Atasi Kontroversi RUU Kesehatan, Ruang Dialog Perlu Dibuka Lebih Luas
Ruang dialog perlu dibuka lebih luas dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Kesehatan ”omnibus law”. Semua pihak terkait, terutama organisasi profesi bidang kesehatan perlu dilibatkan sehingga semua pihak terakomodasi.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penolakan dari sejumlah organisasi profesi di bidang kesehatan terhadap Rancangan Undang-Undang Kesehatan semakin menguat. Proses penyusunan yang tertutup serta tidak melibatkan organisasi profesi dan masyarakat sipil memperkuat alasan penolakan tersebut. Karena itu, dialog lebih luas yang melibatkan berbagai pihak terkait harus terus dibuka oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), Agung Laksono, menuturkan, pembahasan Rancangan Undang-Undang Kesehatan yang disusun dengan model omnibus atau dengan menghimpun sejumlah regulasi tersebut harus melibatkan banyak pihak terkait. Itu karena peraturan tersebut menyangkut berbagai kepentingan.
”Badan legislasi harus sebanyak mungkin membuka dialog. Berbagai organisasi profesi, baik yang berada di pusat maupun daerah, juga dokter yang bersekolah di luar negeri, harus dilibatkan. Semua pihak harus diberikan ruang yang sama sehingga bisa terakomodasi dengan baik,” katanya saat ditemui di Jakarta, Sabtu (3/12/2022).
Menurut Agung, waktu dua tahun yang diberikan oleh Mahkamah Konstitusi dalam pembahasan RUU omnibus law perlu dimanfaatkan dengan optimal. Dengan begitu, hasil akhir yang disepakati benar-benar bisa menjawab kebutuhan masyarakat luas.
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) periode 2018-2021 Daeng M Faqih menyampaikan, tujuan dari RUU Kesehatan pun harus dipastikan menyentuh persoalan utama yang dihadapi masyarakat. Dengan begitu, peraturan yang dihasilkan bisa menjadi solusi yang tepat untuk menjawab persoalan tersebut.
”RUU ini, apalagi yang disusun dengan omnibus law, diharapkan bisa membahas isu yang sangat strategi yang harus diselesaikan di masyarakat. Jangan justru malah membahas hal yang sifatnya administrasi. Itu tempatnya bukan undang-undang, tetapi aturan di bawahnya,” tuturnya.
Adapun isu yang menurut dia lebih esensial adalah isu terkait dengan kematian ibu dan anak, persoalan gizi buruk dan tengkes (stunting), penyakit infeksi, dan jaminan kesehatan nasional. Isu yang bersifat mendesak tersebut sebelumnya harus disepakati bersama oleh pemangku kepentingan terkait.
Berbagai organisasi profesi, baik yang berada di pusat maupun daerah, juga dokter yang bersekolah di luar negeri, harus dilibatkan. Semua pihak harus diberikan ruang yang sama sehingga bisa terakomodasi dengan baik.
Transparan
Sekretaris Jenderal PB IDI Ulul Albab mengatakan, organisasi profesi belum pernah dilibatkan dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Kesehatan dalam omnibus law. Pembahasan yang selama ini berjalan pun dinilai tertutup dan tidak transparan.
”Dari draf yang beredar saat ini bahkan tidak ada yang mengaku mengeluarkannya, baik dari Kementerian Kesehatan maupun DPR. Namun, di luar substansi yang beredar, kita sebenarnya ingin agar prosesnya transparan dan melibatkan organisasi profesi kesehatan,” ujarnya.
Ulul mengatakan, keterlibatan organisasi profesi sangat penting karena undang-undang tersebut berdampak luas bagi anggota organisasi profesi, termasuk dokter. Selain itu, pelayanan pada masyarakat juga bisa berdampak.
Sebelumnya, lima organisasi profesi dan satu lembaga masyarakat sipil menyampaikan penolakan pada RUU Kesehatan. Organisasi dan lembaga itu meliputi PB IDI, Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).
Merujuk pada draf RUU Kesehatan yang beredar, penolakan disampaikan karena penyusunan RUU tersebut tidak melibatkan partisipasi masyarakat sipil dan organisasi profesi. Selain itu, alasan lain dari penolakan adalah RUU omnibus law dapat mengancam keselamatan masyarakat dan hak rakyat atas pelayanan kesehatan yang bermutu dan dilayani oleh tenaga kesehatan yang memiliki etik dan moral tinggi.
Disebutkan pula, peran dan independensi Konsil Kedokteran Indonesia dan Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia menjadi lemah jika lembaga tersebut berada dan bertanggung jawab kepada menteri. Hingga saat ini, lembaga tersebut bertanggung jawab langsung kepada presiden.
Sebelumnya, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengatakan, pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan, secara resmi belum menerima draf RUU Kesehatan. ”Belum di-share ke pemerintah. Kami juga masih mempelajarinya,” katanya.