KUHP Baru Ancam Kelestarian Alam dan Lingkungan Hidup
Sejumlah ketentuan dalam KUHP dikhawatirkan menjadi langkah mundur penegakan hukum lingkungan. Selain mengancam kelestarian alam dan lingkungan hidup, sejumlah pasal berpotensi mengkriminalisasi para pejuang lingkungan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
KOMPAS/EMANUEL EDI SAPUTRA
Penyegelan lahan korporasi di Ketapang, Kalimantan Barat, Sabtu (14/9/2019).
JAKARTA, KOMPAS – Sejumlah ketentuan dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang sekarang sudah disahkan menjadi undang-undang dinilai akan mengancam kelestarian alam dan lingkungan hidup. Bahkan, pasal karet yang terdapat dalam peraturan ini berpotensi mengkriminalisasi rakyat, termasuk para pejuang lingkungan.
Manajer Kajian Hukum dan Kebijakan Walhi Nasional Nur Wahid Satrio Kusuma mengemukakan, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tidak hanya mengancam lingkungan, tetapi juga seluruh aspek pengelolaan atau demokratisasi sumber daya alam. Padahal, jaminan terhadap pengelolaan sumber daya alam berbasis pengetahuan lokal sangat penting dalam upaya pelestarian.
”KUHP disebut sebagai ancaman karena menghambat perwujudan demokratisasi sumber daya alam. Hambatan ini akan mengancam kelestarian alam dan lingkungan dengan pengelolaan yang berbasis masyarakat,” ujarnya dalam diskusi daring tentang ”KUHP dan Kelestarian Lingkungan”, di Jakarta, Rabu (21/12/2022).
Satrio menjelaskan, terdapat dua aspek utama yang menjadi ancaman KUHP ini. Pertama, dalam KUHP tidak ada jaminan untuk menindak dan memberi efek jera terhadap kejahatan korporasi. Kedua, tidak ada jaminan juga untuk perlindungan terhadap setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
KUHP disebut sebagai ancaman karena menghambat perwujudan demokratisasi sumber daya alam. Hambatan ini akan mengancam kelestarian alam dan lingkungan dengan pengelolaan yang berbasis masyarakat.
Ketentuan terkait lemahnya menjerat korporasi pelaku kejahatan lingkungan tertuang dalam Pasal 46-48. Ketentuan tersebut membuat penjahat lingkungan yang mayoritas adalah korporasi akan sulit dikejar karena bergantung pada kesalahan pengurus.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Warga secara manual membasahi lahan gambut yang masih mengeluarkan asap di Desa Merbau, Kecamatan Bunut, Kabupaten Pelalawan, Riau, Selasa (17/9/2019).
”Ketentuan ini akan sulit dalam pembuktian untuk menjerat atau memberikan efek jera kepada korporasi. Sebab, pembuktian ini akan bergantung pada kesalahan pengurus dan bukan kesalahan korporasi itu sendiri,” ujarnya.
Selain itu, dalam KUHP juga masih terdapat pasal karet yang berpotensi mengkriminalisasi rakyat. Ketentuan tersebut mencakup pidana makar (Pasal 192-193), pidana penghinaan presiden dan wakil presiden (Pasal 218-219), pidana penghinaan pemerintah atau lembaga negara (Pasal 240-241), contempt of court (Pasal 280 Ayat 1), dan penyelenggaraan pawai, unjuk rasa, atau demonstasi (Pasal 256).
Menurut Satrio, ketentuan ini mengancam para pejuang lingkungan karena banyak aksi yang dilakukan dengan cara spontanitas di masyarakat. Selama ini, masyarakat kerap melakukan aksi secara mandiri saat terjadi pencemaran atau kerusakan lingkungan di wilayahnya.
Direktur Penegakan Hukum Auriga Nusantara Roni Saputra menyebut bahwa ketentuan dalam KUHP berpotensi meningkatkan kasus yang dialami pembela lingkungan. Auriga mencatat, terdapat 102 kasus yang dialami pembela lingkungan di berbagai wilayah di Indonesia sepanjang 2014-2022.
Dari jumlah tersebut, 65 persen atau 66 kasus di antaranya berupa kriminalisasi, kemudian kekerasan fisik (16 kasus), pembunuhan (8 kasus), intimidasi (7 kasus), imigrasi atau deportasi (3 kasus), dan perusakan properti (1 kasus). Bahkan, ancaman terhadap pembela lingkungan juga menimpa warga negara asing, yakni peneliti ekologi David Gaveau dan peneliti orangutan Erik Meijaard, yang dicekal oleh pemerintah.
”Kami coba mengidentifikasi lebih kurang terdapat 19 pasal yang bisa digunakan (untuk mengkriminalisasi pejuang lingkungan). Dari 19 pasal tersebut, ancaman terendah yang bisa dijatuhkan adalah pidana penjara minimal 1 tahun dan maksimal 10 tahun. KUHP juga minim perlindungan hukum bagi pembela lingkungan,” ucapnya.
Tumpang tindih
Pakar hukum pidana dari Universitas Airlangga Surabaya, Maradona, juga menyoroti ketentuan terkait korporasi dan definisinya dalam KUHP baru yang tumpang tindih dengan undang-undang lain. Pengakuan korporasi dalam KUHP dinilai tidak menjawab permasalahan beragamnya pendekatan pemidanaan korporasi dalam sistem hukum di Indonesia.
Menurut Maradona, ketentuan terkait korporasi dalam KUHP juga akan menimbulkan perdebatan mengenai pemberlakuan atau definisi lainnya yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Sebab, dalam Pasal 116 UU PPLH juga diatur tentang tindak pidana lingkungan hidup bagi korporasi.
”Secara umum, setelah KUHP berlaku tiga tahun ke depan, sistem pemidanaan korporasi hanya di ranah definisi. Sebab, definisi tentang korporasi akan merujuk di KUHP. Sementara undang-undang lainnya yang menggunakan definisi lain akan menjadi perdebatan,” katanya.