Produk berbasis mikroalga sampai sekarang belum berkembang optimal di Indonesia. Oleh karena itu, pemanfaatan mikroalga sebagai sumber pangan dapat mendukung program ketahanan pangan dan kesehatan di Indonesia.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·5 menit baca
Luasnya wilayah perairan membuat Indonesia memiliki potensi sumber daya laut yang tinggi, salah satunya dari mikroalga. Mikroalga merupakan mikroorganisme bersel tunggal yang memiliki pigmen dan dapat berfotosintesis untuk memproduksi makanan dan oksigen.
Berdasarkan hasil studi status biodiversitas laut dan pesisir di Indonesia yang terbit di Indian Journal of Marine Sciences, Indonesia tercatat memiliki lebih dari 1.000 spesies mikroalga. Berbagai jenis mikroalga tersebut dapat ditemukan di banyak wilayah seperti Kepulauan Seribu, Pantai Pangandaran, Benoa, hingga perairan Sulawesi dan Maluku.
Sampai saat ini, potensi mikroalga lebih banyak dimanfaatkan untuk bidang energi. Sejumlah studi menunjukkan, mikroalga memiliki produktivitas yang tinggi dibandingkan dengan tanaman-tanaman lain yang menjadi sumber biofuel. Melalui proses esterifikasi, asam lemak yang dihasilkan mikroalga dapat dikonversi menjadi biodiesel.
Riset dan inovasi untuk memanfaatan mikroalga di bidang energi juga sudah mulai dilakukan di Indonesia baik oleh pemerintah, peneliti, maupun akademisi. Salah satu contoh pemanfaatan tersebut, yakni produksi biodiesel dari mikroalga jenis Chlorellavulgarisyang dilakukan baik di dalam maupun di luar habitat asli (in-situ dan eks-situ).
Selain untuk produk energi, mikroalga sebenarnya juga dapat dikembangkan di bidang lainnya seperti kesehatan atau biofarmasetika. Bahkan, mikroalga memiliki potensi yang sangat menjanjikan untuk dimanfaatkan sebagai sumber pangan dan produk turunannya.
Valuasi mikroalga beserta produk turunannya juga diperkirakan mencapai 1,8 miliar dollar AS pada 2028. Valuasi ini akan terus meningkat seiring dengan besarnya pengembangan berbagai produk nutrasetikal atau zat yang memiliki manfaat fisiologis dan memberikan perlindungan terhadap penyakit kronis serta meningkatkan harapan hidup.
Meski demikian, pemanfaatan mikroalga khususnya di bidang pangan belum dilakukan secara optimal di Indonesia. Padahal, mikroalga memiliki kadar protein yang sangat tinggi, mengandung pola asam amino yang unik, Omega 3 dan pigmen alamiah potensial, rendah lemak, serta mempunyai nutrisi dan aktivitas biologinya yang menarik.
Upaya meningkatkan pemanfaatan mikroalga di bidang pangan ini kemudian dilakukan oleh peneliti dari Pusat Riset Teknologi dan Proses Pangan (PRTPP) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Dari beragam jenis mikroalga, PRTPP BRIN saat ini fokus melakukan riset dan meningkatkan pemanfaatan jenis Spirulina.
Peneliti PRTPP BRIN Dedy Kurnianto menyampaikan, pemanfaatan atau pengolahan mikroalga untuk pangan biasa dilakukan dengan fortifikasi. Cara ini menitikberatkan pada upaya pengayaan zat gizi penting atau penambahan mikronutrien untuk produk pangan.
”Pemanfaatan mikroalga di bidang pangan dapat sebagai pewarna alami, fikosianin, astaxantin, dan klorofil. Produk ini dihasilkan oleh berbagai mikroalga seperti Arthrospira, Haematococcus pluvialis, dan Chlorella,” ujarnya dalam diskusi daring bertajuk ”Hulu ke Hilir Mikroalgae di Indonesia”, pekan lalu.
Mikroalga ini juga memiliki aktivitas biologi seperti antibakteri dan antioksidan. Antioksidan dari astaxantin bahkan memiliki daya 6.000 kali lebih besar daripada vitamin C. Kemudian literatur menyebut sumber protein dari mikroalga Spirulina dapat mencapai 71 persen.
Pembuatan jeli
Dedy menjelaskan, salah satu pengembangan mikroalga yang dilakukan PRTPP BRIN yakni ekstraksi fikosianin dan pembuatan jeli menggunakan pewarna fikosianin. Fikosianin adalah senyawa pigmen-akseseori berwarna biru yang berpotensi dijadikan pewarna alami dan mengandung antioksidan tinggi.
Langkah melakukan ekstraksi fikosianin dilakukan dengan menggunakan mikroalga jenis Spirulina sp. Campuran mikroalga kemudian dilarutkan dengan air dan dibekukan pada suhu minus 20 derajat celsius selama enam jam. Setelah itu, larutan tersebut dicairkan pada suhu 25 derajat selama 24 jam dan disentrifugasi dengan kecepatan putaran 3.000 rotasi per menit (rpm) selama 10 menit hingga dihasilkan fikosianin.
”Fikosianin juga dapat dicampur dengan ultraturrax untuk mempertahankan fungsinya. Kami juga melakukan pengeringan dengan cabinet dryer (mesin pengering) dan pengayakan untuk mendapatkan fikosianin kering. Dari fikosianin kering inilah kami lakukan pembuatan jeli Spirulina,” tutur Dedy.
Di samping pembuatan jeli, PRTPP BRIN juga tengah melakukan riset mikroalga Spirulina untuk fortifikasi tahu dan tepung gaplek dari singkong. Fortifikasi tepung gaplek dengan mikroalga Spirulina ini diharapkan dapat meningkatkan kandungan nutrisi maupun mineral.
Pemanfaatan mikroalga di bidang pangan dapat sebagai pewarna alami, fikosianin, astaxantin, dan klorofil. Produk ini dihasilkan oleh berbagai mikroalga seperti Arthrospira, Haematococcus pluvialis, dan Chlorella.
Terlepas dari potensinya, pengembangan mikroalga untuk pangan diakui Dedy masih menemui sejumlah tantangan. Mikroalga memiliki bau yang sangat menyengat dari senyawa geosmin dan methyl isobornel. Mikroalga juga memiliki kandungan senyawa antikoagulan yang menghambat pembekuan dan penggumpalan.
”Adanya antikoagulan ini sempat membuat kami sedikit kewalahan ketika membuat tahu fortifikasi spirulina. Sebab, senyawa ini membuat tahu sulit menjendal,” ucapnya.
Selain itu, tantangan lainnya, yaitu mikroalga memiliki nilai sensori yang rendah pada penambahan dalam jumlah banyak karena kurang optimalnya tekstur, penampakan, aroma, dan rasa pada produk pangan. Guna mengatasi berbagai tantangan ini, maka perlu upaya untuk menghilangkan bau dan meningkatkan persentase pemakaian mikroalga pada pangan.
”Beberapa perusahaan di Portugal sudah melakukan produksi mikroalga yang memiliki warna yang lebih polos dan mengurangi bau. Di sisi hilir, kita bisa melakukan enkapsulasi yang bisa meningkatkan reologi (perubahan bentuk) dan mengurangi bau,” katanya.
Skala industri
Pengajar di Fakultas Teknik Industri Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta Muhamad Maulana Azimatun mengatakan, selama ini pemanfaatan sudah mulai diaplikasikan untuk skala industri. Beberapa aplikasi ini, di antaranya, untuk bidang pangan, farmasi, kosmetik, bahan bakar, remediasi atau pemulihan lingkungan di air limbah dan tanah tandus, hingga penangkapan karbon (carbon capture).
Menurut Maulana, mikroalga mudah dikultivasi atau diolah di aquatic medium maupun jenis air lainnya. Mikroalga juga tidak membutuhkan air yang banyak dan dapat tumbuh di tempat tandus serta memiliki laju pertumbuhan yang sangat tinggi. Di sisi lain, mikroalga juga memiliki kemampuan lebih dalam menyerap karbondioksida.
Meski di Indonesia belum optimal, Maulana memperkirakan pemanfaatan mikroalga akan mempunyai peluang pasar yang sangat baik di masa depan. Ia juga optimistis penelitian dan pemanfaatan mikroalga di Indonesia ke depan dapat semakin berkembang.