Saatnya Evaluasi Sekolah Aman Gempa di Indonesia
Program Satuan Pendidikan Aman Gempa dinilai belum efektif, terbukti dengan banyaknya gedung sekolah yang rusak saat gempa Cianjur, menyebabkan banyak anak menjadi korban.
Gempa M 5,6 yang mengguncang Cianjur, Jawa Barat, pada Senin (21/11/2022) pukul 13.21 menjadi pelajaran pahit tentang bahaya gempa jika terjadi pada siang hari saat jam sekolah. Hampir separuh dari korban jiwa berusia di bawah 16 tahun, sebagian ditemukan meninggal karena tertimpa bangunan sekolahnya.
Pelaksana tugas Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Abdul Muhari, Senin (5/12/2022), mengatakan, data terbaru menunjukkan, sebanyak 37.830 rumah rusak akibat gempa. Sementara korban jiwa mencapai 334 orang dan 8 orang hilang.
”Tidak hanya rumah penduduk, fasilitas umum dan fasilitas sosial kita juga banyak mengalami kerusakan dan ini yang menjadi salah satu keprihatinan kita,” kata Muhari.
Data BNPB menunjukkan, ada 525 fasilitas pendidikan dan 14 fasilitas kesehatan yang rusak. Padahal, gempa ini terjadi saat masih jam sekolah sehingga menyebabkan banyaknya korban di kalangan anak-anak.
Dari 280 korban jiwa yang telah diidentifikasi usianya, sebanyak 21 persen berumur di bawah lima tahun dan 23 persen berusia di bawah 16 tahun. ”Jadi, hampir separuh korban adalah anak-anak. Kita harus berefleksi, untuk menggali pembelajaran ketika kembali terjadi gempa di masa depan,” kata Muhari.
Evaluasi keamanan sekolah
Ahli kebencanaan yang juga Koordinator Program Studi Magister Manajemen Bencana UPN Veteran Yogyakarta Eko Teguh Paripurno mengatakan, sekolah seharusnya menjadi tempat paling aman saat terjadi bencana. Apalagi, Indonesia juga sudah memiliki Program Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB).
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 33 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Program SPAB telah mengamanatkan pentingnya pemberian perlindungan dan keselamatan kepada peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan dari risiko bencana.
Terdapat tiga pilar utama SPAB, yaitu fasilitas sekolah aman, manajemen bencana di sekolah, serta pendidikan pencegahan dan pengurangan risiko bencana. Sampai dengan 2019, menurut klaim Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagaimana bisa diakses di laman resminya (https://pk.kemdikbud.go.id) sudah ada 27.000 lebih satuan pendidikan yang telah melaksanakan SPAB di Indonesia.
”Kami harus melakukan evaluasi kritis terhadap SPAB ini sehingga tidak hanya menjadi program yang bersifat formalitas dan administratif. Tidak hanya kualitas bangunannya, evaluasi juga harus dilakukan terhadap manajemen bencana dan pola pendidikan bencana di sekolah,” kata Eko Teguh.
Ahli bangunan tahan gempa dari Universitas Islam Indonesia (UII) yang juga anggota Dewan Pengarah BNPB, Sarwidi, mengatakan, secara teknis, bangunan sekolah yang merupakan bangunan publik seharusnya didesain tahan gempa. ”Kalau bangunannya tahan gempa, seharusnya dengan gempa seperti di Cianjur tidak akan ambruk. Kalaupun ada kerusakan, struktur utama seharusnya bisa bertahan,” katanya.
Sarwidi mengatakan, bangunan tahan gempa dengan sistem ”Barrataga” yang dirancangnya masih utuh saat gempa bumi tahun 2006 di Yogyakarta, yang memiliki intensitas guncangan hingga IX MMI. Padahal, gempa di Cianjur kali ini memiliki intensitas VI-VII MMI. Artinya, efek guncangannya masih lebih kecil dibandingkan gempa di Yogyakarta yang juga dangkal.
Oleh karena itu, menurut Sarwidi, perlu dilakukan audit terhadap kerusakan bangunan, khususnya bangunan-bangunan publik dan bangunan sosial di Cianjur. Audit bangunan ini diharapkan bisa mengungkap titik kelemahan yang harus diperbaiki.
Baca Juga: Bukan Gempa yang Membunuh
”Proses pembangunan bangunan publik biasanya melalui beberapa tahapan formal, yaitu pemilihan lokasi, desain, lelang, pembangunan dan pengawasan, perawatan, dan pemakaian atau pemanfaatan bangunan. Untuk menentukan penyebab kegagalan bangunan karena gempa dapat diketahui melalui investigasi pada setiap tahapan tersebut," kata dia.
Sebagai perbandingan, investigasi terhadap kegagalan bangunan pascagempa telah lazim dilakukan di banyak negara lain. Jika terbukti ada penyimpangan bisa dipidana sebagai efek jera. Sebagai contoh, Kejaksaan Taiwan menyeret pengembang dan arsitek apartemen 17 lantai yang roboh saat gempa M 6,4 pada 6 Februari 2016. Jaksa menuduh pengembang mengabaikan standar bangunan sehingga berujung kematian puluhan orang.
Perkuat bangunan sekolah
Sarwidi mengatakan, belajar dari gempa Cianjur kali ini, perlu ada evaluasi menyeluruh terhadap keamanan bangunan sekolah yang berada di zona bahaya gempa. Evaluasi yang perlu dilakukan meliputi sistem fondasi, struktur, hingga dinding dan atap. Jika ditemukan kondisi yang belum memenuhi standar aman gempa harus segera diperkuat.
”Pola yang saya temukan, di daerah yang habis mengalami gempa biasanya kualitas bangunannya lebih tahan gempa. Tetapi, di daerah yang lama tidak mengalami gempa kualitas bangunannya rata-rata buruk atau tidak memenuhi standar,” kata Sarwidi.
Padahal, ancaman bencana terutama bisa terjadi di zona gempa yang sudah lama tidak dilanda gempa bumi. Sebagai negara yang berada di lingkaran Cincin Api Pasifik, sewaktu-waktu kita akan kembali mengalami gempa bumi besar.
Kita harus melakukan evaluasi kritis terhadap SPAB ini, sehingga tidak hanya menjadi program yang bersifat formalitas dan administratif. Tidak hanya kualitas bangunannya, evaluasi juga harus dilakukan terhadap manajemen bencana dan pola pendidikan bencana di sekolah.
Indonesia seharusnya bisa meniru Jepang yang sangat serius dalam mengupayakan sekolah aman gempa. Tidak hanya bisa bertahan dari guncangan gempa saja, sekolah di Jepang bahkan disiapkan menjadi tempat paling aman sehingga bisa dimanfaatkan sebagai tempat evakuasi jika terjadi bencana.
Untuk mewujudkan hal ini, Pemerintah Jepang melakukan retrofitting atau penguatan kembali bangunan sekolah sesuai standar terbaru. Pada tahun 2002, baru 44,5 persen gedung sekolah negeri Jepang yang tahan gempa. Pada 2018, setelah Gempa Sendai tahun 2011, angka tersebut meningkat menjadi 99 persen.
Baca Juga: Rumah Gadang, Bangunan Tahan Gempa yang Ditinggalkan
Angka ini terus bergerak dan mereka menargetkan 100 persen bangunan sekolah harus aman gempa. Survei status retrofit seismik fasilitas sekolah negeri secara nasional pada tahun 2021 oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Olahraga, Sains, dan Teknologi (MEXT) Jepang, menunjukkan bahwa 99,6 persen dari 114.410 gedung sekolah dasar dan menengah pertama, gimnasium, dan fasilitas lainnya di seluruh Jepang telah diperkuat agar tahan terhadap gempa bumi dengan intensitas seismik 6 atau lebih tinggi.
Gempa Besar Hanshin-Awaji tahun 1995 telah menciptakan momentum bagi Jepang untuk mewujudkan sekolah aman bencana. Gempa bumi saat itu menyebabkan hampir 4.000 sekolah di Kota Kobe hancur.
Laporan Bank Dunia (2016) menunjukkan, Pemerintaah Jepang kemudian melakukan penilaian komprehensif terhadap keamanan sekolah yang ada dan meningkatkan subsidi pemerintah daerah untuk program perkuatan sekolah terhadap bencana. Dukungan keuangan dan teknis dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah ini menjadi kunci percepatan implementasi sekolah aman gempa.
Tak hanya memperkuat bangunan sekolah, Jepang juga membudayakan kesiapsiagaan menghadapi gempa bumi sejak dini. Di sekolah dasar negeri di Jepang, latihan gempa diadakan secara rutin.
Setahun sekali, seluruh sekolah di Jepang wajib mengikuti peringatan Hari Pencegahan Bencana bōsai no hi dengan latihan evakuasi bencana. Peringatan yang telah dilakukan sejak tahun 1960 ini dilakukan untuk mengingatkan orang Jepang agar bersiap menghadapi keadaan darurat.
Baca Juga: Beradu Cepat dengan Guncangan Gempa Bumi
Jika gempa terjadi saat mereka berada di ruang kelas, anak-anak diajari untuk segera berlindung di bawah meja mereka, dengan kepala terlebih dahulu, dan berpegangan pada kaki meja sampai gempa selesai. Setelah itu guru membawa mereka keluar gedung dan memastikan semua orang ada di sana dan aman.
Jika terjadi gempa saat anak-anak berada di halaman sekolah, mereka diajarkan untuk berkumpul di tengah, jauh dari gedung sekolah. Perlu dicatat, respons untuk berlindung di bawah meja sekolah ini terutama akan efektif melindungi jika kualitas gedungnya memang sudah sesuai standar tahan gempa.
Edukasi kebencaan ini dengan mudah bisa didapatkan anak-anak Jepang di lingkungan sekitar. Di setiap kantor pemadam kebakaran, anak-anak juga bisa berlatih di alat simulasi gempa, yaitu ruangan khusus yang dapat dibuat berguncang seperti saat terjadi gempa bumi yang kuat.
Jatuhnya ratusan korba jiwa di kalangan anak-anak di Cianjur yang sebagian terjadi di lingkungan sekolah, seharusnya menjadi momentum bagi Indonesia untuk lebih serius mewujudkan sekolah aman gempa. Tidak hanya keamanan bangunan, anak-anak harus disiapkan untuk menghadapi gempa yang sewaktu-waktu melanda dengan pendidikan dan latihan evakuasi.