Pencapaian Target SDGs di Kawasan Asia Pasifik Melambat
Berdasarkan laporan Economic and Social Commission for Asia and the Pacific 2022, pencapaian SDGs di kawasan Asia Pasifik diperkirakan akan melewati tahun 2030. Dengan kata lain, pencapaian SDGs tahun 2030 akan bergeser.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Hamparan hutan dengan beragam jenis rapatan pohon di pesisir selatan Kabupaten Asmat, Papua, Jumat (2/2/2018). Bagi masyaraat tradisional, seperti Asmat, hutan sebagai gantungan hidup dalam memenuhi kebutuhan mereka.
JAKARTA, KOMPAS — Pembangunan berkelanjutan merupakan sesuatu yang penting meskipun saat ini setiap negara masih diterpa oleh berbagai tekanan, seperti pandemi dan krisis lainnya. Tekanan tersebut bahkan membuat pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDGs di kawasan Asia Pasifik melambat.
Hal tersebut disampaikan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Suharso Monoarfa saat memberikan sambutan dalam acara konferensi tahunan bertajuk ”Mendorong Aksi Nyata Ekonomi Hijau untuk Mencapai SDG” di Jakarta, Kamis (1/12/2022).
”Berdasarkan laporan Economic and Social Commission for Asia and the Pacific 2022, pencapaian SDGs di kawasan Asia Pasifik diperkirakan akan melewati tahun 2030. Jadi, target SDGs tahun 2030 akan bergeser,” ujarnya.
Selain pandemi Covid-19 dan ketidakstabilan geopolitik, kata Suharso, pencapaian SDGs juga menghadapi tiga krisis yang mengancam masa depan bumi dan manusia. Tiga krisis yang mengancam tersebut yakni perubahan iklim, polusi, dan hilangnya keanekaragaman hayati.
Berdasarkan laporan Economic and Social Commission for Asia and the Pacific 2022, pencapaian SDGs di kawasan Asia Pasifik diperkirakan akan melewati tahun 2030. Jadi, target SDGs tahun 2030 akan bergeser.
Menurut laporan Panel Antar-pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) tahun 2022, sebanyak 50-75 persen populasi global berpotensi terdampak kondisi iklim yang mengancam jiwa pada 2100. Di sisi lain, ancaman lainnya datang dari polusi udara karena tercatat sebagai salah satu penyebab hingga 4,2 juta kematian setiap tahun.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Warga mencari ikan di pesisir utara Pantai Mangunharjo, Kecamatan Tugu, Kota Semarang, Jawa Tengah, Jumat (29/3/2019). Laju abrasi dengan berbagai faktor pemicunya, seperti perubahan iklim, rusaknya kawasan mangrove membuat garis pantai menghilang.
Sementara krisis dari hilangnya keanekaragaman hayati juga dapat mengancam pangan, kesehatan, dan jasa ekosistem. Panel Kebijakan-Ilmu Antarpemerintah tentang Layanan Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem (IPBES) tahun 2019 melaporkan, sekitar 1 juta spesies tumbuhan dan hewan akan menghadapi ancaman kepunahan akibat krisis ini.
Dampak dari berbagai krisis tersebut juga telah dialami Indonesia yang ditunjukkan dengan meningkatnya intensitas kejadian bencana hidrometeorologi sepanjang 2011-2021. Bahkan, Bappenas mencatat, potensi kerugian ekonomi di Indonesia akibat dampak perubahan iklim dapat mencapai Rp 544 triliun bila tidak ada intervensi kebijakan yang diambil.
Suharso menyatakan, kebutuhan dana untuk mencapai SDGs menurun akibat berbagai krisis yang dihadapi. Oleh karena itu, perlu dukungan berbagai pihak mulai dari pemerintah, masyarakat, hingga pelaku ekonomi.
”Dalam pertemuan negara G20, para pemimpin berkomitmen untuk mempercepat pencapaian SDGs. Setiap negara juga berkomitmen mengisi gap atau kekurangan dana pencapaian SDGs khususnya dalam rangka menangani perubahan iklim,” tuturnya.
Suharso menekankan, pemulihan pandemi menjadi sarana untuk mempercepat transformasi ekonomi hijau di Indonesia. Hal ini dilakukan dengan akselerasi pengurangan emisi gas rumah kaca dan mempercepat bauran energi terbarukan yang dipimpin oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
”Presiden memberikan arahan agar target SDGs tetap harus dicapai meskipun terdampak pandemi. Aksi nyata dan kerja sama semua pihak sangat diperlukan dalam rangka akselerasi ini terutama yang didukung oleh penguatan regulasi Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Pencapaian SDGs,” ujarnya.
Strategi baru
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia yang juga Menteri Riset dan Teknologi 2019-2021 Bambang PS Brodjonegoro mengatakan, tahun ini menjadi periode yang sangat krusial dalam pencapaian SDGs. Sebab, waktu pencapaian SDGs ini hanya tinggal tujuh tahun dan sempat mengalami tantangan akibat pandemi selama dua tahun terakhir.
”Dari 17 poin tujuan SDGs, terdapat beberapa poin yang barangkali bisa menjadi perhatian kita. Namun, yang lebih penting sekarang di tengah keterbatasan waktu ini yaitu harus ada strategi dan model bisnis baru dalam mencapai setiap poin SDGs,” ujarnya.
Koordinator Perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Indonesia Valerie Julliand mengakui bahwa semua negara di dunia tengah menghadapi berbagai krisis. Namun, ia juga mengapresiasi upaya Indonesia yang terus memacu percepatan pencapaian target SDGs.
”Di tengah pandemi Covid-19, kita tetap membutuhkan upaya yang lebih besar dalam pencapaian target SDGs. Upaya mencapai target SDGs ini harus lebih maju karena hasil COP27 (Konferensi Perubahan Iklim ke-27) belum menghadirkan komitmen yang diharapkan dalam mengatasi perubahan iklim,” katanya.