Kesenjangan Jender Sebabkan Jumlah Perempuan Peneliti Sedikit
Kesenjangan jender masih terjadi secara signifikan di bidang sains, teknologi, teknik, dan matematika atau STEM. Hal ini menyebabkan masih sedikit perempuan yang memilih menjadi peneliti.
Oleh
HIDAYAT SALAM
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kehadiran peneliti menjadi bagian krusial dalam melahirkan inovasi untuk keberlangsungan kehidupan masyarakat, mulai dari bidang pangan, kesehatan, industri, alam, hingga lingkungan. Meski begitu, kesenjangan jender masih terjadi secara signifikan di bidang sains, teknologi, teknik, dan matematika atau STEM. Akibatnya, masih sedikit perempuan yang memilih menjadi peneliti.
Muhayatun Santoso, peneliti Pusat Riset Teknologi Deteksi Radiasi dan Analisis Nuklir Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengungkapkan, untuk mewujudkan Indonesia maju, perlu semakin banyak orang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang STEM, termasuk di dalamnya perempuan peneliti. Peningkatan partisipasi perempuan peneliti juga akan mendorong kemajuan Indonesia dalam menyambut Indonesia emas pada 2045.
”Riset kerap dianggap membosankan, rumit, dan butuh waktu banyak. Padahal, sains dan teknologi itu menyenangkan. Untuk menjadi peneliti butuh kemauan besar, terutama dalam bidang teknologi nuklir, karena saat ini jumlah perempuan peneliti di dunia hanya seperempat dari total peneliti yang membidangi teknologi nuklir,” kata Muhayatun saat kegiatan bincang-bincang Sosok Ibu dan Perempuan Berkarier, di Jakarta, Kamis (22/12/2022).
Data Institut Statistika Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) 2015 menyebut, 31 persen peneliti di Indonesia ialah perempuan (Kompas, 9/3/2017). Adapun berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional 2020, hanya 3 dari 10 perempuan Indonesia yang berkarier di bidang STEM.
Muhayatun berpendapat, banyak perempuan peneliti juga mampu menyeimbangkan karier dan urusan keluarga. Perempuan peneliti harus membagi peran, terutama mereka yang menyandang peran sebagai seorang ibu.
”Perempuan peneliti yang sebagai seorang ibu pasti membutuhkan kekuatan pikiran dan kemampuan membaca situasi. Mereka harus membagi peran dengan seimbang agar perjalanan kariernya juga harmonis dengan kebutuhan keluarga,” kata Muhayatun.
Sementara itu, menurut anggota Dewan Pengarah BRIN, Adi Utarini, selama pandemi Covid-19 dua tahun ini, perempuan yang berkarier di dunia riset juga menjalankan peran berlapis, seperti menjaga kehidupan rumah tangga, menjadi pendidik, sekaligus menopang ekonomi keluarga.
Masih ada stigma
Di sisi lain, banyak perempuan enggan jadi peneliti disebabkan masih menganggap profesi itu menjauhkan mereka dari keluarga dan rentan mengalami diskriminasi. Contohnya, dalam bidang teknologi nuklir ada stigma bahwa tidak aman bagi kesehatan perempuan karena radiasi nuklir. Padahal, menurut Muhayatun, semua pekerjaan pasti memiliki standar keamanan yang sesuai untuk menunjang kegiatan para peneliti.
Perempuan peneliti sekaligus ibu di rumah itu bahkan bisa mengajarkan kepada anaknya cara berpikir kritis, seperti pertanyaan-pertanyaan mendasar di lingkungannya atau mengajak anak berdiskusi.
Secara terpisah, Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO (KNIU) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Itje Chodidjah menambahkan, rendahnya jumlah perempuan peneliti juga disebabkan kurangnya minat perempuan muda terhadap sains saat ini.
Itje mendorong para perempuan peneliti yang ada saat ini untuk mengampanyekan hasil penelitian dengan cara mempresentasikannya kepada generasi-generasi muda agar mereka berminat ke bidang riset.
Apalagi, masih berkembang stigma bahwa dunia penelitian adalah bidang laki-laki. Padahal, perempuan peneliti justru bisa berperan juga dalam menciptakan generasi unggul yang dimulai dari pendidikan di rumah.
”Perempuan peneliti sekaligus ibu di rumah itu bahkan bisa mengajarkan kepada anaknya cara berpikir kritis, seperti pertanyaan-pertanyaan mendasar di lingkungannya atau mengajak anak berdiskusi,” kata Itje.