Investigasi Terus Berjalan, Izin Edar Produk Sirop Obat Kembali Dicabut
Badan POM kembali mencabut izin edar produk sirop obat yang mengandung cemaran etilen glikol dan dietilen glikol melebihi ambang batas aman. Pencabutan izin edar tersebut untuk produk dari PT Rama Emerald Multi Sukses.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Pengawas Obat dan Makanan kembali mencabut izin edar produk sirop obat yang ditemukan mengandung cemaran etilen glikol ataupun dietilen glikol. Produk sirop obat yang dicabut izin edarnya tersebut diproduksi oleh PT Rama Emerald Multi Sukses.
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K Lukito menuturkan, BPOM kembali menemukan produk obat yang menunjukkan kadar cemaran etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) melebihi ambang batas aman pada asuran harian.
Temuan itu berdasarkan hasil investigasi dan intensifikasi pengawasan BPOM melalui perluasan sampling, pengujian sampel produk sirop obat dan bahan tambahan yang digunakan, serta pemeriksaan lebih lanjut pada sarana produksi obat.
”Produk sirop obat yang dimaksud diproduksi oleh PT Rama Emerald Multi Sukses atau PT REMS yang berlokasi di Gresik, Jawa Timur,” kata Penny dalam keterangan resmi yang diterima di Jakarta, Rabu (7/12/2022). Adapun batas aman yang ditetapkan sebesar 0,5 miligram per kilogram berat badan per hari.
Penny menyampaikan, hasil uji pada bahan baku propilen glikol yang digunakan pada produk sirop obat yang diproduksi PT REMS menunjukkan kadar EG mencapai 33,46 persen dan DEG sebesar 5,94 persen. Ambang batas yang ditetapkan ialah cemaran EG dan DEG tidak boleh melebihi 0,1 persen.
Berdasarkan pemeriksaan lebih lanjut ke sarana produksi PT REMS ditemukan pula ketidaksesuaian dalam penerapan CPOB. Atas dasar itu, BPOM juga menetapkan sanksi administratif dengan mencabut sertifikat cara pembuatan obat yang baik (CPOB) untuk produk cairan oran nonbetalaktam serta pencabutan semua izin edar produk sirop obat produk PT REMS.
BPOM kembali menemukan produk obat yang menunjukkan kadar cemaran etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) melebihi ambang batas aman pada asuran harian.
Selain sanksi administratif, BPOM meminta PT REMS untuk menghentikan kegiatan produksi dan distribusi semua produk sirop obat serta menarik dan memastikan semua produk sirop obat telah ditarik dari peredaran.
Semua persediaan sirop obat juga akan dimusnahkan dengan disaksikan oleh petugas unit pelaksanaan teknis BPOM serta melaporkan pelaksanaan perintah penghentian produksi, penarikan, dan pemusnahan produk sirop obat kepada BPOM.
Penny menyampaikan, investigasi dan pendalaman lebih lanjut masih dilakukan terkait dengan temuan produk sirop obat PT REMS yang terbukti mengandung ED dan DEG melebihi ambang batas. Jika ditemukaan bukti permulaan yang menunjukkan terjadi tindak pidana dalam produksi atau peredaran sirop obat, penyidikan akan segera dilakukan.
”BPOM kembali menegaskan agar pelaku usaha, termasuk produsen dan distributor bahan baku obat, untuk konsisten dalam menerapkan CPOB dan CDOB serta mematuhi ketentuan peraturan perundangan-undangan yang telah ditetapkan, secara nasional maupun internasional,” ucap Penny.
Parasetamol
Secara terpisah, Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan L Rizka Andalucia menyampaikan, pemerintah akan berupaya untuk terus meningkatkan produksi obat dalam negeri melalui penelitian dan pengembangan secara komprehensif. Itu mencakup riset, uji klinik, produksi, dan pemenuhan kebutuhan obat dan bahan baku obat.
Salah satu prioritas yang akan dikembangkan ialah produk parasetamol. Produk obat tersebut merupakan jenis obat yang paling banyak dikonsumsi di Indonesia dengan permintaan sekitar 9.000 ton per tahun.
Bahan baku obat parasetamol dalam negeri berpotensi dikembangkan dari hulu hingga hilir. Berbagai penjajakan dilakukan untuk mendukung hal itu, di antaranya kerja sama antara PT Kimia Farma dan China Sinopharm International Corporation untuk pasokan para aminophenol impor. Kerja sama itu meliputi, antara lain, riset, lisensi, produksi, distribusi, dan pengembangan produk parasetamol.
Rizka menuturkan, Kementerian Kesehatan akan berupaya mencapai ketahanan farmasi nasional untuk produk parasetamol melalui kolaborasi dalam penguasaan proses hulu ke hilir yang bisa dilakukan di dalam negeri.
”Untuk mempercepat hal tersebut, Kemenkes menggandeng akademisi, industri kimia, industri API, mitra pemerintah, dan masyarakat dengan target pemenuhan kebutuhan nasional mulai 2024,” ujarnya.