Optimisme menyambut endemi Covid-19 harus terus dijaga. Optimisme tersebut menjadi pemacu bagi semua pihak untuk makin bekerja keras mengakhiri pandemi. Kedisiplinan harus dirawat bersama, bukan dilonggarkan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·6 menit baca
Peribahasa menyebutkan, ”badai pasti akan berlalu”. Semangat itu pula yang dipercaya pada situasi pandemi Covid-19 saat ini. Badai pandemi pasti akan berlalu. Namun, kapan pandemi akan berlalu menjadi endemi? Jawabannya bisa bergantung pada peran kita bersama.
Kasus pertama Covid-19 dilaporkan di Indonesia pada 2 Maret 2020. Sejak saat itu, pasang surut penularan terjadi. Ketika pasang, puncak kasus pernah mencapai 64.000 kasus per hari pada Februari 2022. Namun, kondisi yang terpukul terjadi pada saat puncak kasus Juli 2021 dengan tingkat rawat inap di rumah sakit dan kematian tertinggi. Layanan kesehatan ambruk. Kondisi itu sekaligus membuka mata bahwa sistem kesehatan kita memang rapuh.
Pembenahan dan perbaikan pun dilakukan. Tidak hanya pada pemerintah, tetapi juga masyarakat. Itu termasuk kesadaran untuk menanggulangi dan mencegah penularan Covid-19 di lingkungan sekitar.
Situasi pandemi di Indonesia kini makin terkendali. Meski peningkatan kasus masih terjadi, situasi penularan Covid-19 di Indonesia masih masuk dalam level satu berdasarkan indikator transmisi komunitas yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Dari indikator kasus konfirmasi, kasus yang dilaporkan di Indonesia masih di bawah 20 kasus per 100.000 penduduk per minggu. Selain itu, angka perawatan di rumah sakit juga kurang dari 5 per 100.000 penduduk per minggu dan angka kematian di bawah 1 per 100.000 penduduk per minggu.
Situasi yang terkendali ini setidaknya sudah terjadi lebih dari enam bulan terakhir. Pada pertengahan tahun ini, pemerintah sempat menyatakan Indonesia sudah masuk dalam masa transisi dari pandemi ke endemi. Pelonggaran protokol kesehatan diterapkan, yakni tidak lagi mewajibkan penggunaan masker di luar ruangan. Pelaku perjalanan juga tidak lagi diwajibkan melakukan tes pemeriksaan Covid-19, baik dengan tes PCR maupun tes antigen.
Akan tetapi, itu justru menimbulkan euforia di masyarakat. Masa transisi dianggap sebagai akhir dari pandemi. Endemi diyakini dapat menghadirkan kehidupan kembali normal seperti sebelum pandemi. Padahal, kenyataannya, endemi bukan berarti penularan menghilang. Risiko penyakit muncul kembali bisa terjadi.
Mengutip penjelasan Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono saat rapat dengar pendapat dengan Komisi IX DPR pada 23 Mei 2022, pola pandemi sebelumnya telah menunjukkan bahwa pandemi menjadi endemi tidak berarti virus benar-benar menghilang di masyarakat.
Turunan virus flu Spanyol H1N1 hingga saat ini masih ada. Namun, patogen bisa berhenti menyebar karena sudah banyak orang yang terlindungi karena imunitas yang terbentuk dari vaksinasi atau penularan. Selain itu, mutasi virus yang terjadi relatif tidak berbahaya. Tidak hanya itu, pola virus juga bisa diketahui sehingga penularan menjadi terprediksi.
”Belajar dari tiga pandemi terakhir, status pandemi berubah menjadi endemi setelah 1,5 sampai 2 tahun kemunculan penyakit,” kata Dante.
Optimisme
Situasi yang terbilang terkendali di Indonesia, meski kenaikan mulai terjadi setelah adanya mutasi virus baru yang teridentifikasi, patut menjadi semangat bersama untuk optimistis menyambut endemi Covid-19. Situasi global pun menunjukkan semangat serupa.
Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam pidato pembukaan acara yang diselenggarakan Majelis Umum PBB (UNGA) pada 23 September 2022 menyampaikan, situasi saat itu merupakan situasi terbaik untuk mengakhiri Covid-19 sebagai darurat kesehatan global. Jumlah kematian mingguan dilaporkan mendekati angka terendah sejak pandemi terjadi.
Meski begitu, banyak hal yang harus dilakukan untuk menyiapkan akhir dari pandemi. Vaksinasi harus makin diperluas dan dioptimalkan. Kesenjangan vaksinasi perlu segera ditutup, terutama pada kelompok yang paling berisiko, seperti kalangan lansia.
Semua negara pun diminta untuk terus meningkatkan upaya pengawasan, pengujian, dan pengurutan genom. Selain itu, antiviral untuk Covid-19 harus tersedia di mana pun.
”Kita belum sampai di sana, tetapi akhir sudah di depan mata,” kata Tedros. Ia mengumpamakan akhir pandemi seperti garis akhir yang harus dicapai oleh pelari maraton. Seorang pelari maraton tidak berhenti saat garis akhir mulai terlihat. Pelari tersebut justru akan berlari lebih keras dengan seluruh energi yang tersisa.
”Begitu juga kita. Sekaranglah waktu bagi kita untuk berlari lebih cepat dan memastikan kita dapat melewati batas serta menuai hasil dari semua kerja keras kita,” ujarnya.
Kita belum sampai di sana, tetapi akhir (pandemi) sudah di depan mata. (Tedros Adhanom Ghebreyesus)
Untuk itulah, apa yang akan terjadi dalam beberapa waktu ke depan sangat bergantung pada upaya yang kita lakukan saat ini. Jika pandemi ingin segera diakhiri, ikat pinggang harus makin dikencangkan. Mutasi virus yang terus terjadi bisa diatasi apabila setiap masyarakat punya kekebalan untuk melawannya. Kesanggupan untuk hidup berdampingan dengan Covid-19 bisa menjadi satu cara.
WHO sudah mengeluarkan pedoman untuk hidup berdampingan dengan Covid-19, yakni penularan bisa dikendalikan ke tingkat kasus sporadis atau endemis, sistem kesehatan dan kapasitas kesehatan yang memadai telah tersedia, risiko wabah dapat diminimalkan, adanya tindakan pencegahan di masyarakat, dan risiko kasus impor bisa dikelola. Hal lain yang juga tidak kalah penting adalah partisipasi masyarakat yang sudah terbentuk dengan baik.
Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Pandu Riono, yang ditemui di Jakarta, Selasa (22/11/2022), mengatakan, kesadaran masyarakat untuk menjalankan protokol kesehatan juga menjadi wujud kesiapan masyarakat memasuki fase endemi. Masyarakat, tanpa dipaksa dan tanpa diwajibkan, bisa secara sadar tetap menggunakan masker ketika berada di kerumunan. Masyarakat juga diharapkan bisa secara sadar untuk menjalani perilaku hidup bersih dan sehat, termasuk untuk mencuci tangan.
Masyarakat juga secara sadar melakukan pemeriksaan ataupun isolasi mandiri ketika merasa mengalami gejala penyakit. Keterlibatan masyarakat sangat menentukan situasi penularan Covid-19 di masa depan.
”Melihat situasi sekarang seharusnya sudah endemi. Jadi, lebih baik intervensi dilakukan berfokus pada vaksinasi dan protokol kesehatan. Kita harus percaya diri untuk mengakhiri pandemi bersama. Pastikan pula kelompok masyarakat yang paling rentan terlindungi,” kata Pandu.
Karena itu, tugas berat saat ini adalah mencapai cakupan vaksinasi Covid-19 yang optimal, termasuk vaksinasi dosis penguat bagi kelompok rentan. Cakupan vaksinasi harus bisa mencapai setidaknya 70 persen dari total penduduk. Khusus pada kelompok rentan seperti warga lansia, cakupan harus mencapai 100 persen agar perlindungan bisa optimal. Pemerintah kini juga sudah membuka layanan vaksinasi dosis penguat kedua bagi kaum lansia.
Per 28 November 2022, cakupan dua dosis primer baru mencapai 64 persen dari total penduduk dan dosis penguat atau dosis ketiga sebesar 24,6 persen. Sementara untuk penduduk lansia, cakupan dosis primer mencapai 70 persen dari total sasaran dan dosis penguat pertama sebesar 32 persen.
Berbagai terobosan perlu dilakukan oleh pemangku kepentingan agar cakupan vaksinasi bisa ditingkatkan. Vaksin harus dipastikan tersedia dan mudah diakses masyarakat. Fasilitas pendukung pun perlu disiapkan, terutama bagi kelompok rentan yang sulit mengakses layanan kesehatan.
Bersamaan dengan itu, kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi secara penuh juga diperlukan. Endemi bukan lagi fatamorgana. Meski begitu, semua pihak harus sadar bahwa pandemi belum berakhir. Optimisme menyambut endemi perlu dibangun bersama dengan kesadaran dan aksi nyata dalam melawan Covid-19.