Baru 112 Kabupaten/Kota Memiliki Perda Difabel
Baru 112 kabupaten/kota yang memiliki peraturan daerah tentang penyandang disabilitas atau difabel. Adapun belum semua perda sesuai dengan Undang-Undang Penyandang Disabilitas.

Komisi Nasional Disabilitas (KND) mengadakan konferensi pers untuk melaporkan hasil kerja KND selama setahun terakhir pada Selasa (6/12/2022) di Jakarta.
JAKARTA, KOMPAS — Dari 514 kabupaten/kota di Indonesia, baru 112 di antaranya yang memiliki peraturan daerah atau perda tentang penyandang disabilitas. Ketiadaan perda menghambat pemenuhan hak penyandang disabilitas atau difabel. Hal ini juga menunjukkan bahwa belum semua pemerintah daerah memiliki perspektif peka disabilitas.
”Ketika perda tidak ada, sulit untuk mengatakan ada keberpihakan (ke penyandang disabilitas). (Kebijakan) sifatnya seasonal (musiman), tidak sustainable (berkelanjutan),” ucap komisioner Komisi Nasional Disabilitas (KND), Jonna Aman Damanik, di Jakarta, Selasa (6/12/2022).
Di sisi lain, belum semua perda sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Perda tersebut masih perlu diharmonisasi dengan UU, kemudian direvisi.
Penyandang disabilitas dianggap warga negara kelas dua sehingga dianggap tidak memiliki kemampuan.
Dengan adanya UU Penyandang Disabilitas, penanganan difabel tidak lagi berdasarkan belas kasihan (charity based), tetapi berdasarkan pada pemenuhan hak asasi manusia. Artinya, penyandang disabilitas kini dipandang sebagai subyek yang setara dan haknya sebagai warga negara Indonesia mesti dipenuhi.
Menurut komisioner KND, Deka Kurniawan, perubahan perspektif tentang penyandang disabilitas belum dipahami semua pemerintah daerah. Stigma negatif pun masih melekat ke penyandang disabilitas. Ini tampak dari penggunaan istilah yang dianggap meminggirkan difabel, misalnya istilah cacat.

Komisioner Komisi Nasional Disabilitas, Deka Kurniawan, di Jakarta, Selasa (6/12/2022).
”Ini terjadi di kalangan masyarakat, pemda, hingga swasta. Penyandang disabilitas dianggap warga negara kelas dua sehingga dianggap tidak memiliki kemampuan,” ujar Deka.
Baca juga : Pelaksana Kebijakan Berperspektif Disabilitas Dibutuhkan
Hal ini sesuai kajian Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) pada 2021 terhadap 10 kabupaten/kota. Rata-rata pemda dinilai belum paham konsep disabilitas. Interpretasi UU Penyandang Disabilitas juga belum dipahami semua pemda. Hal ini dapat berpengaruh ke penyusunan perda yang tidak sesuai dengan kebutuhan difabel.
”Masyarakat kita ada di daerah sehingga implementasi (UU Penyandang Disabilitas) memang harus dilakukan pemerintah kabupaten/kota. Implementasi itu pun harus bisa dirasakan (manfaatnya) bagi masyarakat penyandang disabilitas di sana,” kata salah satu pendiri HWDI Maulani Agustiah Rotinsulu (Kompas.id, 20/10/2022).
Advokasi
KND menyatakan bakal berkunjung ke setiap kabupaten/kota untuk advokasi ke pemda. Mereka juga akan mendampingi pemda yang ingin menyusun perda.

Koalisi Nasional POKJA Implementasi UU Penyandang Disabilitas berjalan menuju Bundaran Hotel Indonesia (HI) Jakarta dalam Pawai Budaya Disabilitas yang bertajuk "Menuju Disabilitas Merdeka”, akhir Agustus 2019.
”Dari 514 kabupaten/kota, baru sekitar 20 persen yang memiliki perda disabilitas. Kami menargetkan setiap tahun bisa meningkat 20 persen hingga nanti tahun kelima KND (periode ini menjabat). Kami harap semua kabupaten/kota nanti punya perda yang sesuai UU Nomor 8 Tahun 2016,” ucap Deka.
Baca juga : Sekolah Inklusi, Menyemai Kesetaraan bagi Penyandang Disabilitas
Adapun KND tengah menunggu perpres yang mengatur soal anggaran untuk melaksanakan program ini. Hingga kini, angaran KND masih di bawah Kementerian Sosial.
Ketua KND Dante Rigmalia menambahkan, perlindungan, penghormatan, pelaksanaan, dan pemenuhan hak difabel butuh kerja sama semua pihak. ”Kolaborasi yang setara akan menguatkan KND,” ucapnya.
Dampak stigma
Advokasi ke pemda maupun masyarakat diharapkan mengikis stigma negatif terhadap difabel. Ini penting karena stigma bakal menghambat akses penyandang disabilitas ke berbagai hal, baik pendidikan, lapangan kerja, msupun partisipasi di lingkungan sosial.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2020, penyandang disabilitas yang tidak pernah sekolah 20,51 persen, sebanyak 29,35 persen lainnya tidak tamat SD, sementara 29,35 persen merupakan tamatan SD.
Persentase difabel yang menjalani pendidikan lanjut lebih kecil lagi. Penyandang disabilitas yang pendidikan terakhirnya SMP hanya 9,97 persen, SMA 10,47 persen, dan perguruan tinggi 3,38 persen. Rendahnya tingkat pendidikan dapat memperkecil peluang kerja hingga kesempatan untuk berdaya.

Guru pendamping membantu membacakan soal ujian saat siswa tunagrahita dari SMA SLB Negeri 1 Jakarta mengikuti ujian akhir sekolah, Senin (14/3/2022). Sebanyak 28 siswa SMA SLB Negeri 1 Jakarta mengikuti ujian akhir yang akan berlangsung selama lima hari.
Di sisi lain, data disabilitas di Indonesia dinilai belum holistik. Data yang ada belum menggambarkan kebutuhan, kapasitas, hingga kesejahteraan difabel. Data jumlah difabel di sejumlah instansi pun masih beragam.
Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2020 mencatat jumlah penyandang disabilitas 8,26 persen dari total penduduk Indonesia atau sekitar 22,5 juta orang. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat persentase difabel di Indonesia 10 persen dari total penduduk atau sekitar 27,3 juta orang.
Baca juga : Meski Diamanatkan Undang-Undang, Penyandang Disabilitas Masih Sulit Mendapat Pekerjaan
Kepala Perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Indonesia Valerie Julliand mengatakan, data tidak hanya penting untuk menyoroti kesenjangan yang dialami difabel. Data juga penting untuk mengembangkan kebijakan berbasis bukti.
Deka mengatakan, KND akan menyinkronkan data disabilitas yang ada. Sejauh ini, KND telah berkomunikasi dengan berbagai kementerian/lembaga atau instansi terkait.