Yusthinus dan Perjuangan Menghapus Merkuri Ilegal di Maluku
Satu dasawarsa terakhir, Yusthinus T Male meneliti pencemaran lingkungan akibat penggunaan merkuri di lokasi tambang emas liar.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·4 menit baca
Yusthinus T Male dikukuhkan menjadi guru besar dalam bidang kimia anorganik di Universitas Pattimura, Ambon, Maluku, pada 7 Desember 2022. Selama satu dasawarsa terakhir, Yusthinus secara ilmiah berjuang menghapus penggunaan merkuri di Gunung Botak, lokasi tambang emas tanpa izin terbesar di Indonesia.
Yusthinus, yang dihubungi pada Minggu (11/12/2022) menyampaikan, predikat guru besar yang ia sandang tidak lepas dari kerja ilmiah yang ia tekuni sejak tambang ilegal di Pulau Buru, Maluku, itu beroperasi tahun 2011. Ia melakukan beberapa kali penelitian untuk mengukur konsentrasi merkuri di sana. Merkuri atau air raksa dipakai para petambang untuk proses pemurnian emas.
Penelitian pertama ia lakukan bersama mahasiswa binaan. Ia menuturkan, selain dari kantong pribadinya, biaya penelitian kala itu mereka peroleh dari usaha kreatif dengan mengadakan bazar makanan. ”Waktu itu kami jual ayam bakar di kampus. Kami tawarkan kepada dosen-dosen dan kenalan,” ujarnya.
Penelitian itu membutuhkan biaya tak sedikit, mulai dari ongkos transportasi dari Ambon ke Pulau Buru, kemudian ke lokasi tambang Gunung Botak. Selain itu, ongkos transportasi dan biaya untuk pemeriksaan sampel yang dilakukan di luar Ambon. Beberapa sampel bahkan diuji di Australia.
Pulau Buru dijangkau dengan menumpang kapal selama tujuh jam perjalanan. Turun dari kapal, mereka menggunakan mobil selama dua jam, lalu menumpang sepeda motor sekitar satu jam. Di sana, mereka mendapati lebih dari 20.000 orang yang menambang.
Pada November 2015, Yusthinus mengungkapkan hasil penelitian itu. Lingkungan sudah tercemar merkuri. Bahkan, sejumlah warga Pulau Buru juga terpapar logam berat itu. ”Hasil penelitian itu pertama kali saya buka ke harian Kompas. Padahal, rencana saya, publikasi dulu lewat jurnal ilmiah. Saya yakin lewat media massa akan ada perubahan,” ucapnya.
Yang menjadi pekerjaan rumah selanjutnya adalah bagaimana memulihkan lingkungan di sana.
Ia mengungkapkan, kadar merkuri di sana sudah sangat tinggi, yakni mencapai 9 miligram (mg) per kilogram (kg) lumpur. Padahal, ambang batas merkuri pada sedimen tidak boleh lebih dari 1 mg per kg lumpur. Sampel dari sedimen itu diperoleh di tujuh lokasi.
Merkuri ditemukan pada bahan makanan yang meliputi udang, ikan, kerang-kerangan, dan kepiting yang diambil dari Teluk Kayeli, muara sungai yang sudah tercemar. Konsentrasi merkuri pada 30 persen sampel itu pun sudah melampaui batas atas standar nasional yang hanya 0,5 mg per kg sampel. Temuan pada udang lebih dari tiga kali lipat dibandingkan standar, ikan tujuh kali, kerang enam kali, dan kepiting dua kali.
Sementara, temuan merkuri pada tubuh manusia diperoleh dari sampel rambut. Hasilnya, pada rambut penduduk di sekitar tempat pengolahan emas, kadar merkuri sebanyak 18 mg per kg sampel atau lebih tinggi 36 kali dari standar. Ada lima warga dari petambang yang dijadikan sampel.
Pada sampel penduduk yang bukan pekerja tambang, ditemukan konsentrasi merkuri di atas dua sampai tiga kali standar. Lima penduduk dijadikan sampel. Hasil penelitiannya itu menggemparkan.
Setelah diberitakan, pemerintah pusat langsung turun tangan dengan mengirim tim dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ke Gunung Botak. Lokasi tambang itu pun ditutup. Kendati kemudian hari masih ada petambang yang masuk, jumlahnya sudah berkurang jauh.
”Yang menjadi pekerjaan rumah selanjutnya adalah bagaimana memulihkan lingkungan di sana. Saya sudah merekomendasikan beberapa hal, seperti menanam tanaman yang dapat mereduksi merkuri. Juga harus dilakukan pengerukan terhadap sedimen. Itu yang belum jalan,” kata Yusthinus.
Menurut Yusthinus, pencemaran merkuri di Gunung Botak bak bom waktu yang menunggu saatnya meledak. Merkuri dapat menyebabkan mutasi genetika. Anak yang lahir dari rahim yang terpapar merkuri dalam konsentrasi tinggi akan mengalami kelainan. Tidak tertutup kemungkinan, tragedi Minamata di Jepang dapat terulang kembali di Pulau Buru.
Rektor Universitas Pattimura MJ Sapteno mengapresiasi pencapaian Yusthinus. Ia berharap semakin banyak karya yang dihasilkan Yusthinus untuk kemajuan penelitian di kampus tersebut. Prestasi yang diperoleh agar menjadi inspirasi bagi para akademisi lainnya.
Nanang Wijaya (55), petani di dataran Waeapo, dekat aliran Sungai Waeapo yang sudah tercemar merkuri, meminta pemerintah segera menindaklanjuti rekomendasi Yusthinus terkait pemulihan lingkungan di sana. Pencemaran Sungai Waeapo berdampak pada hasil pertanian setempat.
Pulau Buru merupakan lumbung pangan di Maluku. Pertanian di sana pertama kali dikerjakan oleh para tahanan politik Orde Baru kemudian transmigran dari Pulau Jawa, termasuk Nanang. ”Merkuri ini sangat berbahaya. Kami tidak ingin anak, cucu, dan keturunan kami jadi korban,” ucapnya.
Lewat penelitian, Yusthinus sudah membuka fakta mengenai kerusakan lingkungan dan bahaya merkuri bagi manusia. Ia termasuk salah satu figur di Maluku yang menentang penggunaan merkuri untuk pengelolahan emas. Ia layak mendapatkan predikat sebagai guru besar.