Rendah, Kampanye Kesetaraan Jender di Media Sosial
Pemahaman masyarakat tentang kesetaraan jender masih rendah. Karena itu, kampanye-kampanye tentang kesetaraan jender di berbagai ruang, termasuk ruang digital, harus ditingkatkan.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Media sosial bernilai strategis untuk mendorong kesadaran kesetaraan jender dan mengampanyekan penghapusan kekerasan terhadap anak dan perempuan. Kendati demikian, kesadaran sebagian besar pengguna media sosial untuk mengampanyekan pentingnya kesetaraan jender masih rendah.
Hal ini seperti tecermin dari salah satu temuan Baseline Study yang dilakukan Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia) dalam proyek Raise the Bar tahun 2022. Dalam studi tersebut, 92 persen dari 181 responden yang mayoritas perempuan merupakan pengguna aktif media sosial. Namun, hanya 48 persen yang menyatakan ingin berpartisipasi dalam kampanye di kesetaraan jender,
”Oleh karena itu, upaya mengampanyekan kesetaran jender di ruang digital perlu untuk terus didorong karena media ini bernilai strategis,” ujar Direktur Eksekutif Plan Indonesia Dini Widiastuti pada acara diskusi bertajuk ”Media Sosial: Ruang Aman bagi Anak dan Perempuan”, Jumat (9/12/2022) di Jakarta.
Berdasarkan data We Are Social, jumlah pengguna media sosial di Indonesia meningkat 21 juta (sekitar 12,6 persen) antara tahun 2021 dan 2022. Hingga awal 2022 ada 191,4 juta pengguna media sosial di negeri ini atau lebih dari setengah populasi Indonesia.
Walaupun penggunanya banyak, kampanye-kampanye kesetaraan jender melalui media sosial menghadapi berbagai tantangan. Salah satunya, arus teknologi informasi dan sistem algoritma media sosial yang cepat berubah dari waktu ke waktu dan cenderung didominasi oleh nilai-nilai patriarki.
”Pesan tentang kesetaraan jender dan kepemimpinan perempuan mudah tenggelam, tergantikan dengan pesan lain yang justru melanggengkan ketidakadilan jender,” kata Dini.
Hingga awal 2022 ada 191,4 juta pengguna media sosial di negeri ini atau lebih dari setengah populasi Indonesia.
Oleh karena itu, lanjut Dini, diperlukan langkah taktis dalam berkomunikasi di media sosial, termasuk dengan mengikuti tren isu terkini agar pesan kampanye kesetaraan jender mendapat perhatian publik.
Salah satunya, melalui proyek Raise the Bar yang mengampanyekan secara digital tentang perspektif baru tentang kesetaraan jender yang dimulai dari skala keluarga. Misalnya, menyuarakan kesetaraan jender dapat dimulai dengan pembagian pekerjaan rumah secara adil tanpa didasarkan jender.
Raise the Bar bertujuan untuk mempromosikan kesetaraan norma jender bagi kaum muda, terutama di wilayah perkotaan. Tujuannya adalah meningkatkan kesadaran kaum muda perempuan dan laki-laki perkotaan tentang kesetaraan jender dan persamaan hak perempuan dengan laki-laki, baik di rumah maupun di tempat kerja.
Selain itu, Raise the Bar juga diharapkan memperkuat agensi, kapasitas, dan kepemimpinan perempuan muda perkotaan di masyarakat (misalnya di rumah tangga dan tempat kerja).
Kampanye tersebut juga memberdayakan kaum muda laki-laki untuk mengatasi maskulinitas beracun dan menunjukkan partisipasi dan dukungan mereka terhadap kesetaraan jender, kepemimpinan feminis, dan praktik jender alternatif di masyarakat.
Koordinator Raise the Bar Project Dewi Komalasari menyatakan, Raise the Bar dalam kampanye kesetaraan jender melalui ruang digital menggandeng mitra strategis, seperti Srikandi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan asosiasi bisnis, seperti Asosiasi Pengusaha Indonesia, mengundang KOLs (influencer).
”Semua dirancang untuk membangun percakapan seluasnya soal kesetaraan jender. Selain itu, juga untuk menggali pengalaman kaum muda saat berhadapan dengan norma jender tradisional, baik di ranah privat maupun di tempat kerja,” ungkap Dewi.
Dalam diskusi ”Media Sosial: Ruang Aman bagi Anak dan Perempuan” hadir juga Luviana Ariyanti (Pendiri dan Chief Editor Konde.co), Wan Ulfa Nur Zuhra (Direktur Eksekutif Indonesian Data Journalism Network/IDJN), dan Indiana Salsabila (Digital Communications Specialist Perspectiva).
Luviana mengungkapkan, sebagai jurnalis dia sering menghadapi berbagai hujatan lewat platform digital. Kendati demikian, dia berusaha untuk tidak menanggapinya. Menurut dia, kampanye kesetaraan jender lewat digital harus disiapkan.
Luviana menegaskan, media massa termasuk media sosial dapat dimanfaatkan untuk mengampanyekan sekaligus mengadvokasi isu kesetaraan gender, kepemimpinan, dan keterlibatan perempuan dalam mengubah pola pikir dan perilaku secara transformatif.
Karena itulah, siapa pun perlu menempatkan posisi untuk mendengarkan pengalaman perempuan dalam upaya mencapai situasi masyarakat yang setara dan tanpa kekerasan berbasis jender.
Indiana mengungkapkan, saat ini ketika media sosial menjadi alat komunikasi di dunia, justru algoritma dimainkan semua orang. ”Kata kunci yang seharusnya bisa mengangkat suatu isu malah digunakan untuk memendam atau meredam isunya, atau bisa memutar balik narasi, jadi malah mengkritik gerakan feminis,” kata Indiana.
Soal pengaruh media sosial, menurut dia, algoritma dapat dipengaruhi oleh politik dan budaya, yang tidak jarang menciptakan bias dan diskriminasi.
Bicara soal data dan jurnalisme, Wan Ulfa menegaskan, data merupakan hal krusial dalam mendukung jurnalisme terutama di media sosial. ”Jurnalisme data adalah bagaimana kita menggunakan data untuk memperkuat, mempertajam laporan jurnalistik,” paparnya.