Kegagalan Berulang Lumbung Pangan
Program lumbung pangan dengan mencetak sawah baru telah berulang dilakukan, namun menuai kegagalan.

Mesin pemotong padi digunakan dalam panen di Kampung Bokem, Desa Rimba Jaya, Distrik Merauke, Kabupaten Merauke, Papua, Kamis (17/11/2022). Kampung Bokem menjadi salah satu contoh kawasan yang berhasil mengembangkan tanam hingga panen padi dengan hasil memuaskan di Merauke.
JAKARTA, KOMPAS - Pencetakan sawah, sebagai bagian dari proyek lumbung pangan di Merauke, Papua menuai banyak kegagalan. Temuan di lapangan menunjukkan, sebagian besar sawah yang dicetak terbengkalai. Selain ketidaksesuaian lahan, kegagalan disebabkan oleh minimnya dukungan infrastruktur dan kurangnya tenaga kerja petani.
Di Kampung Bokem, Distrik Merauke, Kabupaten Merauke, hamparan lahan bekas cetak sawah yang dilakukan pada 2018 itu sebagian besar terbengkalai. "Jatah sawah di lokasi cetak sawah itu tidak bisa ditanami. Saya sudah coba tanam dua musim tapi selalu gagal. Banyak petani lain juga sudah coba selalu gagal, malah merugi biaya tanam dan olah tanah," kata Simon Wolo (53), Ketua Gabungan Kelompok Tani Bokem yang ditemui di kampungnya pada Senin (14/12/2022).
Menurut Simon, selain tanahnya terlalu asam, saluran irigasi di areal cetak sawah ini juga belum tersambung. "Saluran primer, sekunder, dan tersier tidak terhubung. Ada saluran air tapi hanya seperti kolam-kolam terpisah, harus dipompa untuk mengairi ke sawah," kata dia.
Simon mengatakan, sejak awal dia sudah mengingatkan bahwa lokasi yang dipilih untuk cetak sawah itu tidak sesuai untuk tanaman padi. "Proyek itu tanpa konsultasi dengan kami. Tiba-tiba saja ada banyak alat berat datang. Saya sudah kasih tahu itu dulu rawa besar. Tempat warga dulu berburu dan cari ikan. Selain asam juga sering banjir," kata dia.
Baca juga : Limbung Pangan di Merauke
Ketika kemudian cetak sawah itu selesai, Simon dan Kepala Kampung Bokem sempat menolak tandatangan. "Saya tidak mau disalahkan petani kami. Tapi, saya tidak berdaya, yang mengerjakan baju loreng (tentara) semua. Saya akhirnya tandatangan, tapi akhirnya saya yang disalahkan petani karena pada gagal panen," kata dia.

Novianti Rantemanik (37), Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) Kampung Bokem mengatakan, cetak sawah di kampung ini berlangsung sekitar Oktober hingga November 2018. Pengerjaannya hanya berlangsung selama dua bulan, dan sebagian di antaranya langsung ditanami pada Desember tahun yang sama.
Akan tetapi, ia tidak tahu menahu program cetak sawah ini hingga menjelang pelaksanaan. Medio September 2018, ia diminta ke Bokem untuk melihat titik koordinat lahan yang segera akan dicetak menjadi sawah. Luasnya mencapai 200 hektar.
“Di situ saya baru tahu akan ada cetak sawah. Lahan yang dicetak ini juga berbeda dengan yang diusulkan Dinas Pertanian untuk cetak sawah di Bokem. Dinas mengajukan akhir 2017 untuk cetak sawah 50 hektar. Kami pilih lokasi di bekas sawah lama, tapi sekarang menjadi hutan,” tuturnya.
Menurut perhitungan Novianti, hanya sekitar 20-40 ha dari sawah yang dicetak ini yang sekarang masih bisa ditanami. Setelah sawah selesai dicetak, ia pernah melakukan tes terhadap tanah. Saat itu, diketahui sebagian besar tanah memiliki tingkat keasaman pH 3 atau di bawah pH 5. Hal ini berarti tanah tersebut sulit untuk ditanami dan harus dilakukan pengapuran.
Novi menambahkan, drainase yang tidak tersambung dan memiliki ketinggian sama dengan sawah membuat air dalam sawah tidak bisa mengalir. Akhirnya, saat musim kemarau tiba, tingkat keasaman di dalam sawah pun semakin tinggi.
Simak juga : Limbung Pangan dan Gizi Buruk di Kampung Zanegi
Saat ini, Dinas Tanaman Pangan Holtikultura dan Perkebunan Merauke telah mengajukan optimalisasi lahan dan perbaikan drainase untuk lokasi cetak sawah tersebut. Terlebih lagi, lahan seluas 200 hektar itu telah masuk dalam Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B), yang artinya telah menjadi lahan abadi persawahan. Lahan tidak bisa dialihfungsikan untuk peruntukan lain.
Kegagalan cetak sawah baru bahkan terjadi di lokasi transmigrasi, seperti terjadi di Kampung Wonorejo, Distrik Kurik, Merauke, Papua, Selasa (8/11/2022). Sebagian besar lahan bekas cetak sawah yang dilakukan di kawasan ini pada tahun 2017-2018 juga dibiarkan terbengkalai.
Menurut Sofani (53), Ketua Gapoktan Tani Sejahtera, cetak sawah di Kampung Wonorejo mulai berlangsung pada medio 2015. Saat itu, pelaksana dari militer membuka lahan tepat di sebelah bekas cetak sawah yang dibuat oleh Belanda pada tahun 1955. Total sekitar 100 ha lahan dibuka di lokasi yang dikenal masyarakat sawah utara ini. Padahal, sawah milik Belanda tersebut ditinggalkan masyarakat karena nilai pH yang rendah dan sulit ditanami.

Pompa air peninggalan Belanda yang digunakan untuk mengairi areal persawahan di Kampung Wonorejo, Distrik Kurik, Merauke, Papua, Selasa (8/11/2022). Wilayah di timur Indonesia itu pada masa pemerintahan kolonial Belanda (1939-1958) pernah dikembangkan menjadi lumbung pangan untuk wilayah Pasifik Selatan melalui proyek Padi Kumbe-Kurik.
Setelah mencoba ditanami namun gagal, menurut Sofani, sawah yang baru dicetak ini lalu ditinggalkan. Pengamatan pada Selasa (8/11/2022), sebagian sawah yang dicetak sekitar tujuh tahun lalu tersebut dipenuhi alang-alang dan tanaman semak. Pohon bus dan semak belukar membuat lahan ini tidak lagi seperti persawahan. Tidak ada bekas aktivitas bertanam padi di lahan-lahan tersebut.
Program cetak sawah di perkampungan Marind Anim lebih parah lagi. Ignasius Balagaize (53), mantan Ketua Gapoktan Kampung Baad, Distrik Animha mengatakan, lahan cetak sawah di kampungnya gagal total. Program cetak sawah ini dilakukan di awal pelaksaan proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) tahun 2010.
“Dulu, di sini tidak ada sawah, tapi langsung dibuka. Ada dua lokasi, masing-masing 30 hektar. Sekarang tidak ada lagi,” jelasnya.
Baca juga : Marind Anim yang Dipaksa Meninggalkan Sistem Pangan Lokal
Iganasius mengatakan, saat baru dicetak, ia pernah mencoba menanam padi bersama 20 orang anggotanya di lahan seluas 30 ha. Ia sempat berhasil panen. Saat itu, musim tanam pertama yang semua prosesnya dibantu oleh pemerintah. Bibit hingga alat tani diberi. Bahkan, untuk menanam padi didatangkan para transmigran asal Jawa dari kampung tetangga.
Iganasius dan anggotanya diminta belajar dan melihat langsung proses menanam padi. Mereka hanya bertugas merawat dan membuat jalan usaha tani. Penanaman, termasuk penyemprotan, hingga panen, dilakukan oleh orang luar. Ia tidak ingat pasti jumlah panen tetapi saat itu hasilnya lumayan.
“Kami terakhir menanam itu 2011 karena kemudian gagal panen akibat banjir. Sekarang sawah itu sudah jadi alang-alang lagi,” ceritanya. Saat ini, ia lebih banyak berdiam di rumah dan sesekali turun ke sungai untuk mencari ikan. Kebutuhan hariannya bergantung ke anak dan cucu.
Di depan kediaman Iganasius saat ini terparkir sebuah mobil bak terbuka dengan tulisan MIFEE yang tercetak tebal. Baginya, itulah satu-satunya tinggalan tersisa dari proyek yang diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan memiliki slogan "memberi makan Indonesia, memberi makan dunia."
Dari pusat
Kepala Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan Kabupaten Merauke Yosefa Loise Rumaseuw, ditemui di Merauke Senin (14/11/2022) mengakui, banyak proyek cetak sawah di Merauke yang tidak berlanjut. Namun, dia tidak mau berkomentar banyak mengenai hal ini. "Proyek food estate ini dari pusat, kami tidak bisa banyak bicara. Tetapi, sejauh yang saya tahu, cetak sawah ini ibaratnya orangnya satu, tapi ganti-ganti baju saja," kata dia.
Menurut dia, Pemerintah Kabupaten Merauke akan lebih fokus untuk mengoptimalkan sawah yang ada, terutama yang sudah berstatus Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B), yang luasannya untuk Merauke sejauh ini hanya 64.000 ha.
"Sawah-sawah yang sudah ada gapoktannya kita optimalkan dulu agar lahannya bisa ditanami minimal dua musim. Atau kalau tidak bisa berseling dengan palawija," kata dia.
Proyek itu tanpa konsultasi dengan kami. Tiba-tiba saja ada banyak alat berat datang. Saya sudah kasih tahu itu dulu rawa besar. Tempat warga dulu berburu dan cari ikan. Selain asam juga sering banjir.
Sementara itu, Direktur Perluasan dan Perlindungan Lahan Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian, Kementerian Pertanian Erwin Noorwibowo mengatakan, realisasi cetak sawah di Kabupaten Merauke sepanjang 2015-2019 mencapai 8.915 ha. “Data realisasi yang disampaikan oleh Dinas Pertanian Provinsi Papua menunjukkan, pemanfaatan cetak sawah di Papua mencapai produktivitas 2,5-4,5 ton per ha,” katanya.
Menurut Erwin, realisasi cetak sawah pada 2018 di Desa Nasem dan Wasur II masing-masing seluas 100 hektar. Dari luasan ini, yang bisa ditanami padi hanya 47 ha akibat masalah banjir dan intrusi air laut.
Erwin juga mengakui adanya kendala cetak sawah di Bokem. “Kendala yang dilaporkan dari wilayah Kecamatan Merauke ialah tidak berfungsinya saluran sekunder dan primer dengan baik serta tidak cukupnya jumlah pintu air yang tersedia sehingga air tidak dapat teralirkan dengan baik,” katanya.
Empat pilar
Guru Besar IPB University yang juga Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia, Dwi Andreas Santosa mengatakan, proyek lumbung pangan, dengan komoditas utama padi, sudah berulang dilakukan, namun berulang pula menuai kegagalan. "Sejarah food estate dimulai sejak 1996 di masa Orde Baru dengan proyek lahan gambut sejuta hektar di Kalimantan Tengah. Saya terlibat di sana untuk melakukan analisis risiko lingkungan. Akhirnya, kita tahu proyek ini gagal total dan justru menjadi penyebab bencana lingkungan," kata dia.
Berikutnya, di masaPresiden Susilo Bambang Yudhoyono dibuat proyek MIFEE di Merauke pada 2010. "Sebelum proyek ini bahkan lahan sudah dikapling oleh 37 perusahaan. Akhirnya, tidak menghasilkan apa pun. Banyak investor yang masuk untuk sawit dan HTI. Untuk pangan sangat kecil, satu-satunya yang mencoba menanam padi juga gagal," kata dia.

Tebangan hutan di sekitar Kampung Zanegi, Distrik Animha, Kabupaten Merauke, Papua, Rabu (9/11/2022). Masuknya sejumlah perusahaan yang mendapatkan konsesi HTI merupakan bagian dari program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Sebagian hutan di Zanegi telah bersalin rupa menjadi hutan industri, khususnya akasia dan eucalyptus. Selama 12 tahun terakhir, kondisi masyarakat tidak membaik, malah mengalami kemunduran kualitas kehidupan.
Dwi Andreas menambahkan, di era Presiden Joko Widodo, proyek food estate di Merauke kembali dijalankan dengan luasan cetak sawah 1,2 juta ha. "Di awal proyek ini, saya pernah diundang ke Watimpres, sudah saya sampaikan ini teramat kecil kemungkinan berhasil. Di Merauke ini memang datar dan sumber air banyak. Tapi harus diingat isu sosialnya," kata dia.
Menurut perhitungan Dwi, jika satu petani bisa mengelola lahan sawah 2 ha dan jika yang dicetak adalah 1,2 juta ha sawah maka minimal harus mendatangkan 600.000 petani baru. "Ini akan memicu masalah besar. Penduduk asli di Merauke saja tidak sampai 55 ribu orang dan total penduduknya sekarang hanya 230.000 orang," kata dia.
Baca juga : Kulit dan Tulang untuk Anak-anak
Dwi Andreas menambahkan, agar food estate bisa berhasil, ada empat pilar yang harus dipenuhi. Pertama, kesesuaian tanah dan agroklimat. "Tanah masam dipaksakan untuk padi pasti gagal. Banyak proyek yang persyaratan satu ini saja tidak terpenuhi," kata dia.
Pilar kedua, dukungan iInfrastruktur, terutama saluran irigasi dan jalan usaha tani. "Tata kelola air ini tidak mudah, terutama kalau di lahan gambut seperti Kalimantan. Tanah pirit, kalau disingkap bisa turun pH-nya. Ini hanya bisa diatasi dengan dana besar," kata dia.

Maria Magdalena Wambekai (kanan) berbincang soal tanam padi di Kampung Bokem, Desa Rimba Raya, Distrik Merauke, Kabupaten Merauke, Papua, Senin (14/11/2022). Maria giat belajar dari mereka yang tahu hingga paham dan berani mencoba untuk bertani.
Pilar ketiga adalah budaya budidaya dan teknologi. "Apakah ada budaya bertani masyarakat setempat. Lalu teknologi pengendalian hama. Setiap pembukaan lahan baru, pasti akan bermasalah dengan hama. Hutan yang baru dibuka akan sangat berat tantangannya, ledakan populasi hama pasti terjadi," kata dia.
Pilar keempat, isu sosial dan ekonomi yang meliputi hak tenurial dan konflik tanah. "Apalagi jika menyangkut lahan skala besar seperti di Merauke ini pasti banyak sekali masalah tanahnya," kata dia.
Sedangkan dari aspek ekonomi, menurut Dwi, untuk cetak sawah baru minimal harus bisa memproduksi di atas 4 ton gabah kering panen per ha. "Kalau produksinya kurang dari ini pasti tidak ekonomis dan akhirnya tidak berkelanjutan," kata dia.
"Liputan ini didukung Rainforest Journalism Fund-Pulitzer Center."