Butuh Aksi Komprehensif untuk Atasi Krisis Pembelajaran
Lama belajar siswa dan masyarakat Indonesia belum berkolerasi dengan penguasaan kompetensi literasi dan numerasi. Pendidikan berkualitas masih menjadi pekerjaan rumah yang butuh diselesaikan secara komprehensif.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia mengalami krisis pembelajaran. Ini terlihat dari level belajar siswa Indonesia yang rendah meskipun semakin lama bersekolah. Penguasaan kemampuan dasar literasi dan numerasi tidak selaras dengan lamanya belajar di sekolah.
Peneliti Research on Improving System of Education (RISE), Shintia Revina, di acara media briefing RISE bertajuk ”Lima Prioritas Kebijakan Pendidikan untuk Atasi Krisis Pembelajaran Indonesia”, Senin (5/12/2022), memaparkan, siswa yang telah menyelesaikan pendidikan dasar semestinya memiliki penguasaan kemampuan dasar literasi dan numerasi yang baik. Namun, profil pembelajaran Indonesia yang disusun RISE memperlihatkan rendahnya probabilitas siswa usia sekolah dalam penguasaan materi perhitungan dasar seperti yang tertera pada Indonesian Family Life Survey (IFLS).
”Walapun siswa terus naik kelas, peningkatan kemampuan siswa antara jenjang kelas yang satu dan kelas berikutnya sangat sedikit,” kata Shintia.
Siswa yang bersekolah di jenjang SD hingga SMA masih rendah dalam kemampuan berhitung dasar. Setelah kelas IV SD, penguasaan berhitung dasar baru mencapai 31,4 persen. Ketika dewasa dan tidak lagi di sekolah (18-30 tahun), justru kemampuan berhitung dasar semakin rendah. Sementara untuk lulusan SMA, kemampuannya sekitar 36,6 persen.
Shintia menambahkan, akibat dampak pandemi Covid-19, terlihat anak-anak yang tadinya capaian belajarnya tinggi justru menurun. Sementara yang rendah, bervariasi ada yang relatif tetap dan ada yang naik.
”Penurunan hasil belajar di masa pandemi ini akumulasi dari krisis pembelajaran yang sudah terjadi sebelumnya,” kata Shintia.
Sementara itu, Peneliti RISE Risa Wardatun Nihayah mengatakan, untuk mengatasi krisis pembelajaran yang terjadi di Indonesia, RISE menyampaikan lima prioritas kebijakan pendidikan atau yang disebut RISE’5 action. Pemerintah pusat dan daerah diminta berkomitmen pada penguasaan kemampuan dasar dan literasi; mengukur pembelajaran secara berkala, akurat dan relevan; serta menyelaraskan sistem dengan komitmen pembelajaran. Selanjutnya mendukung guru dalam proses belajar-mengajar; serta mengadaptasi pendekatan dalam mengambil kebijakan pendidikan.
”Sudah saatnya Indonesia benar-benar fokus pada kualitas setelah akses pendidikan sudah mulai tercapai,” kata Risa.
Mendukung guru
Risa memaparkan pentingnya dukungan untuk guru. Namun, saat ini guru justru sering menjadi pihak yang disalahkan saat kualitas pendidikan belum seperti yang diharapkan.
”Padahal guru merasa bingung dengan apa yang diharapkan dari mereka. Sebab, para guru belum didukung sistem pendidikan dan bingung dengan komponen yang belum selaras. Di level guru, buku paket dan kurikulum belum mendukung pembelajaran literasi dan numerasi yang berkualitas,” kata Risa.
Dari hasil studi RISE menunjukkan, manajemen guru di Indonesia kompleks. Ada ketidakselarasan pembagian kewenangan manajemen guru Indonesia dan perbedaan kepentingan lembaga. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi berkepentingan soal perekrutan guru ASN (aparatur sipil negara), Kemendikbudristek bertugas mengevaluasi, Kementerian Keuangan mengurusi soal gaji, sedangkan pemda mengurus tentang penempatan.
Bulan Maret 2023 mendatang, sekiranya pemerintah daerah tidak mengajukan formasi guru sesuai kebutuhan, maka pemerintah pusat yang akan melengkapi formasi tersebut
”Tetapi, karena perbedaan kepentingan tiap-tiap lembaga, koordinasi jadi lemah. Proses materi tes CPNS (calon pegawai negeri sipil) juga kurang menekankan pada kemampuan pedagogi guru. Kalau selaras, semua turut andil tentang kualitas pendidikan Indonesia,” ujar Risa.
Menurut Risa, pemda harus mampu mengeluarkan kebijakan sesuai konteks dan tantangan di daerah masing-masing. Adapun pemerintah pusat memetakan daerah-daerah yang butuh bantuan ekstra sehingga dapat mengakselerasi kualitas pendidikan dengan mengatasi ketimpangan pendidikan.
Secara terpisah, Presiden Joko Widodo di Puncak Peringatan Hari Guru Nasional Tahun 2022 dan Hari Ulang Tahun Ke-77 Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) di Semarang menyampaikan perlunya tiga komponen dalam menyiapkan sumber daya manusia peserta didik yang unggul. Pertama, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi serta peningkatan keterampilan teknis yang relevan dengan perkembangan zaman; kedua penyiapan karakter kebangsaan dan mentalitas positif; serta ketiga penyiapan kesehatan jasmani.
Oleh karena itu, transformasi pendidikan menjadi prioritas. Saat ini, upaya tersebut dilakukan lewat program Merdeka Belajar dan Guru Penggerak.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim menyampaikan, mewujudkan SDM unggul adalah cita-cita besar bangsa. ”Kurikulum Merdeka telah menjadi ruang kebebasan untuk guru dalam hal menentukan yang terbaik untuk siswa,” kata Nadiem.
Di dalam Kurikulum Merdeka, lanjut Nadiem, standar pencapaian lebih mudah dipahami guru. Tiap guru didorong untuk meningkatkan kreativitas lewat berbagai proyek, seperti proyek kebangsaan, proyek kesehatan, dan proyek kewirausahaan.
Selain itu, Kemendikbudristek telah melakukan sinergi dengan kementerian dan lembaga terkait tentang seleksi guru ASN PPPK. ”Bulan Maret 2023 mendatang, sekiranya pemerintah daerah tidak mengajukan formasi guru sesuai kebutuhan, maka pemerintah pusat yang akan melengkapi formasi tersebut,” kata Nadiem.