Pastikan Revisi Kebijakan Kesehatan Menyasar Akar Masalah di Masyarakat
Revisi Undang-Undang Kesehatan ”omnibus law” perlu dibahas secara matang dengan melibatkan berbagai pihak terkait. Perubahan itu perlu dipastikan bisa menjadi solusi atas persoalan di masyarakat.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perbaikan sistem kesehatan nasional menjadi keniscayaan. Namun, perbaikan yang dilakukan melalui perubahan kebijakan, khususnya melalui Revisi Undang-Undang Kesehatan, perlu dikaji ulang dan harus dipastikan menyasar pada akar masalah di masyarakat. Selain itu, pembahasan rencana revisi regulasi tersebut mesti melibatkan berbagai pemangku kepentingan terkait.
”Perbaikan sistem kesehatan nasional merupakan komitmen yang telah disepakati bersama. Pandemi ini pun sudah menunjukkan urgensi tersebut. Namun, untuk memperbaikinya kita perlu duduk bersama dan mencari akar masalah yang harus diselesaikan. Apakah itu perlu diperbaiki dengan mengubah undang-undang?” tutur juru bicara Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, Mahesa Paranadipa, saat dihubungi di Jakarta, Senin (5/12/2022).
Menurut Mahesa, kegelisahan muncul dari organisasi profesi bidang kesehatan dan masyarakat sipil setelah naskah isi atau draft Revisi Undang-Undang (RUU) Kesehatan yang disusun dengan model omnibus atau undang-undang sapu jagat beredar luas. Namun, naskah tersebut hingga kini belum terkonfirmasi secara resmi dari pihak yang berwenang.
Menurut Mahesa, organisasi profesi dan perwakilan masyarakat sipil, seperti IDI, Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), secara tegas menolak adanya RUU Omnibus Kesehatan.
Penyusunan rancangan kebijakan tersebut hingga saat ini tidak melibatkan partisipasi organisasi profesi dan masyarakat sipil. Padahal, kebijakan tersebut akan sangat berdampak pada organisasi profesi dan masyarakat.
”Kita sudah mencoba bertanya kepada DPR dan Kementerian Kesehatan, tetapi tidak ada yang mengaku telah mengeluarkan draf yang sudah tersebar saat ini. Namun, kita harus tetap kawal dan berpegang pada draf yang ada saat ini. Itu karena ada beberapa poin yang mengkhawatirkan,” tuturnya.
Merujuk pada naskah RUU Omnibus Kesehatan yang beredar, Mahesa mengatakan, hal yang menjadi perhatian organisasi profesi yaitu terkait pelemahan peran organisasi profesi dalam standarisasi layanan kesehatan pada tenaga kesehatan. Dalam RUU Kesehatan, wewenang dari standardisasi tersebut akan berada di Kementerian Kesehatan.
Perbaikan sistem kesehatan nasional merupakan komitmen yang telah disepakati bersama. Namun, untuk memperbaikinya kita perlu duduk bersama dan mencari akar masalah yang harus diselesaikan. Apakah itu perlu diperbaiki dengan mengubah undang-undang? (Mahesa Paranadipa)
Kebijakan tersebut dinilai bisa berpengaruh pada pelayanan ke masyarakat. Kompetensi dari setiap profesi seharusnya paling diketahui oleh organisasi profesi yang menaungi. ”Jika bukan organisasi profesi, siapa yang memastikan mutu tenaga kesehatan terjamin? Apakah Kementerian Kesehatan dapat menjangkau hingga ke daerah? Selama ini koordinasi organisasi profesi sudah baik dengan daerah,” katanya Mahesa.
Selain itu, RUU Omnibus Kesehatan yang mempermudah untuk mendatangkan tenaga kesehatan asing bisa berpotensi mengancam keselamatan pasien. Hal itu disebabkan kemudahan masuknya tenaga kesehatan asing tidak disertai dengan kepastian kompetensi keahlian dan kualifikasi yang jelas.
Hal lain yang juga menjadi catatan organisasi profesi yaitu mengenai surat tanda registrasi yang akan berlaku seumur hidup serta pembaruan surat izin praktik tanpa mewajibkan rekomendasi dari organisasi profesi. Kebijakan ini dinilai dapat berdampak pada layanan di masyarakat.
Perlindungan bagi masyarakat melalui pelayanan dokter yang memiliki etik dan moral bisa terancam jika surat izin praktik dikeluarkan tanpa rekomendasi organisasi profesi. Rekomendasi organisasi profesi menjadi syarat dimaksudnya untuk menjamin hak masyarakat agar dilayani oleh dokter yang beretika, bermoral, dan berkompetisi.
”Sebaiknya kebijakan ini tidak dihasilkan secara tergesa-gesa. Banyak persoalan yang sebenarnya menjadi akar masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Itu yang harus dibahas dan diselesaikan,” tutur Mahesa.
Senada dengan hal itu, Ketua Umum PB IDI periode 2018-2021 Daeng M Faqih saat ditemui Sabtu (3/12/2022) menyampaikan, tujuan dari RUU Kesehatan harus dipastikan menyentuh persoalan utama yang dihadapi masyarakat. Dengan begitu, peraturan yang dihasilkan bisa menjadi solusi tepat untuk menjawab persoalan tersebut.
”RUU ini, apalagi yang disusun dengan omnibus law, diharapkan bisa membahas isu yang sangat strategi yang harus diselesaikan di masyarakat. Jangan justru malah membahas hal yang sifatnya administrasi. Itu tempatnya bukan undang-undang, melainkan aturan di bawahnya,” tuturnya.
Adapun isu yang, menurut dia, lebih esensial adalah isu terkait dengan kematian ibu dan anak, persoalan gizi buruk dan tengkes (stunting), penyakit infeksi, dan jaminan kesehatan nasional. Isu yang bersifat mendesak tersebut sebelumnya harus disepakati bersama oleh pemangku kepentingan terkait.
Secara terpisah, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam dialog bersama dokter PPDS (Program Pendidikan Dokter Spesialis) yang dilakukan secara daring pada Minggu (4/12/2022) malam menuturkan, sikap Kementerian Kesehatan atas RUU Omnibus Kesehatan akan tetap menyesuaikan dengan fokus transformasi kesehatan dan manfaat yang terbaik bagi masyarakat.
”Dalam perubahan undang-undang (kesehatan), saya akan datang dengan sudut pandang apakah itu lebih baik untuk masyarakat. Jadi, pertimbangan utamanya itu bukan untuk menteri, organisasi profesi, rumah sakit, atapun kolegium, melainkan masyarakat,” tuturnya.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menuturkan, Kementerian Kesehatan belum mengeluarkan dokumen terkait RUU Kesehatan. Pembahasan pun belum dilakukan. ”Kemenkes belum mengeluarkan dokumen karena ini (RUU Kesehatan) merupakan inisiatif DPR,” ujarnya.