, dengan tawaran gaji Rp 2 juta per bulan.
Beberapa bulan pertama majikannya baik. Namun, belakangan perlakuan majikan mulai berubah. Dia ingat puncaknya tanggal 18 September 2022, saat dia tengah memasak air di dapur buat majikannya, tiba-tiba dia disiram oleh majikannya dengan air panas, lalu disundut dengan puntung rokok, ditendang.
Ia pun dipukul beramai-ramai oleh majikan dan teman pekerja rumah tangga (PRT) lainnya. Akibatnya, dia mengalami luka bakar, di kaki, tangan, dan tubuhnya lebam-lebam. Perlakuan tidak manusiawi itu dialaminya setelah dia dituduh mengambil makanan dan baju dalam.
Setiap melakukan kesalahan atau karena kesalahpahaman, dia langsung dirantai ditendang, dipukul, bahkan disekap di kandang anjing. Selama berbulan-bulan, Khotimah mengalami perlakuan tidak manusiawi dari majikannya.
Hingga akhirnya, pada 5 Desember 2022, Khotimah dibawa keluar dari rumah majikannya dan diantar ke rumahnya dalam kondisi sakit dan luka di kakinya pun membusuk. Saat tiba di rumahnya, di Pemalang, 7 Desember 2022, melihat kondisinya, keluarganya melaporkan ke kepala desa dan berlanjut kepada kepolisian.
Khotimah kemudian dirawat ke RS di Pemalang dan belakangan dirujuk ke RS Bhayangkara Polri, Jakarta. Majikannya kini diproses hukum. ”Kami keluarga berharap pelakunya dihukum sesuai dengan hukum yang berlaku,” ujar Heri, kakak Khotimah, Selasa (20/12/2022).
Kisah Khotimah mengusik rasa kemanusiaan banyak orang. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati mengecam kekerasan yang dilakukan majikannya dan teman PRT.
Pekan lalu, Sabtu (17/12/2022), Menteri PPPA mengunjungi Khotimah di Rumah Sakit (RS) Bhayangkara Polri di Jakarta. Bintang meminta semua pihak memberikan perlindungan kepada korban. Selain pemulihan fisik dan pendampingan psikologis, dia akan mendapat pendampingan hukum dalam kasusnya, termasuk mendapatkan restitusi.
”Kami meminta aparat penegak hukum dapat memberikan keadilan bagi korban dan menjerat pelaku sesuai dengan pasal yang disangkakan,” kata Bintang.
Laporan yang diterima Kementerian PPPA, dalam kasus Khotimah, dugaan penyiksaan dilakukan oleh sembilan orang, yakni pasangan suami istri, anak, dan PRT lainnya. Penyiksaan diperkirakan berlangsung sejak Juli hingga September 2022. Dari hasil visum, korban didiagnosis mengalami patah tulang, lebam, luka bakar, dan luka berat lain yang mengancam nyawa korban.
Kami meminta aparat penegak hukum dapat memberikan keadilan bagi korban dan menjerat pelaku sesuai dengan pasal yang disangkakan.
Kisah Khotimah hanyalah salah satu dari balada para PRT di Tanah Air, yang jumlahnya mencapai sekitar 5 juta orang. Kendati mengalami berbagai perlakuan manusiawi, termasuk mendapat upah yang tidak sesuai, bahkan jauh dari upah minimum, hingga kini perlindungan terhadap para PRT masih jauh dari harapan.
UU Perlindungan PRT
Perjuangan melahirkan Undang-Undang Perlindungan PRT (UU PPRT) yang sudah berlangsung sekitar 19 tahun tak kunjung berhasil. Padahal, UU PPRT sudah lama di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Berulang kali RUU PPRT masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas), tetapi pembahasan lanjutannya tak pernah berujung pada paripurna pengesahan UU.
Lobi dan advokasi pun terus berlanjut. Bahkan, terakhir Kantor Staf Presiden bersama Kementerian Ketenagakerjaan menggelar diskusi publik dan menyuarakan urgensi UU PPRT menyusul banyaknya kasus yang menimpa PRT. Namun, kenyataannya belum juga ada tanda-tanda dan kepastian kapan proses pembahasan RUU PPRT benar-benar berlanjut.
Sikap wakil rakyat atas RUU PPRT masih terbelah. Ada beberapa yang bersuara lantang mendukung RUU PPRT, tetapi mayoritas bungkam.
Menghadapi situasi tersebut, para pekerja RT dan aktivis yang tergabung dalam Koalisi Sipil untuk UU PPRT, Rabu (21/12/2022), mendatangi kompleks Istana Kepresidenan Jakarta. Mereka menggelar ”Aksi Payung Duka Ibu-ibu PRT Indonesia” dengan mengusung tema ”Presiden Jokowi dan Ketua DPR RI Puan Maharani, Bersuaralah”.
Lita Anggraini, Kordinator Nasional Jaringan Advokasi PRT, menegaskan, aksi tersebut ditujukan langsung kepada Presiden Joko Widodo dan Ketua DPR Puan Maharani agar merespons suara-suara PRT, termasuk para korban kekerasan yang sampai saat ini mencari keadilan.
”Para perempuan PRT berjatuhan menjadi korban dari semua bentuk kekerasan layaknya deret ukur saja. Luka dan trauma sering di luar batas kemanusiaan, bahkan mereka seperti dalam kondisi perbudakan,” ujar Lita.
Lita mencontohkan jeritan hati PRT Poniah, Anik, Rizki, Rumiah, atau Khotimah, yang mewakili ribuan korban yang masih tersembunyi di balik tembok dan gembok para majikan atau para pemberi kerja.
Kehadiran regulasi dalam melindungi dan memberikan kepastian hukum atas profesi sangat dinantikan para PRT, yang datang dari keluarga-keluarga miskin. ”Kekosongan hukum membuka ruang tindak kesewenangan yang membuat para ibu-ibu PRT menderita sepanjang hidup mereka,” ujar Eva Sundari, Direktur Institut Sarinah.
Karena itu, melalui aksi di depan Istana Merdeka dan aksi bersama di delapan kota di Indonesia, para PRT memohon kepada Presiden Jokowi dan Ketua DPR Puan Maharani agar menghentikan kekerasan, diskriminasi yang selama ini terjadi kepada PRT, dengan mengesahkan RUU PPRT.