Pajak Karbon Dapat Percepat Penggunaan Kendaraan Listrik
Strategi pengembangan kendaraan emisi karbon rendah (LCEV) diharapkan mampu menurunkan emisi karbon.
Oleh
HIDAYAT SALAM
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengembangan dan penggunaan kendaraan listrik terus didorong sebagai langkah untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dari pembakaran bahan bakar fosil kendaraan. Hal ini juga dapat membawa manfaat ekonomi karena bisa berdampak pada efisiensi bahan bakar, penghematan produksi, dan peningkatan kesehatan masyarakat seiring dengan peningkatan kualitas udara.
Hal ini disampaikan oleh Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) Ahmad Safrudin saat diskusi ”Subsidi Zero Emission Vehicle yang Tidak Membebani APBN” secara virtual, Rabu (14/12/2022). Menurut Safrudin, strategi pengembangan kendaraan emisi karbon rendah (low carbon emission vehicle/LCEV) diharapkan mampu menurunkan emisi karbon.
Salah satu cara yang bisa dilakukan dengan mereformasi kebijakan dan regulasi, terutama pada kebijakan fiskal, dan menetapkan standar emisi karbon agar konsumen mobil listrik lebih diuntungkan. Safrudin mengatakan, dengan pemberlakuan kebijakan fiskal saat ini, harga kendaraan listrik menjadi lebih mahal ketimbang kendaraan berbahan bakar fosil.
Cara lain yang bisa digunakan pemerintah agar subsidi tersebut tidak menggunakan APBN salah satunya dengan menerapkan pajak karbon. ”Pemerintah membutuhkan dana mencapai Rp 7,8 triliun untuk menggelontorkan subsidi motor listrik. Dengan subsidi yang dibuat skema itu diharapkan subsidi tidak jadi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN),” kata Safrudin.
Menurut dia, insentif dan disinsentif fiskal berdasarkan pada tingkat pajak karbon akan dapat mempercepat penyebaran kendaraan listrik di Indonesia. Hal ini bisa menjadi solusi agar subsidi pembelian motor listrik ini tidak dibebankan kepada APBN.
Safrudin menyarankan pemerintah agar segera menetapkan standar emisi karbon. Semisal kendaraan 2.000 cc, emisi karbonnya maksimum 118 gram per km. Kendaraan konvensional yang tidak bisa mencapai standar emisi disarankan agar dikenakan cukai karbon. Salah satu prinsipnya ialah prinsip polluter pays principle, yakni pihak yang telah menghasilkan pencemaran harus bisa membayar atas dampak yang ditimbulkan.
”Artinya kendaraan yang tidak memenuhi standar masih bisa diproduksi, tapi terkena fiskal disentif atau cukai. Jadi, setiap kelebihan satu gram akan dikalikan dengan nilai teknologi penurunan emisi karbon pada kendaraan,” ujarnya.
Pada kesempatan yang sama, Kepala Balai Besar Survei dan Pengujian Ketenagalistrikan Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Senda Hurmuzan Kanam mengatakan, sulit untuk menerapkan pajak karbon pada industri kendaraan bermotor. Pasalnya, industri manufaktur otomotif ini juga menjadi salah satu penyumbang pemasukan bagi negara.
Konversi kendaraan konvensional
Menurut Senda, Kementerian ESDM bekerja sama dengan Kementerian Perhubungan memiliki program konversi ke sepeda motor listrik. Program konversi ke listrik pun diyakini bakal mengurangi secara signifikan penggunaan BBM (yang juga menjadi beban APBN), mengurangi emisi karbon, serta membantu meningkatkan konsumsi listrik. Apalagi, jumlah sepeda motor BBM pada 2021 mencapai sekitar 121 juta unit dengan pertumbuhan 4,1 persen per tahun pada periode 2013-2021.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, pemerintah sedang dalam tahap finalisasi menghitung untuk memberikan insentif terhadap pembelian mobil ataupun motor listrik. Insentif akan diberikan kepada pembeli yang membeli mobil atau motor listrik yang mempunyai pabrik di Indonesia.
Dalam rencana insentif itu, pembeli sepeda motor listrik akan mendapat insentif Rp 8 juta. Adapun konversi sepeda motor konvensional menjadi motor listrik mendapat insentif Rp 5 juta. Insentif untuk pembeli mobil listrik sekitar Rp 80 juta, sedangkan untuk pembeli mobil listrik hybrid sekitar Rp 40 juta (Kompas.id, 14/12/2022).