Pemenuhan Hak Orang dengan Gangguan Jiwa Saat Proses Hukum Belum Optimal
Orang dengan gangguan jiwa mengalami posisi rentan saat menjalani proses hukum. Pemeriksaan psikiatri forensik diperlukan untuk menentukan kemampuan mereka berpartisipasi dalam proses hukum.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hak orang dengan gangguan jiwa atau masalah kejiwaan saat menjalani proses hukum kerap tidak terpenuhi. Penyebabnya, antara lain, karena sejumlah gangguan kejiwaan tidak kasatmata, aparat penegak hukum belum memiliki perspektif peka disabilitas mental, dan terbatasnya layanan psikiatri forensik.
Kepala Divisi Psikiatri Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Natalia Widiasih, Kamis (8/12/2022), mengatakan, gangguan jiwa bersifat kompleks dan dinamis. Misalnya, kondisi orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) atau orang dengan masalah kejiwaan (ODMK) hari ini bisa berbeda dengan besok.
Derajat keparahan gangguan jiwa pun beragam. Itu sebabnya tidak semua ODGJ atau ODMK dinyatakan tidak punya kecakapan mental. Selain itu, tidak semua gangguan jiwa kasatmata. Ada gangguan jiwa yang baru terdeteksi setelah diperiksa atau saat individu menghadapi faktor pemicu gangguan.
”Sebenarnya sedikit sekali gangguan jiwa yang memenuhi stereotipe awam, seperti berbicara sendiri, berhalusinasi, atau berperilaku kacau. Sebaliknya, mayoritas akan terlihat seperti ’orang biasa’ tanpa perubahan mencolok bila dilihat sekilas, seperti pada gangguan depresi dan kecemasan,” kata Natalia dalam diskusi daring bertajuk ”Pemenuhan Hak ODGJ/ODMK dalam Sistem Hukum melalui Pemeriksaan Kecakapan Mental yang Berkualitas”.
Itu sebabnya gangguan jiwa kerap luput dari pantauan aparat penegak hukum. Hal ini berpotensi menghambat pemenuhan hak ODGJ/ODMK untuk berpartisipasi dalam proses hukum. Menurut data berbagai negara, satu dari lima orang yang menjalani proses hukum mengalami masalah kejiwaan.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Fajri Nursyamsi, mengatakan, ODGJ/ODMK yang terlibat dalam proses hukum mesti diperiksa, antara lain, dengan layanan psikiatri forensik. Pemeriksaan itu untuk menilai kemampuan individu bertanggung jawab atas tindakannya.
Pemeriksaan juga membantu aparat menentukan dukungan yang dibutuhkan ODGJ/ODMK selama proses hukum. Contohnya, bantuan berkomunikasi dan pengampuan. Hambatan yang dialami ODGJ/ODMK karena disabilitasnya diharapkan teratasi.
”Penyandang disabilitas mental tidak serta-merta dianggap tidak mampu memelihara dirinya sendiri,” ujar Fajri. “Yang diperlukan adalah pemeriksaan dan dukungan (untuk ODGJ/ODMK).”
Sebenarnya sedikit sekali gangguan jiwa yang memenuhi stereotipe awam, seperti berbicara sendiri, berhalusinasi, atau berperilaku kacau. Sebaliknya, mayoritas akan terlihat seperti ’orang biasa’ tanpa perubahan mencolok bila dilihat sekilas, seperti pada gangguan depresi dan kecemasan.
Tantangan
Tantangan ODGJ/ODMK saat menjalani proses hukum, di antaranya, adalah kesulitan memahami situasi serta sulit memberi penjelasan yang jelas dan lengkap kepada aparat. Ada pula ODGJ/ODMK yang mengisi kekosongan memori dengan ingatan masa lalu sehingga informasi yang diberikan selama pemeriksaan tidak konsisten.
Itu sebabnya kesaksian ODGJ/ODMK kerap diragukan. Hal ini dapat merugikan mereka yang menjadi korban. Mereka yang menjadi terduga pelaku juga rentan dihukum karena dianggap berbohong dan menghalangi proses hukum.
Fajri mengatakan, aparat penegak hukum perlu peka saat menghadapi ODGJ/ODMK. Contohnya, menciptakan ruang yang nyaman untuk berkomunikasi serta memberi waktu bagi ODGJ/ODMK untuk menstabilkan kondisi sebelum bersaksi. Namun, belum semua aparat memiliki perspektif peka disabilitas mental.
”Kurangnya pengetahuan aparat penegak hukum untuk melakukan pemeriksaan, berkomunikasi, dan menciptakan ruang aman bagi saksi dan korban (ODGJ/ODMK) bisa berdampak ke berhentinya suatu kasus. Keadilan bagi ODGJ/ODMK pun tidak tercapai,” kata Fajri.
Layanan terbatas
Di sisi lain, layanan psikiatri forensik di Indonesia masih terbatas. Padahal, hasil pemeriksaan psikiatri forensik dapat menentukan kemampuan ODGJ/ODMK untuk berpartisipasi dalam proses hukum.
Menurut Natalia, hanya ada 15 konsultan psikiatri forensik di Indonesia. Dari jumlah itu, hanya delapan orang yang aktif memberi layanan. Mayoritas pemeriksaan psikiatri forensik pun akhirnya dilakukan psikiater umum. Namun, sebagian psikiater menilai kasus psikiatri forensik sulit ditangani.
Salah satu alasannya adalah besarnya tekanan masyarakat. Psikiater rentan menerima ujaran kebencian dari publik ketika hasil pemeriksaannya tidak sesuai ekspektasi publik. Selain itu, pedoman untuk layanan ini masih terbatas.
Tim peneliti FKUI lantas meluncurkan pedoman Kemampuan Berpikir Analisis Psikomedikolegal (KBAP) dan modul pelatihannya. Pedoman ini untuk membantu psikiater melakukan pemeriksaan psikiatri forensik secara efektif dan efisien. Pedoman tersebut telah diuji coba ke 20 psikiater di sejumlah daerah.