Enam dari Sepuluh Anak Mengalami Kekerasan di Dunia Maya
Upaya melindungi anak dari berbagai risiko kekerasan di internet memerlukan intervensi yang menyeluruh dari semua pihak, baik keluarga maupun lingkungan sekitar.
Oleh
HIDAYAT SALAM
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penggunaan internet di kalangan remaja turut meningkatkan potensi mereka mengalami perundungan atau bullying di dunia maya. Bahkan, angka prevalensi perundungan daring menunjukkan 58,6 persen siswa mengalami perundungan siber. Artinya, ada enam dari 10 anak dan remaja yang berisiko mengalami kekerasan secara daring.
Perilaku perundungan secara daring itu mulai dari pelanggaran privasi, pengucilan, penguntitan, pencemaran nama baik, pelecehan, kekerasan seksual dengan ancaman, hingga pemerasan. Hal ini berdasarkan temuan hasil penelitian ”Memahami Perundungan Online dan Eksploitasi Seksual dan Kekerasan Online terhadap Anak dan Orang Muda di Indonesia” yang dilakukan Childfund International di Indonesia.
Spesialis Perlindungan Anak dan Advokasi Childfund International di Indonesia Reny Haning menjelaskan, anak laki-laki dan perempuan sama-sama berisiko menjadi korban perundungan daring (online). Namun, anak laki-laki memiliki peluang lebih tinggi untuk menjadi pelaku, sedangkan anak perempuan memiliki peluang lebih tinggi menjadi korban perundungan daring.
Penelitian ini berlangsung pada Juli-Oktober 2022 dengan melibatkan 1.610 responden dari kalangan pelajar dan mahasiswa usia 13-24 tahun. Mereka berasal dari empat provinsi, yaitu DKI Jakarta, Jawa Tengah, Lampung, dan Nusa Tenggara Timur.
”Kami menemukan lima dari 10 pelajar dan mahasiswa merundung orang lain secara daring dalam tiga bulan terakhir. Sementara enam dari 10 pelajar dan mahasiswa menjadi korban perundungan,” ujar Reny saat peluncuran hasil kajian Perundungan Online dan Perlindungan Anak dari Kekerasan dan Eksploitasi Seksual secara daring dan luring di Jakarta, Kamis (15/12/2022).
Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa 77,6 persen responden akan bereaksi ketika menyaksikan perundungan online dengan memperingatkan pelaku, mencegah pelaku mencuri data orang lain, dan menghibur korban. Sementara itu, remaja di bawah usia 15 tahun memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk menjadi korban (64,5 persen) dan pelaku (53,5 persen) dibandingkan kategori usia lainnya.
”Hal ini menunjukkan adanya kemungkinan pelaku perundungan secara luring juga merundung secara daring. Sementara itu, korban perundungan luring juga cenderung menjadi pelaku perundungan daring,” kata Reny.
Keterlibatan semua pihak
Untuk melindungi anak dari berbagai risiko kekerasan di internet itu, diperlukan intervensi yang menyeluruh dari semua pihak, baik keluarga maupun lingkungan sekitar. Menurut Reny, dibutuhkan penguatan resiliensi anak atau kemampuan untuk bisa beradaptasi dan bangkit saat menghadapi tantangan dan kesulitan. Maka, tak heran jika keluarga dan teman adalah orang yang paling diandalkan bagi korban sebagai cara dalam menanggapi perundungan yang dialami.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda, dan Olahraga Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Woro Srihastuti Sulistyaningrum mengatakan, upaya menurunkan angka perundungan dan kekerasan secara daring itu terus diupayakan pemerintah dengan meningkatkan literasi digital di masyarakat.
Saat ini tingkat prevalensi perundungan baik luring maupun daring masih tinggi di Indonesia. Maka, keaktifan orangtua dalam mengawasi kegiatan anak di internet turut berkontribusi pada keterlibatan anak merundung orang lain secara daring. Semakin minim pengawasan orangtua, maka semakin tinggi peluang anak melakukan perundungan daring.
”Peran orangtua dalam mendampingi anak menggunakan perangkat digital sangat dibutuhkan. Tetapi, dalam praktiknya masih banyak orangtua yang tidak mengerti media sosial dan situs apa saja yang digunakan oleh anak mereka,” kata Woro.
Sementara itu, Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nahar mengatakan, anak-anak dan remaja menjadi pihak yang rentan mengalami kekerasan, perundungan, dan eksploitasi seksual secara daring. Keterlibatan berbagai pihak sangat dibutuhkan dalam memastikan perlindungan anak dan remaja di dunia maya. Orangtua, lingkungan sekitar, pendidik, pemerintah, serta sektor privat menjadi pihak yang krusial untuk dapat memberi rasa aman bagi anak Indonesia di internet.