Artefak sejarah dan budaya mencatat bahwa perempuan punya peran signifikan dalam perjalanan bangsa. Hal ini lantas diangkat pada pameran The Truth Inside You: Alunan Kisah tentang Perempuan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peran perempuan dalam seni, budaya, hingga peperangan didokumentasikan dalam sejumlah artefak dari berbagai masa. Artefak itu ditampilkan dalam pameran bertajuk The Truth Inside You: Alunan Kisah tentang Perempuan di Museum Nasional, Jakarta.
Pameran tersebut berlangsung pada 15 Desember 2022 hingga 15 Januari 2023. Pameran diselenggarakan untuk memperingati Hari Ibu pada 22 Desember. Hari Ibu merupakan momentum mengenang gerakan progresif perempuan pada Kongres Perempuan I di Yogyakarta, 1928.
Ada 108 benda sejarah yang ditampilkan. Sebanyak 102 benda di antaranya merupakan koleksi Museum Nasional. Delapan koleksi lain dipinjam dari Museum Katedral, Museum Pusaka di Taman Mini Indonesia Indah, Museum Seni Rupa dan Keramik, Perpustakaan Nasional, Galeri Nasional, serta Museum Sonobudoyo.
Isu pangan jadi problem serius di masyarakat, padahal Indonesia punya keanekaragaman hayati dan sumber pangan berlimpah. Hanya, pengetahuan soal itu pelan-pelan tersingkir.
”Koleksi paling tua yang ditampilkan adalah arca dari sekitar abad ke-9, sementara yang paling muda ada anyaman,” kata salah seorang kurator pameran, Fifia Wardhani, di Jakarta, Kamis (15/12/2022).
Salah satu koleksi berupa pelana kuda Kiai Gentayu yang berasal dari masa sebelum tahun 1829. Kiai Gentayu adalah seekor kuda hitam yang menjadi tunggangan kesayangan Pangeran Diponegoro. Pelana tersebut sekaligus membuka kisah Pangeran Diponegoro yang pribadinya terbentuk dari didikan Ratu Ageng, nenek buyutnya sekaligus istri Sultan Hamengku Buwono I.
Keterampilan Ratu Ageng dalam berkuda dan menyusun siasat perang diturunkan kepada Pangeran Diponegoro. Karakter sang ratu yang keras, saleh, berani, dan peduli terhadap masyarakat juga diturunkan kepada cucu buyutnya.
Adapun Pangeran Diponegoro merupakan tokoh penting dalam Perang Jawa yang berlangsung pada 1825-1830. Perang melawan Belanda itu tercatat sebagai salah satu perang terbesar di Indonesia.
Koleksi lain yang ditampilkan di antaranya noken atau tas rajut tradisional Papua, kain batik, dan kain tenun. Ada pula lukisan berjudul ”Ibu” karya maestro Affandi yang dibuat pada 1941. Ada juga lukisan ”Menyusui” karya Dullah yang dibuat pada 1972.
Terbentuk dari nilai
Fifia mengatakan, pribadi dan karakter perempuan Indonesia terbentuk dari nilai-nilai yang beragam. Hal ini membuat kehidupan perempuan dinamis sekaligus kompleks. Walakin, perempuan tetap bisa menemukan celah untuk berkarya dan berkontribusi kepada masyarakat.
”Kami harap perempuan tidak hanya dilihat dengan pandangan umum yang cantik dan lembut, tapi pribadi berkarakter dan bertalenta, pribadi yang mengenal dirinya berikut kelebihan dan kekurangannya, sosok yang punya tujuan dan passion,” kata Fifia.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati mengatakan, catatan etnografi dalam pameran diharapkan menjadi pengingat perjuangan perempuan dari masa ke masa. Sebab, masih banyak kiprah perempuan di masyarakat yang belum diketahui.
”Tanpa pengetahuan soal ini, perempuan bisa terus dianggap rendah dan terbelakang,” ucap Bintang Darmawati.
Menurut Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Hilmar Farid, kesetaraan jender sebetulnya tampak di berbagai budaya dan artefak sejarah Indonesia. Pengetahuan ini diharapkan jadi inspirasi bagi generasi muda.
Ia menambahkan, dalam lingkup kebudayaan, perempuan berperan penting dalam distribusi pengetahuan kepada generasi selanjutnya. Sebagai contoh, mama-mama di Papua biasanya menurunkan pengetahuan soal pangan dan obat tradisional saat ke hutan bersama anaknya. Perempuan juga menurunkan pengetahuan soal seni dan budaya kepada anaknya, misalnya tenun, batik, dan masakan tradisional.
”Isu pangan jadi problem serius di masyarakat, padahal Indonesia punya keanekaragaman hayati dan sumber pangan berlimpah. Hanya, pengetahuan soal itu pelan-pelan tersingkir,” kata Hilmar. ”Solusi dari problem itu salah satunya adalah dengan perkuat peran dan kedudukan perempuan sebagai penjaga pengetahuan,” pungkasnya.