Mendengar dengan hati memang tidak mudah. Namun, Teman Tuli melalui tulus hatinya mampu dan tetap menyuarakan kasih, Natal menjadi momen menularkan empati dan mengukuhkan semangat inklusi.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·4 menit baca
Alunan nada keras dari pukulan perkusi disambut teriakan jemaat yang tak kalah keras menjadi tanda dimulainya sebuah lagu pujian. Teriakan mereka tak ada yang senada, tapi jari dan tangan setiap jemaat bergerak seolah menyanyikan lirik lagu. Meskipun tak serentak, aura yang terpancar masih sama, yakni kekhusyukan sebuah ibadah.
Pada Minggu (18/12/2022), pukul 09.00 pagi, sekitar 40 Teman Tuli atau penyandang tunarungu dan sejumlah juru bahasa isyarat (JBI), jemaat Gereja Bethel Indonesia Sungai Yordan melakukan ibadah khusus tunarungu mingguan.
Ibadah dilaksanakan di ruangan berukuran sekitar 25 meter x 15 meter. Di atas panggung, tiga anggota jemaat tuli memimpin bernyanyi. Lirik lagu yang mereka lantunkan dengan bahasa isyarat juga ditampilkan pada layar bagian kanan depan ruangan. Ada dua jenis lagu nyanyian, yakni penyembahan yang bertempo lambat dan pujian yang bertempo cepat.
"Kami hanya mengeluarkan suara yang kami punya. Selain itu, kami juga tak dapat mendengar suara kami masing-masing. Irama lagu hanya menyesuaikan dengan ketukan (perkusi)," bisik seorang jemaat tuli, Sumartina Avriasih, sambil menggerakkan jarinya dalam bahasa isyarat.
Bagi tunarungu, suara yang keluar dari mereka merupakan lantunan nada terbaik dan tulus dari lubuk hati terdalam.
"Kemampuan jemaat tuli dalam pengetahuan musik berbeda-beda. Ada yang tuli sejak lahir sehingga tidak tahu apa itu lagu," ujar Hasiani Tampubolon, salah satu JBI, seusai ibadah.
Namun, ada juga yang hilang pendengarannya ketika remaja sehingga pernah mengenal jenis-jenis lagu. Walakin, rutinitas beribadah sambil berlatih membuat mereka mengenali setiap lagu dan temponya.
Menurut wakil gembala jemaat tuna rungu GBI Sungai Yordan, Nenty Maria Nababan, ibadah yang dilakukan ini menjadi bukti kemandirian mereka, terlebih didukung akses yang memadai. "Mereka bisa memuji dan bisa menjadi diri sendiri," tutur Nenty yang juga pengkhotbah ibadah hari itu.
Nenty menjadi tuli saat usianya sekitar 21 tahun. Saat mengawali hidup sebagai tunarungu, bagi Nenty, perasaan tak terima dan marah selalu muncul. Cemooh teman-teman dan lingkungan sekitar setiap hari selalu ia terima. Perasaan itu menumpuk dan memuncak hingga ia mencoba untuk mengakhiri hidupnya.
"Ingin lanjut kuliah jurusan ekonomi di Medan, tetapi susah karena tuli. Akhirnya harapan ke depan jadi kosong. Hanya bisa di rumah bersembunyi karena minder," ucap Nenty.
Dengan bantuan keluarga, Nenty dibawa ke Jakarta Timur tepatnya di Panti Sosial Bina Rungu Wicara (PSBRW) Melati Bambu Apus untuk mengenal dunia tuli lebih jauh dan dalam lagi. Di sana, ia belajar menjahit, merawat rambut, mengelas, dan bahasa isyarat.
Selama tujuh bulan Nenty belajar di sana. Teman Tuli kemudian membawanya untuk ibadah di salah satu gereja. Pada tahun 2000, langkahnya menjalani hidup baru dimulai di GBI Sungai Yordan. Dimulai pula pelayanan terhadap jemaat tunarungu.
Apa yang dilakukannya diharapkan ikut membantu memberikan harapan kepada Teman Tuli untuk tetap mampu berdaya dan mandiri.
Di Bandung, Gereja Kristen Indonesia Pasirkoja melayani pula sekitar 40 anggota jemaat tuli. Setiap Minggu, mereka beribadah dibantu penerjemah bahasa. "Tidak ada pendeta khusus, tetapi ada penerjemah yang selalu hadir si setiap ibadah," ujar Pendeta Rahmadi Putera.
Kebaktian khusus tunarungu dilakukan sejak 2001. Selain mendengarkan khotbah, mereka juga menyanyikan lagu pujian dibantu penerjemah. "Musiknya tetap ada untuk membantu penerjemah," ujar Rahmadi.
Perayaan
Untuk ibadah Natal nanti, GKI Pasirkoja tetap membuka kebaktian tunarungu pada 25 Desember. Hal ini berbeda dengan GBI Sungai Yordan yang telah menyelenggarakan ibadah Natal pada 11 Desember.
Para anggota jemaat nanti hanya menggerakkan jari dan tangannya untuk bernyanyi. Musiknya cukup berupa alunan melodi piano yang mengiringi jemari mereka menari sesuai lirik lagu. Ruangannya lebih luas. Sekitar 300 Teman Tuli terlibat dan meramaikan perayaan Natal tersebut.
Tidak hanya beribadah, kesempatan ini juga menjadi momen bagi Teman Tuli berkumpul dan bersosialisasi. Bahkan, mereka yang hadir tidak hanya yang merayakan Natal, tapi juga penganut agama lain guna ikut meramaikan.
Perayaan Natal untuk Teman Tuli, yang bergabung dengan difabel lain, juga digelar di Gereja Katolik Santa Anna, Jakarta, pada 25 Desember. Selain itu, akan ada kisah Natal yang diperankan jemaat anak berkebutuhan khusus.
Menurut sosiolog dari Universitas Gadjah Mada, Derajad Sulistyo Widhyharto, kepekaan kaum difabel terhadap kegiatan keagamaan jauh lebih tinggi daripada orang pada umumnya. Ia menambahkan, kegiatan keagamaan menjadi bentuk refleksi bagi mereka, sekaligus untuk mengenali kebutuhan diri.
Upaya membuka akses yang layak bagi para difabel untuk beribadah di rumah ibadah, bahkan merayakan hari besar bersama-sama, menguatkan pesan kemandirian dan setara. Bagi mereka yang tuli, mengungkapkan rasa cinta kasih dengan suara cukup sulit. Namun, tulusnya hati tak menghalangi diri untuk tetap mengirim pujian kepada Pemilik Kehidupan. (Z11)