Gunakan Perangkat Digital untuk Tenangkan Anak Bisa Menjadi ”Bumerang”
Terlalu sering menggunakan perangkat digital untuk menenangkan anak bisa menjadi ”bumerang”. Hal ini berpotensi menjadi masalah jangka panjang terkait keterampilan mengatasi emosi.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
KRISTIAN OKA PRASETYADI
Seorang anak bermain ponsel selagi menunggu ibunya menerima perawatan gigi di Rumah Sakit Gigi dan Mulut Universitas Sam Ratulangi Manado, Sulawesi Utara, Jumat (6/12/2019).
JAKARTA, KOMPAS — Perangkat digital, seperti ponsel cerdas dan tablet, sering digunakan untuk membantu menenangkan anak prasekolah dalam jangka pendek. Namun, hal ini bisa menjadi ”bumerang” karena mengurangi kesempatan anak dalam melatih keterampilan mengatasi emosi.
Cara menenangkan anak dengan perangkat digital itu dikaitkan dengan tantangan perilaku yang lebih buruk di kemudian hari. Menurut penelitian Michigan Medicine, University of Michigan, Amerika Serikat, metode ini menyebabkan peningkatan disregulasi atau ketidakmampuan mengatur emosi, terutama pada anak laki-laki.
Dokter anak perilaku perkembangan di University of Michigan, Jenny Radesky, mengatakan, menggunakan perangkat seluler untuk menenangkan anak kecil tampak tidak berbahaya. Hal ini biasanya dilakukan untuk mengurangi stres dalam rumah tangga akibat ledakan emosional anak.
”Akan tetapi, ada konsekuensi jangka panjang jika hal itu dijadikan strategi dalam menenangkan anak. Khusus pada anak usia dini, perangkat dapat menggantikan peluang untuk pengembangan metode mandiri dan alternatif untuk mengatur diri sendiri,” ujarnya dilansir dari Eurekalert.org, Senin (12/12/2022).
Anak-anak menggunakan gawai di Desa Socokangsi, Kecamatan Jatinom, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Jumat (14/7/2017).
Penelitian tersebut melibatkan 442 orangtua dan 422 anak berusia 3-5 tahun. Studi dilakukan mulai Agustus 2018 hingga Januari 2020, sebelum pandemi Covid-19.
Para peneliti menganalisis tanggapan orangtua terhadap seberapa sering mereka menggunakan perangkat sebagai alat penenang dan keterkaitannya dengan gejala reaktivitas emosional atau disregulasi selama enam bulan. Tanda-tanda peningkatan disregulasi mencakup perubahan cepat antara kesedihan dan kegembiraan, perubahan suasana hati atau perasaan yang tiba-tiba, dan peningkatan impulsif.
”Temuan kami menunjukkan bahwa menggunakan gawai sebagai cara untuk menenangkan anak-anak yang gelisah dapat menjadi masalah bagi mereka yang sudah berjuang dengan keterampilan mengatasi emosi,” katanya.
Menurut Radesky, periode prasekolah hingga taman kanak-kanak merupakan tahap perkembangan ketika anak lebih cenderung menunjukkan perilaku yang sulit, seperti amukan, pembangkangan, dan emosi yang intens. Hal ini membuat orangtua tergoda untuk menggunakan perangkat digital sebagai strategi pengasuhan anak.
Cara menenangkan anak dengan perangkat digital itu dikaitkan dengan tantangan perilaku yang lebih buruk di kemudian hari.
Orangtua atau pengasuh akan merasa lega jika cara tersebut efektif mengurangi perilaku negatif dan menantang anak dalam sesaat. Apalagi, kebiasaan menggunakan gawai untuk mengelola perilaku anak kian intens karena tuntutan media anak-anak juga semakin kuat.
”Semakin sering perangkat digunakan, semakin sedikit latihan yang dilakukan anak-anak dan orangtua mereka untuk menggunakan strategi penanggulangan lainnya,” ucapnya.
Radesky menyebutkan sejumlah rekomendasi ketika orangtua tergoda menggunakan perangkat digital untuk menenangkan anak. Salah satunya dengan menyetel pengatur waktu untuk memberi anak ekspektasi yang jelas tentang kapan dan di mana perangkat dapat digunakan. Orangtua juga dapat memakai aplikasi atau layanan video dengan durasi terbatas.
Cara lainnya memakai teknik sensorik untuk menenangkan anak. Hal ini dapat dilakukan dengan mengayun, berpelukan, dan mendengarkan musik. Cara ini akan menyalurkan energi ke dalam gerakan tubuh ketika anak gelisah.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Anak-anak bermain gim daring di sebuah pos jaga di kawasan Cibunar, Bogor, Jawa Barat, Minggu (21/3/2021).
”Semua solusi ini membantu anak-anak memahami diri mereka sendiri dengan lebih baik dan merasa lebih kompeten dalam mengelola perasaan mereka. Sebaliknya, menggunakan distraktor seperti perangkat seluler tidak mengajarkan keterampilan, tetapi hanya mengalihkan perhatian anak dari apa yang mereka rasakan,” tuturnya.
Pada 2018, Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef) merilis penelitian tentang penggunaan internet yang aman untuk keluarga. Penelitian ini menyebutkan pemakaian perangkat digital menjadi salah satu tantangan bagi orangtua untuk menetapkan batasan dalam pendidikan anak.
”Tujuan khusus dari proyek ini adalah pelatihan peningkatan kesadaran guru dan pendidik serta meningkatkan pengetahuan orangtua dan anak-anak tentang risiko internet. Selain itu, pemberdayaan dalam penggunaan internet yang aman,” ujar spesialis pendidikan Unicef, Tanja Rankovic, dikutip dari laman Unicef.org.