Sebanyak 190 negara pada Senin (19/12/2022) setuju untuk melindungi 30 persen daratan dan lautan planet ini pada tahun 2030. Bagaimana mewujudkan target tinggi dalam kesepakatan ini?
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
Sebanyak 190 negara pada Senin (19/12/2022) pagi di Kanada, akhirnya menyetujui kesepakatan untuk melindungi 30 persen daratan dan lautan planet ini pada tahun 2030. Akankah kesepakatan ini menghentikan laju pemusnahan massal keragaman hayati yang bakal mendorong kepunahan manusia juga?
Diselenggarakan di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa, diketuai oleh China, dengan tuan rumah Kanada, Konferensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati ke-15 telah mengadopsi “Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global Kunming-Montreal.”
Secara keseluruhan, kesepakatan tersebut menjabarkan 23 target lingkungan pada 2030. Yang paling menonjol, dikenal sebagai gagasan "30x30", akan melindungi 30 persen daratan dan lautan. Saat ini, hanya sekitar 17 persen daratan planet ini dan sekitar 8 persen lautannya dilindungi dengan pembatasan kegiatan penangkapan ikan, pertanian, dan pertambangan.
Kesepakatan itu muncul saat keanekaragaman hayati di seluruh dunia berada pada tingkat yang belum pernah terlihat sebelumnya dalam sejarah manusia. Laporan panel ahli Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES)-PBB pada 2019 menunjukkan, satu juta tumbuhan dan hewan terancam punah. Banyak di antaranya terjadi dalam beberapa dekade terakhir. Peristiwa kepunahan terakhir sebesar itu setara dengan epos di Bumi saat punahnya dinosaurus 65 juta tahun lalu.
Amerika Serikat menjadi salah satu dari dua negara di dunia yang tidak menandatangani Konvensi Keanekaragaman Hayati, selain Vatikan. Partai Republik telah memblokir keanggotaan Amerika Serikat dalam perundingan PBB ini. Sekalipun demikian, Presiden Biden yang berasal dari Partai Demokrat, telah menandatangani perintah eksekutif yang juga akan melindungi 30 persen daratan dan perairan AS.
Dalam perundingan, Uni Eropa berupaya mencari target konservasi yang lebih kuat. Sementara itu, negara berkembang yang menjadi pemilik keanekaragaman hayati yang tersisa, termasuk Indonesia, menginginkan lebih banyak kelonggaran dalam memanfaatkan alam. Mereka juga menginginkan dana lebih banyak dari negara maju. Bahkan, perwakilan puluhan negara dari Amerika Latin, Afrika, dan Asia Tenggara sempat keluar dari pertemuan pada hari Rabu sebagai protes.
Sebagaimana diketahui, sebagian besar keanekaragaman hayati dunia hidup di negara-negara selatan yang umumnya masih bergulat dengan kemiskinan warganya. Di negara-negara ini, upaya untuk memulihkan ekosistem, mereformasi praktik pertanian, mencegah deforestasi, dan melestarikan spesies yang terancam punah, kerapkali berhadap dengan kebutuhan masyarakat luas. Belum lagi faktor korupsi dan penguasaan sumber daya alam oleh elit yang menyumbat pemanfaatan sumber daya alam secara adil.
Masalah lain yang mengganjal adalah hak adat. Banyak pihak yang khawatir gagasan "30x30" akan menyebabkan masyarakat sekitar hutan telantar. Sementara yang lain memperjuangkan target sebagai sarana untuk mengamankan hak tanah adat dan menyerukan persentase tanah yang lebih tinggi untuk ditempatkan di bawah perlindungan.
Melalui perdebatan alot, kesepakatan yang dicapai menyebutkan akan menggandakan keseluruhan pembiayaan keanekaragaman hayati menjadi 200 miliar dollar AS per tahun dari semua sumber: pemerintah, sektor swasta, dan filantropi. Dari dana ini, sekitar 30 miliar dollar AS per tahun akan dialirkan ke negara-negara miskin dari negara-negara kaya. Namun, tetap saja, komitmen keuangan itu tidak mengikat secara hukum.
Sekarang, pertanyaannya adalah, apakah target tinggi kesepakatan itu akan terwujud?
Seperti diketahui, perjanjian 10 tahun sebelumnya telah gagal untuk sepenuhnya mencapai satu target tunggal di tingkat global sebagaimana telah ditetapkan PBB dalam Convention on Biological Diversity. Hasilnya, laju kepunahan spesies terus terjadi, hingga detik tulisan ini dibuat.
Di negara-negara ini, upaya untuk memulihkan ekosistem, mereformasi praktik pertanian, mencegah deforestasi, dan melestarikan spesies yang terancam punah, kerapkali berhadap dengan kebutuhan masyarakat luas.
Meskipun ada banyak penyebab hilangnya keanekaragaman hayati, termasuk faktor alami, namun situasi saat ini terutama karena ulah manusia. Di darat, penyebab terbesar adalah pertanian tidak ramah lingkungan, termasuk penggunaan pestisida dan pupuk kimia. Di laut, penangkapan ikan berlebihan. Dua hal ini merupakan bagian dari upaya manusia untuk membangun ketahanan pangannya.
Faktor lain termasuk wisata perburuan, perkebunan skala besar, penambangan, penebangan, perubahan iklim, dan polusi. Deretan faktor penyebab yang ini, biasanya berkelindan dengan ketimpangan akses terhadap sumber daya alam.
Apalagi, jika kita lihat dalam kacamata global, tindakan untuk mengeksploitasi alam secara berlebih ini kerap melibatkan korporasi dari negara maju, bekas kekuatan kolonial di masa lalu. Ada banyak contoh hal ini di Indonesia, seperti maraknya penambangan dan konversi lahan untuk perkebunan sawit di kawasan yang jadi benteng keragaman flora dan fauna endemik.
Tanpa upaya serius mengendalikan akar masalah ini, upaya untuk mewujudkan target dalam perjanjian ini akan sulit dipenuhi. Terkait dengan ketahanan pangan, dibutuhkan transformasi dan transfer teknologi yang lebih ramah lingkungan. Sedangkan terkait faktor ketamakan, perlu upaya mengatasi korupsi dan membatasi oligarki agar tidak membajak langkah-langkah nyata dalam menjaga Bumi sebagai rumah untuk semua.