Hasil Kesepakatan Iklim agar Tak Rampas Ruang Hidup Masyarakat
Upaya untuk menekan laju perubahan iklim sebaiknya tidak merugikan dan menimbulkan kerentanan baru pada masyarakat. Jangan sampai atas nama perubahan iklim, terjadi perampasan ruang hidup.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·4 menit baca
AP PHOTO/PETER DEJONG
Demonstran mendesak pengakhiran bahan bakar fosil di sela-sela Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP27) di Sharm el-Sheikh, Mesir, Jumat (18/11/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Keadilan Iklim mengawal agar kesepakatan-kesepakatan iklim, terutama setelah Konferensi Perubahan Iklim Ke-27 di Mesir lalu, tidak malah merampas ruang hidup masyarakat. Pengambilan dan penerapan kebijakan agar membuka partisipasi publik yang aktif dan bermakna untuk memastikan keadilan iklim dapat terwujud.
Koalisi yang terdiri dari Yayasan Pikul, Yayasan Madani Berkelanjutan, Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), dan Kemitraan untuk Pembaharuan Tata Kelola (Kemitraan) menggarisbawahi pentingnya pengakuan dan pemenuhan ruang partisipasi bermakna bagi masyarakat oleh pemerintah. Hal itu di antaranya transparansi pembuatan kebijakan, kejelasan sumber pendanaan, sampai pengidentifikasian dampak dari berbagai kebijakan, terutama pada komunitas rentan.
Direktur Eksekutif Yayasan Penguatan Lingkar Belajar Komunitas Lokal (Pikul) Torry Kuswardono mengatakan, jangan sampai atas nama perubahan iklim, terjadi perampasan ruang hidup dan pengabaian demokrasi serta HAM pada masyarakat lokal. Ruang dialog perlu dibuka bagi seluruh masyarakat, tidak hanya kelompok masyarakat sipil yang dipilih oleh pemerintah.
Jangan sampai hanya pengusaha penyumbang emisi dan pihak-pihak lainnya yang mendapat keuntungan. Sementara mereka paling mungkin rentan dan terdampak dari perubahan tata guna lahan tidak mendapatkan apa-apa.
”Keterlibatan masyarakat sipil dalam pengambilan kebijakan juga harus ditanggapi secara skeptis, apakah itu hanya basa-basi? Apakah hanya sekadar penghias untuk memperindah kata? Hal ini perlu didorong untuk melindungi masyarakat untuk mencegah upaya pembungkaman,” ujar Torry yang juga Koordinator Koalisi Keadilan Iklim, dalam konferensi pers Respons Koalisi Keadilan Iklim terhadap Hasil G20 dan COP27 secara daring, Senin (5/12/2022).
Torry menuturkan, sesuai dengan prinsip keadilan iklim, pembangunan rendah emisi dan berketahanan iklim perlu dirancang dan diimplementasikan dengan mengedepankan upaya untuk memperkecil ketimpangan, menyinergikan adaptasi dan mitigasi serta memberikan manfaat bagi kelompok miskin dan rentan.
Selain itu, koalisi juga menilai perhelatan COP27 lebih banyak kegagalan ketimbang keberhasilan. Ini karena perhelatan tersebut belum menghasilkan hal yang signifikan untuk menekan laju perubahan iklim.
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Parid Ridwanuddin mengatakan, COP27 di Mesir gagal menyepakati kesepakatan mitigasi krisis iklim untuk tetap menjaga temperatur global dengan batas tertinggi 1,5 derajat celsius pada 2030. Penyebab, di antaranya, adalah keterlibatan 636 delegasi ataupun negosiator didominasi oleh negara maju yang merupakan penyumbang emisi terbesar terhadap perubahan iklim. Jumlah tersebut jauh lebih banyak dari COP26 di Glasgow, yakni sebanyak 503 orang.
”Jumlah yang banyak ini memengaruhi pengambilan keputusan dalam COP27,” ujarnya.
COP27, kata Parid, juga gagal untuk menyusun skema perlindungan bagi para pejuang HAM dan lingkungan hidup. Data Global Witness mencatat, sebanyak 227 pejuang HAM dan lingkungan hidup dibunuh pada 2020. Ini berarti sebanyak empat orang dari mereka dibunuh setiap minggu sejak Kesepakatan Iklim Paris disepakati. Di Indonesia, merujuk catatan Walhi 2021, sebanyak 53 orang dikriminalisasi karena melindungi dan menjaga ruang hidup mereka.
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Parid Ridwanuddin dalam acara Respons Koalisi Keadilan Iklim terhadap Hasil G20 dan COP27 secara daring di Jakarta, Senin (5/12/2022).
”Para pembela HAM dan lingkungan hidup berada dalam situasi bahaya karena mereka di garis depan. Ini merupakan kegagalan karena tidak dibicarakan (dalam COP27). Pada dasarnya, tak ada keadilan iklim tanpa hak asasi manusia,” tambahnya.
Diakui ada capaian
Meskipun demikian, Parid tidak menafikan capaian dalam COP27, yakni loss and damage fund. Ini merupakan tanggung jawab negara-negara maju yang telah lama menikmati keuntungan ekonomi dalam jumlah yang sangat besar dalam mengekstraksi dan mengeksploitasi sumber daya alam di negara berkembang. Sementara itu, masyarakat di negara berkembang harus menanggung beban krisis iklim yang tak berkesudahan.
Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Nadia Hadad mengatakan, kebijakan pendanaan kehilangan dan kerusakan (loss and damage) harus diawasi agar tidak keluar dari tujuannya. Transparansi, akuntabilitas, dan keterlibatan masyarakat sipil diperlukan untuk pengawasan penyaluran dananya.
”Jangan sampai hanya pengusaha penyumbang emisi dan pihak-pihak lainnya yang mendapat keuntungan. Sementara mereka paling mungkin rentan dan terdampak dari perubahan tata guna lahan tidak mendapatkan apa-apa,” ucap Nadia.
Selain itu, Indonesia juga perlu mengharmonisasi atau menyinkronkan setiap kebijakan yang terkait upaya untuk menekan laju perubahan iklim. Pentingnya hal ini, menurut Nadia, untuk mencapai target yang telah ditentukan sebelumnya. Ia mencontohkan, transisi energi kotor ke energi berkelanjutan berpotensi meningkatkan laju deforestasi untuk pembukaan lahan. Oleh karena itu, setiap kebijakan yang diambil harus sinkron dengan kebijakan lainnya.
Secara terpisah, Direktur Adaptasi Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Sri Tantri Arundhati mengutarakan, terdapat kemajuan dalam negosiasi pendanaan kehilangan dan kerusakan di COP27. Ini karena telah diputuskan akan diadakan fasilitas untuk pendanaan kehilangan dan kerusakan.
”(Meskipun begitu), ini masih harus dibahas lagi, terutama pada agenda negosiasi pendanaannya yang masih panjang jalannya. Adanya keputusan untuk fasilitas pendanaan saja sudah bagus, khususnya bagi negara berkembang yang rentan terhadap dampak perubahan iklim,” ujarnya.
Kompas juga telah menghubungi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, tetapi diminta untuk menghubungi Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Laksmi Dhewanthi, dan dijanjikan untuk wawancara, Selasa (6/12/2022).
Dalam pemberitaan sebelumnya, Laksmi mengatakan, keberadaan sistem pendanaan kehilangan dan kerusakan ini diharapkan akan mampu menurunkan potensi di dalam negeri akibat dampak negatif perubahan iklim. Kesepakatan tentang pendanaan itu akan ditindaklanjuti dengan pembentukan komite transisi Sekretariat Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC), kemudian rekomendasinya akan dibahas dalam COP28 tahun depan (Kompas.id, 28/11/2022).