Kebanggaan atas Identitas Lindungi Kesehatan Mental dari Ujaran Kebencian di Dunia Maya
Berdasarkan studi terbaru di ”Journal of Applied Communication Research”, merasa bangga dengan identitas atau latar belakang yang dimiliki menjadi kunci kesehatan mental ketika berhadapan dengan perlakuan rasisme daring.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
AP/EDUARDO MUNOZ ALVAREZ
Kandidat wali kota New York, Andrew Yang, berbicara kepada peserta aksi damai melawan kebencian dan rasisme di Columbus Park, Chinatown, New York, Amerika Serikat. Peserta aksi menuntut penghentian kasus kekerasan dan rasisme terhadap warga keturunan Asia-Amerika.
JAKARTA, KOMPAS — Ujaran kebencian yang didasarkan pada ras atau identitas lain jamak ditemukan di dunia maya. Berdasarkan studi terbaru di Journal of Applied Communication Research, merasa bangga dengan identitas atau latar belakang yang dimiliki menjadi kunci kesehatan mental ketika berhadapan dengan perlakuan rasisme dalam jaringan.
Profesor studi komunikasi di Wayne State University, Amerika Serikat, Stephanie Tom Tong, yang menjadi penulis utama dalam studi itu, menyebutkan, kebanggaan atas identitas merupakan bentuk ketahanan kesehatan psikologis. Hal ini juga dikaitkan dengan kesehatan fisik dan hubungan pribadi lebih baik serta kepuasan lebih besar dengan keadaan hidup.
”Ujaran kebencian daring menyerang komponen dalam identitas manusia dan telah memicu keinginan orang untuk menegaskan kembali elemen inti dari siapa mereka sebenarnya. Hal ini mampu melindungi diri mereka sendiri dari efek merusak dari pelecehan ras secara daring,” ujarnya dilansir dari Eurekalert.org, Sabtu (17/12/2022).
RB
Seorang pelari melewati jendela yang menampilkan potret orang-orang yang memakai masker untuk membantu mencegah penyebaran virus korona di Lewiston, Maine, AS, Senin (16/11/2020).
Studi ini terkait dengan melonjaknya ujaran kebencian terhadap orang Asia selama pandemi Covid-19 di AS. Salah satu pemicunya adalah banyaknya orang Amerika yang mengikuti jejak mantan Presiden AS Donald Trump dalam menyalahkan China karena memulai pandemi.
Lebih dari 30 persen orang Amerika memercayai China atau orang Asia pada umumnya bertanggung jawab atas Covid-19. Alhasil, ujaran kebencian anti-Asia meningkat 10 kali lipat di platform media sosial sejak Maret 2020.
Akan tetapi, tidak diketahui pasti sejauh mana orang-orang di AS menyadari kenaikan tersebut. Sebab, hal ini terjadi di tengah beragam persoalan, seperti kehilangan pekerjaan, terserang penyakit, dan dukacita akibat Covid-19.
Studi ini menyurvei 1.767 orang Amerika, termasuk 455 orang Asia-Amerika, pada Mei 2020. Mereka ditanya apakah ujaran kebencian anti-Asia secara daring meningkat selama pandemi.
Lebih dari 30 persen orang Amerika memercayai China atau orang Asia pada umumnya bertanggung jawab atas Covid-19. Alhasil, ujaran kebencian anti-Asia meningkat 10 kali lipat di platform media sosial sejak Maret 2020.
Mayoritas orang Asia-Amerika yang mengikuti jajak pendapat itu mengaku mengalami diskriminasi atau perlakuan tidak adil karena etnis mereka. Namun, mereka juga menunjukkan ketahanan terhadap serangan rasial itu, salah satunya dengan penegasan identitas.
Ketahanan didefinisikan sebagai kemampuan untuk bangkit kembali atau beradaptasi dengan pengalaman stres dan traumatis yang mengganggu kehidupan. ”Ini bisa melalui penegasan identitas, menciptakan rutinitas baru, berusaha mempertahankan jaringan sosial, membingkai ulang situasi stres atau mencoba bergerak maju dengan kehidupan mereka,” ujarnya.
Orang-orang yang menunjukkan ketangguhan dalam menghadapi rasisme daring cenderung menyatakan memiliki kesehatan fisik lebih baik. Oleh karena itu, belajar menjadi lebih tangguh bisa menjadi kunci untuk mengatasi tindakan rasial itu.
Lewat poster, mereka dengan tegas meminta agar praktik rasisme, khusus kepada warga keturunan Asia, dihentikan.
Penulis lain studi itu, Elizabeth Stoycheff, menyebutkan, penelitian tersebut bertujuan mengeksplorasi praktik komunikasi ketahanan yang paling relevan secara kontekstual dengan ancaman ujaran kebencian rasial daring. Tujuan akhirnya berfokus pada pemberlakuan praktik ketahanan yang dilaporkan sendiri oleh orang-orang terkait.
”Dalam mencapai tujuan ini, penelitian kami meminta perhatian pada pelecehan rasial terkait pandemi dari kelompok minoritas yang kurang dipelajari, yang diintensifkan oleh media sosial. Selain itu, bagaimana orang tersebut menanggapi ancaman semacam itu,” katanya.