Zona Wallacea Mempertemukan Papua dengan Denisovan dan Austronesia
Zona Wallacea berperan penting sebagai lokasi pertemuan populasi Papua dengan Denisovan dan Austronesia. Gen Denisovan memberikan kekebalan kepada populasi Papua dari penyakit.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Kepulauan Wallacea, yang meliputi Sulawesi, Kepulauan Maluku dan Maluku Utara, serta Nusa Tenggara memiliki peran penting mempertemukan populasi Papua dan Austronesia, dan sebelumnya dengan manusia arkaik Denisovan. Adanya gen Denisovan ini memberikan kekebalan terhadap populasi Papua dari penyakit infeksi.
Tingginya komposisi gen Denisovan pada populasi Papua dibandingkan populasi manusia modern di dunia juga memberikan hipotesis baru bahwa Kepulauan Wallacea memiliki kantong-kantong hunian populasi arkaik ini di masa lalu.
Peran penting Kepulauan Wallacea dalam jalur migrasi dan pembauran manusia modern di Indonesia hingga Australia ini diungkap dalam paper terbaru di jurnal Genes yang diterbitkan pada Jumat (16/12/2022).
Orang Papua telah mewarisi frekuensi yang luar biasa tinggi dari 82.000 varian genetik yang dikenal sebagai polimorfisme nukleotida tunggal.
Leonard Taufik, eks peneliti Lembaga Biologi Molekuler Eijkman yang saat ini studi doktoral di Australian Centre for Ancient DNA, University of Adelaide, Australia, menjadi penulis pertama paper ini. Selain sejumlah peneliti lain dari University of Adelaide, termasuk Gludhug A Purnomo, paper juga ditulis Herawati Supolo Sudoyo dari Mochtar Riady Institute for Nanotechnology.
"Ini adalah paper dari analisis review, yang mengkontruksi temuan-temuan terbaru yang ada untuk menyusun penghunian manusia di Kepulauan Wallacea," kata Gludhug.
Paper ini menyimpulkan, data genetik menunjukkan, populasi manusia modern (Homo sapiens) paling awal tiba di Kepulauan Wallacea sekitar 50–60 ribu tahun lalu dan kemudian menyeberang hingga Papua. Pemisahan populasi menuju Aborigin Australia dan Niugini terjadi sekitar waktu yang sama.
Migrasi selanjutnya terkait dengan kedatangan pelaut Austronesia ke Wallacea. Mereka kemudian bertemu dengan kelompok populasi Papua yang melakukan migrasi balik ke arah Kepulauan Wallacea sekitar 3.000 tahun lalu. Pembauran ini menyebabkan masyarakat di Kepulauan Wallacea saat ini memiliki komposisi genetika Papua dan Austronesia.
Kajian sebelumnya oleh Tumonggor (2013) dengan menganalisis DNA pada 2.740 individu dari 12 pulau, enam dari Indonesia barat dan selebihnya dari NTT (Sumba, Flores, Lembata, Alor, Pantar, dan Timor), menemukan pembauran intensif antara penutur Austronesia dan penutur Papua itu di Kepulauan Wallacea.
Sementara itu, kajian Stephen Lansing dkk (2007) di Pulau Sumba menemukan, hanya 35 persen bahasa orang Sumba yang berakar pada proto-Austronesia. Sisanya berasal dari penutur Papua.
Salah satu temuan penting dalam paper ini, menurut Gludhug adalah adanya pola pembauran di Filipina dan Papua yang sama-sama memiliki dua sumber genetika Denisovan. Selain pembauran dengan Denisovan yang terjadi selama perjalanan leluhur mereka saat masih di daratan Asia, pembauran berikutnya diperkirakan terjadi di Kepulauan Wallacea.
"Dari bukti genetiknya kami menduga Denisovan punya kantong-kantong tempat tinggal di Kepulauan Wallacea, yang hingga saat ini belum bisa diketahui dengan pasti karena belum ada temuan arkeologinya," kata dia.
Studi sebelumnya yang mengurutkan DNA hominin di dalam genom manusia kontemporer telah mengungkapkan bahwa semua manusia non-Afrika masa kini membawa setidaknya 2 persen keturunan genetik Neanderthal. Sedangkan DNA Denisovan pada umumnya ditemukan pada populasi di Asia Selatan dan Asia Timur, akan tetapi populasi yang tinggal di sebelah timur Garis Wallacea memilliki komposisi Denisovan paling tinggi, yaitu 2-6 persen.
Leonard, dalam papernya menyebutkan, keturunan Denisovan di dalam gen populasi manusia di Papua saat ini kemungkinan berasal dari kelompok hominin yang bukti fosilnya belum ditemukan saat ini. "Ini menunjukkan Sulawesi sebagai lokasi yang masuk akal untuk penyelidikan lebih lanjut," kata dia.
Kekebalan
Sementara itu, kajian terpisah yang ditulis Davide M Vespasiani dari Melbourne Integrative Genomics, University of Melbourne dan tim di jurnal Plose Genetics pada 8 Desember 2022 lalu menunjukkan, pembauran genetik dengan Denisova menjadi bekal penting populasi Papua untuk beradaptasi dengan lingkungan di Paparan Sahul.
Ketika manusia modern pertama kali bermigrasi dari Afrika ke pulau tropis di Pasifik barat daya ini, mereka bertemu dengan Denisovan dan juga patogen baru. Beberapa varian ini masih bertahan dalam genom orang yang tinggal di Papua saat ini, menurut sebuah studi baru.
Dalam studi ini, Vespasiani dan tim menyelidiki fungsi alel Denisovan dan Neanderthal yang dicirikan dalam satu set 56 genom dari individu Papua dan diambil dari Proyek Keanekaragaman Genom Indonesia. Para peneliti, sebagian besar dari Australia dan Niugini, membandingkan genom tersebut dengan genom Denisovan dari Gua Denisovan di Siberia, serta Neanderthal.
Mereka menemukan bahwa orang Papua telah mewarisi frekuensi yang luar biasa tinggi dari 82.000 varian genetik yang dikenal sebagai polimorfisme nukleotida tunggal, yang muncul dari perbedaan satu basa atau huruf dalam kode genetik, yang asalnya dari Denisovan.
Dua varian genetik Denisovan yang ditemukan dalam garis sel Papua menurunkan transkripsi atau produksi protein yang mengatur sitokin, bagian dari pertahanan sistem kekebalan terhadap infeksi, mengurangi peradangan. Respons inflamasi ini bisa membantu orang Papua mengatasi banyak infeksi baru yang akan mereka temui di wilayah tersebut.