Melindungi Masyarakat dari Bahaya Bisphenol A
Paparan BPA yang bisa ditemui pada produk plastik berbahan polikarbonat bisa berdampak buruk pada kesehatan. Pelabelan BPA pada produk air minum dalam kemasan diharapkan meningkatkan kewaspadaan masyarakat.
Bisphenol A merupakan bahan yang sering digunakan dalam produksi plastik polikarbonat, resin epoksi, dan plastik polivinil klorida. Bahan kimia ini biasa digunakan sebagai pengeras plastik untuk kemasan makanan dan minuman yang berdaya tahan baik, seperti galon air isi ulang, botol minuman, serta pelapis kaleng logam.
Namun, pada kondisi tertentu, kandungan Bisphenol A atau BPA ini bisa luruh dan bermigrasi atau berpindah ke dalam makanan atau minuman. Jika masuk ke dalam tubuh dengan tingkat paparan yang melebihi ambang batas, hal itu bisa berdampak buruk. Sejumlah studi telah membuktikannya.
Studi kohort di Korea Selatan pada 2021 menunjukkan peningkatan risiko gangguan kesuburan atau infertilitas yang disebabkan oleh gangguan hormon akibat paparan BPA ke konsumen. Kondisi tersebut berkorelasi dengan paparan penyakit yang mencapai 4,25 persen.
Kajian tersebut diperkuat dengan publikasi lain yang menunjukkan risiko toksisitas BPA pada kelompok dewasa dan usia produktif yang mengalami gangguan kesuburan, obesitas, serta penyakit metabolik. Paparan BPA juga dapat berdampak pada kelompok usia anak, seperti depresi, kecemasan, hiperaktif, serta perilaku emosional dan kekerasan yang berpengaruh pada hormon dalam tubuh.
Baca juga : Kaji Dampak Paparan BPA pada Air Minum Dalam Kemasan Galon
Ketua Bidang Kajian Penanggulangan Penyakit tidak Menular Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Agustina Puspitasari, di Jakarta, Selasa (20/12/2022) mengatakan, paparan BPA umumnya memengaruhi fisiologi yang dikendalikan oleh sistem endokrin penghasil hormon dalam tubuh. Dampak lainnya bisa berpengaruh pada kelenjar prostat serta perkembangan otak pada janin, bayi, dan anak-anak.
infografik Ancaman Kesehatan akibat Paparan Bisphenol A (BPA) pada Air Minum dalam Kemasan
“Penelitian lain juga menunjukkan adanya kemungkinan hubungan antara BPA dan peningkatan tekanan darah, obesitas, diabetes tipe dua, dan penyakit kardiovaskular. Untuk itu, penggunaan BPA seharusnya diatur dengan ketat,” katanya.
Hal itu patut mendapat perhatian lebih karena penggunaan kemasan plastik dengan kandungan BPA sangat masif di masyarakat, khususnya untuk air minum dalam kemasan. Ketergantungan masyarakat akan air minum dalam kemasan amat tinggi.
Penelitian lain juga menunjukkan adanya kemungkinan hubungan antara BPA dan peningkatan tekanan darah, obesitas, diabetes tipe dua, dan penyakit kardiovaskular. Untuk itu, penggunaan BPA seharusnya diatur dengan ketat.
Kementerian Kesehatan mencatat, empat dari sepuluh rumah tangga di Indonesia mengonsumsi air kemasan, baik air kemasan dalam galon maupun air kemasan botolan.
Terkait konsumsi air kemasan galon, data statistik industri menyatakan 1.176 miliar galon beredar setiap tahun di pasar. Dari jumlah itu, lebih dari 80 persen di antaranya merupakan kemasan galon berbahan plastik polikarbonat dan sisanya merupakan galon berbahan plastik polietilen tereftalat (PET).
Ada kemungkinan hubungan antara BPA dan peningkatan tekanan darah, obesitas, diabetes tipe dua, dan penyakit kardiovaskular. Untuk itu, penggunaan BPA seharusnya diatur dengan ketat.
Penggunaan BPA diperkirakan dimulai pada 1950 sebagai bahan untuk resin epoksi dan plastik polikarbonat. Akan tetapi, program nasional toksisitas yang dilakukan di Amerika Serikat pada tahun 1970 menemukan adanya toksik dari BPA pada organ reproduksi. Uji penelitian lebih lanjut pun dilakukan.
Infografik Ketentuan Ambang Batas BPA pada Air Minum dalam Kemasan
Merujuk pada dampak kesehatan yang bisa terjadi akibat paparan BPA, sejumlah negara menerapkan aturan untuk penggunaan BPA. Pada 2008, Badan Pengawas Makanan dan Obat (FDA) Amerika Serikat (AS) menetapkan batas konsentrasi asupan dari BPA.
Aturan kemudian berkembang pada 2013 yang melarang penggunaan BPA dalam kemasan susu formula dan botol bayi. Pada orang dewasa, batasan yang ditetapkan maksimal 50 mikrogram per kilogram makanan.
Baca juga : Menakar Polemik Penggunaan Air Minum Kemasan Galon
Pemerintah Kanada bahkan mengeluarkan larangan terbatas pada penggunaan BPA dan memasukkan BPA sebagai zat beracun. Selain itu, Komisi Regulasi Uni Eropa pada 2011 mengeluarkan batas migrasi spesifik (SML) dari kandungan BPA dan melarang BPA pada produk botol bayi dan anak-anak.
Secara spesifik, negara lain seperti Perancis juga melarang penggunaan BPA pada seluruh kemasan pangan. Negara Denmark, Austria, Swedia, dan Malaysia telah melarang penggunaan BPA pada kemasan pangan untuk konsumen usia 0-3 tahun.
Di California, AS, produsen kemasan pangan diwajibkan untuk mencantumkan label dengan tulisan “kemasan ini mengandung BPA yang berpotensi menyebabkan kanker, gangguan kehamilan, dan sistem reproduksi.”
Label kemasan
Untuk itu, menurut Agustina, Indonesia harus memperketat aturan penggunaan BPA agar masyarakat terlindungi. Risiko migrasi BPA makin tinggi dengan pemakaian kemasan secara berulang, paparan sinar matahari, penyimpanan yang tidak benar, serta pemanasan pada proses pencucian. Pada produk botol bayi, migrasi BPA juga bisa terjadi pada pada proses pembersihan yang disikat.
“PB IDI pun sudah bersuara untuk mendukung adanya pelabelan BPA pada kemasan plastik demi keamanan dan perlindungan kesehatan bagi masyarakat,” ucap dia.
Urgensi pelabelan BPA pada produk air minum dalam kemasan juga mengemuka pada forum para pakar dan praktisi bertema "Expert Forum: Urgensi Pelabelan BPA pada Produk Air Minum dalam Kemasan untuk Keamanan Konsumen" yang diadakan di Gedung Makara, Universitas Indonesia, 23 November 2022.
Forum itu menyatakan pelabelan produk air minum dalam kemasan atau AMDK plastik polikarbonat yang mengandung senyawa BPA mendesak dilakukan. Pelaku usaha dinilai perlu bertanggung jawab memberikan rasa aman sekaligus menaati aspek hukum yang menjamin kepentingan masyarakat sebagai konsumen.
Baca juga : Pelabelan Bisphenol-A pada Kemasan Galon Perlu Segera Diterapkan
Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Rita Endang menyampaikan, penerapan label BPA pada kemasan produk air minum dalam kemasan masih dalam pengkajian. Hal tersebut merujuk pada rancangan revisi peraturan Badan POM terkait label pangan olahan.
Pada Revisi Peraturan BPOM Nomor 31/2018 tentang Label Pangan Olahan, di antaranya akan diatur kewajiban pencantuman label bertuliskan “berpotensi mengandung BPA” untuk kemasan plastik polikarbonat.
Label tersebut bisa dikecualikan pada produk air minum dalam kemasan (AMDK) dengan hasil analisis produk tidak terdeteksi BPA dengan nilai limit (LoD) kurang dari 0,01 bagian per juta (ppm) dan migrasi BPA telah memenuhi ketentuan perundang-undangan.
Rancangan revisi tersebut juga mengatur kewajiban pencantuman tulisan “simpan di tempat bersih dan sejuk, hindarkan dari matahari langsung, dan benda-benda berbau tajam.”
Produk AMDK yang beredar pun wajib untuk segera menyesuaikan aturan tersebut selambatnya tiga tahun sejak peraturan diundangkan. Saat ini, BPOM telah menetapkan batas maksimal migrasi BPA sebesar 0,6 ppm.
“Kami tidak mau menunggu ada kasus terlanjur banyak atau sudah sangat kritis baru bertindak. Kalau ada persoalan, harus segera ditangani. BPOM hadir guna melindungi keselamatan masyarakat,” kata Rita.
Aturan penggunaan BPA ini semakin mendesak dari hasil pengawasan BPOM pada 2021-2022 yang menemukan adanya produk air minum dalam kemasan polikarbonat yang melebihi ambang batas di enam daerah. Dari hasil uji migrasi BPA pada AMDK, sebanyak 3,4 persen produk AMDK yang melebihi ambang batas ditemukan pada sarana distribusi dan peredaran.
Konsultan senior dari Institut Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Tengku Ezni Balqiah menyampaikan, label pada kemasan air minum dalam kemasan galon membantu konsumen untuk mendapatkan informasi komprehensif mengenai produk yang dikonsumsi. Label yang memberi peringatan tentang bahaya plastik akan mengurangi ketidakseimbangan informasi.
Hal ini justru bisa meningkatkan efisiensi pasar yang memicu pertumbuhan industri. Sebab, konsumen merasa haknya terpenuhi dengan adanya transparansi informasi dari produsen. Dengan pelabelan BPA, literasi masyarakat tentang potensi bahaya kesehatan juga semakin tinggi.
“Konsumen akan melihat risiko dan manfaat dari memilih produk air minum yang dilabeli. Label adalah hak konsumen yang membantu memberikan perlindungan kepada mereka,” tutur Ezni.
Akan tetapi, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Air Kemasan Indonesia (Aspadin) Rachmat Hidayat saat berkunjung ke kantor harian Kompas pada 23 September 2022 menyatakan, pelabelan pada produk AMDK tidak tepat. Dampak buruk penggunaan kemasan plastik tidak hanya pada produk AMDK dengan plastik polikarbonat.
Baca juga : Plastik Kemasan Bebas BPA Bukan Berarti Tidak Berisiko
Dampak buruk lain juga bisa ditemukan pada produk AMDK dengan bahan lain. Oleh karena itu, jika ada aturan pelabelan kemasan seharusnya juga diterapkan pada produk lainnya.
“Jika tujuannya untuk melindungi kesehatan masyarakat, mengapa hanya AMDK polikarbonat yang diatur. Sementara, AMDK lain seperti PET yang juga berpotensi pada zat berbahaya tidak diatur. Kita akan setuju dengan aturan itu namun jangan diskriminatif. Aturan itu harus berlaku pada semua kemasan plastik,” ucap Rachmat.