Dibandingkan negara G20 lain, pengembangan teknologi dan eksplorasi luar angkasa Indonesia jauh tertinggal. Rendahnya kepercayaan diri membuat sebagian bangsa ini menganggap penguasaan teknologi antariksa itu tak perlu.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·7 menit baca
THALES ALENIA SPACES
Satelit Republik Indonesia (Satria) atau Satelit Nusantara Tiga (N3) produksi Thales Alenia Spaces, Perancis. Satelit khusus internet ini berkapasitas 150 gigabit per detik (Gbps).
Indonesia masih tergolong negara berpendapatan menengah. Namun, jumlah penduduk yang besar membuat ekonomi Indonesia pun besar. Tahun 2030, Indonesia diprediksi akan menjadi kekuatan ekonomi terbesar kelima di dunia di bawah China, Amerika Serikat, India, dan Jepang.
Meski ukuran ekonomi Indonesia besar, pengembangan teknologi luar angkasa Indonesia jauh tertinggal. Dari lima besar kekuatan ekonomi dunia tahun 2030 itu, hanya Indonesia yang belum mampu membuat dan meluncurkan satelit secara mandiri. Padahal, Indonesia menjadi negara ketiga di dunia yang menggunakan satelit komunikasi sejak 1976.
Lebih dari 45 tahun berlalu, Indonesia masih bergantung pada teknologi negara lain guna memenuhi kebutuhan satelitnya. Padahal, seiring bertambahnya penduduk, tumbuhnya ekonomi, hingga karakter wilayah Indonesia yang berpulau dan banyak memiliki daerah terdepan, terpencil, dan tertinggal membuat kebutuhan satelit akan terus ada.
Pandemi Covid-19 dan digitalisasi makin menyadarkan pentingnya satelit bagi Indonesia. Satelit tidak hanya dipakai untuk jaringan telepon seperti di masa lalu, tetapi kini lebih banyak untuk komunikasi data. Mengakses internet, menavigasi perjalanan, pembelajaran jarak jauh, penyiaran, layanan medis jarak jauh, belanja daring, hingga perbankan semua butuh satelit.
Satelit juga bermakna strategis bagi pembangunan bangsa. Satelit penting untuk pemotretan rupa Bumi, pantauan cuaca, pengamatan lingkungan, pengendalian transportasi, militer, hingga keperluan ilmiah. Satelit juga bisa dipakai untuk menentukan luas areal panen, pemandu traktor, menentukan lokasi tangkapan ikan, hingga menentukan lokasi terdampak bencana.
Karena itu, satelit penting untuk menunjang capaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) 2030, khususnya dalam penyediaan data penunjang program dan penentuan kelompok sasaran. Data akurat yang tersedia akan memastikan tidak satu orang pun tertinggal dalam menikmati hasil pembangunan.
Deden HA Alfathimy dan rekan dalam Intermestic, Journal of International Studies, November 2019, menyebut dari lima satelit geostasioner milik Indonesia baru memenuhi 70 persen kebutuhan layanan satelit Indonesia. Sisanya dipenuhi dari 37 satelit asing yang beroperasi di atas wilayah Indonesia.
Tahun 2023, Indonesia akan mendapat tambahan dua satelit baru, yaitu Satelit Republik Indonesia 1 (Satria-1) alias Satelit Nusantara 3 (N3) yang akan diluncurkan pada Juli 2023 dan satelit cadangan (hot backup satellite/HBS) atau Satelit Nusantara 5 (N5) yang rencananya justru diluncurkan lebih awal antara Maret-April 2023.
Namun, tambahan dua satelit yang masing-masing memiliki kapasitas 150 gigabit per detik yang merupakan satelit dengan kapasitas pita lebar terbesar di Asia dan kelima di dunia itu dipastikan belum mencukupi kebutuhan kapaistas pita lebar Indonesia yang mencapai 1 terabit per detik. Karena itu, sebagian kebutuhan pita lebar masih akan dipenuhi satelit asing.
Meski mampu untuk memberli produk dan layanan teknologi dari negara lain, Indonesia perlu meneruskan kembali peta pengembangan satelit secara mandiri yang sudah dirintis sejak awal tahun 2000-an agar lebih berkelanjutan. Pembuatan satelit bukan hanya butuh kompetensi kompleks dari perekayasa, tetapi juga dukungan kuat pemerintah.
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) yang kini melebur dalam Badan Riset dan Inovasi Nasinal meluncurkan satelit mikro pertama buatannya dengan bantuan Jerman pada 2007 bernama Lapan A1/TUBSat. Generasi satelit Lapan berikutnya, dirancang, diproduksi, dan diuji secara penuh oleh perekayasa Indonesia.
Satelit Lapan A2/Orari dan Lapan A3/IPB masing-masing diluncurkan pada 2015 dan 2016. Satelit generasi berikutnya, Lapan A4 dan Lapan A5 rencananya diluncurkan pada 2019 dan 2022, tetapi tertunda. Jadwal terakhir, satelit Lapan A4 baru bisa diluncurkan pada 2023.
Kementerian Riset dan Teknologi pada 2019 pernah menjadikan pengembangan teknologi satelit komunikasi orbit rendah sebagai prioritas nasional. Dalam progam ini, Lapan akan membuat sembilan satelit dengan sistem konstelasi antara 2020 dan 2024. Namun, seretnya pendanaan dan pandemi Covid-19 membuat program itu berakhir dalam ketidakpastian.
Ketiga generasi awal satelit Lapan itu diluncurkan dengan ditumpangkan pada roket peluncur milik Badan Riset Antariksa India (ISRO). Meski demikian, seperti ditulis Kompas, 9 Oktober 2017, Indoensia bertekad bisa meluncurkan satelit secara mandiri dari bandar antariksa yang ada di Indonesia pada tahun 2040.
Pemerintah perlu menginspirasi kembali anak mudanya agar mau menekuni bidang studi, sains, teknik atau kerekayasaan.
Tak hanya perekayasa Lapan, mahasiswa Indonesia pun sudah mampu membuat satelit nano. Minggu (27/11/2022), satelit nano pertama Indonesia, Surya Satellite-1 atau SS-1 buatan mahasiswa dan dosen Universitas Surya, Tangerang, meluncur dari Bandar Antariksa Kennedy, Florida, Amerika Serikat dan tiba di Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) 17 jam kemudian.
Satelit berukuran 10 cm x 10 cm x 10 cm itu akan dipasang di modul Kibo milik Badan Eksplorasi Antariksa Jepang (JAXA) di ISS pada Januari 2023. Meski mungil, satelit ini dibekali instrumen sistem pelaporan paket otomatis (APRS) untuk komunikasi teks via satelit. Alat itu bisa dimanfaatkan untuk mitigasi bencana, pemantauan jarak jauh, hingga komunikasi darurat.
Dari sejumlah satelit yang sudah dibuat tersebut, meski masih berupa satelit eksperimental, praktisi industri satelit Tanah Air yakin putra-putri Indoensia bisa menguasai teknologi satelit. Terlebih sejumlah perekayasa satelit asal Indonesia saat ini bekerja di perusahaan pembuat satelit di sejumlah negara.
Kini yang diperlukan adalah bagaimana mengaitkan antara kebutuhan industri satelit dan satelit-satelit yang dibuat oleh lembaga penelitian atau kompetensi yang diajarkan kepada mahasiswa di perguruan tinggi. Bagaimanapun, kemampuan membuat satelit bukanlah keterampilan instan, semua perlu disiapkan dan dipelajari secara bertahap.
Miskin inspirasi
Indonesia bukan hanya tertinggal dalam aspek teknologi, melainkan juga dalam inspirasi eksplorasi luar angkasa. Di antara anggota negara G20, hanya Indonesia, Argentina, Australia, dan Turki yang belum pernah mengirimkan antariksawannya ke luar angkasa. Australia dan Turki sedang mempersiapkan keberangkatan antariksawannya, tetapi Indonesia belum ada rencana.
Sejak ledakan pesawat ulang alik Challenger pada awal 1986, rencana peluncuran Pratiwi Soedarmono pada beberapa bulan berikutnya ditunda. Namun, hingga kiris ekonomi 1998 melanda, penerbangan Pratiwi ke luar angkasa tidak terlaksana. Setelah itu, dana riset kian menurun hingga program pengiriman antariksawan pun tidak lagi dilakukan.
Bagi banyak negara berkembang yang telah mengirimkan antariksawan ke ISS, seperti Malaysia atau Vietnam, program tersebut dianggap sebagai mercusuar. Namun, program itu mampu memberi inspirasi bagi generasi muda untuk menekuni sains dan teknologi, sebagai bidang ilmu yang banyak dibutuhkan untuk menggerakkan ekonomi dan mendorong pembangunan.
Situasi itu juga yang terjadi saat Pratiwi akan dikirim ke luar angkasa. Kala itu, banyak anak muda tertarik untuk menekuni bidang sains dan teknik, khususnya terkait teknologi dirgantara dan antariksa. Beberapa tahun kemudian, anak-anak muda itulah yang jadi tulang punggung pengembangan industrialisasi dan industri strategis Indonesia, termasuk pengembangan pesawat N250.
Di tengah kekurangan insinyur di Indonesia yang mencapai 260.000 orang pada 2021, pemerintah perlu menginspirasi kembali anak mudanya agar mau menekuni bidang studi, sains, teknik atau kerekayasaan. Namun, upaya itu perlu didukung dengan pembukaan jurusan sains dan teknik yang berkembangnnya sangat lamban.
Meski demikian, bayang-bayang kegagalan pesawat N250 memasuki fase produksi saat krisis ekonomi 1998 sepertinya masih kuat membayangi pikiran para pengambil kebijakan. Cacian masyarakat yang menganggap Indonesia tidak bisa, tidak pantas, dan tidak perlu menguasai teknologi canggih karena masih mengimpor beras dan bahan pokok dari negara lain membuat proyek-proyek futuristik masih dipandang sebelah mata. Belum lagi, dana riset Indonesia masih belum bergeser dari 0,1 persen dari produk domestik bruto yang merupakan terendah dibandingkan negara G20 lain.
Padahal, India yang saat ini pendapatan per kapitanya baru setengah dari pendapatan per kapita Indonesia telah tampil menjadi negara yang diperhitungkan dalam eksplorasi luar angkasa. India sudah mampu membuat dan meluncurkan satelit dan aneka wahana antariksanya secara mandiri. Bahkan, wahana antariksa India itu sudah sejak lama mengeksplorasi Bulan dan Mars.
Inspirasi itu pula yang membuat Uni Emirat Arab (UEA) juga mengirimkan wahananya ke Mars saat peringatan 50 tahun berdirinya negara itu meski dengan bantuan perekayasa AS. Peluncuran itu juga diharapkan bisa membangun industri UEA yang tidak lagi bertumpu pada eksplorasi minyak dan gas bumi.
Sukses Indonesia dalam presidensi G20 sejatinya menunjukkan Indonesia adalah bangsa besar. Namun, rendahnya rasa percaya diri sebagai bangsa, merasa lebih kecil atau tertinggal dibandingkan bangsa lain, baik dalam soal fisik maupun capaian kesejahteraan, membuat bangsa Indonesia enggan untuk bersikap sebagai bangsa besar yang memiliki mimpi dan cita-cita besar.
Kini semua kembali kepada kita sebagai bangsa, apakah tekad kita cukup kuat untuk bisa maju dan berani berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain atau terus merasa lebih jelek dibandingkan negara-negara lain yang sejatinya juga penuh masalah. Karena bagaimanapun, hanya bangsa besar yang berani bermimpi dan bertindak besar.