Upaya alih fungsi kawasan hutan yang tanpa perencanaan dan kajian dampak yang komprehensif dinilai berpotensi merusak lingkungan.
Oleh
HIDAYAT SALAM
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelaksanaan program lumbung pangan atau food estate yang berada di kawasan sekitar hutan konservasi dan lindung dinilai bisa mengakibatkan kerusakan ekologis, ekonomi, dan budaya. Bukan hanya itu, terjadi pula pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal yang selama ini bergantung pada hutan sebagai sumber kehidupan mereka.
Direktur Eksekutif Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) Sumatera Utara Delima Silalahi mengemukakan, upaya alih fungsi kawasan hutan yang tanpa perencanaan dan kajian dampak komprehensif justru berpotensi merusak lingkungan. Program lumbung pangan ini menjadi tindakan tidak bijak di tengah lemahnya pengakuan negara atas tanah dan hutan adat.
Sebagai contoh, proyek lumbung pangan di Sumatera Utara yang sudah berjalan dua tahun terakhir telah timbul konflik antar-warga di dua desa yang menjadi lokasi lumbung pangan itu. ”Konflik itu berdasarkan pada pembebasan lahan dan pembagian batas tanah,” ucapnya saat temu media bertema ”Foul Estate: Hasil Pemantauan Proyek Food Estate di Kalimantan Barat dan Sumatera Utara”, di Jakarta, Rabu (30/11/2022).
Menurut Delima, lokasi program lumbung pangan itu berada di Desa Ria-Ria, Desa Hutajulu, dan Desa Aek Nauli, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan. Meskipun lumbung pangan dijadikan sebagai jalan keluar dari ancaman krisis pangan di Indonesia, jenis tanamannya tidak biasa dikonsumsi oleh masyarakat sekitar.
Hasil pemantauan oleh Kaoem Telapak selama 2022, ancaman pembukaan lahan skala masif di kawasan hutan di wilayah Humbang Hasundutan bisa mengancam keberadaan pohon kemenyan yang sudah dimiliki masyarakat adat.
Menurut Andre Barahamin, Senior Campaigner Kaoem Telapak, tak hanya kemenyan, di area hutan itu juga terdapat durian, jengkol, petai, dan berbagai jenis kayu alam yang berperan penting bagi kehidupan mereka dan kini keberadaannya terancam.
Metode pemantauan ini dilakukan dengan dua metode kualitatif, yakni desk research dan field investigation. Riset itu dilakukan sejak tahun 2021, kemudian pemantauan lapangan dilakukan dari Mei-Juli 2022 meliputi daerah di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, serta Kabupaten Pakpak Bharat dan Kabupaten Humbang Hasundutan di Sumatera Utara.
”Program lumbung pangan ini hanya akan melahirkan lebih banyak masalah yang berdampak pada sisi sosial, ekonomi, kultural, dan ekologi. Bukan hanya ancaman deforestasi, food estate juga sudah berkali-kali terbukti gagal,” kata Andre.
Lebih lanjut Andre menyampaikan, di Pakpak Bharat, luasan kawasan hutan produksi terbatas (HPT) yang akan diubah status menjadi hutan produksi konversi untuk food estate mencapai 1.332 hektar dari luasan wilayah yang direncanakan seluas 8.000 hektar.
Hal itu dinilai mengancam terjadinya deforestasi. Sebab, 87 persen dari luas lahan tersebut memiliki wilayah hutan yang terdiri dari hutan suaka alam seluas 5.943 hektar, hutan lindung seluas 44.136 hektar, hutan tanaman seluas 49.390 hektar, dan hutan produksi seluas 10.224 hektar.
Program lumbung pangan ini hanya akan melahirkan lebih banyak masalah yang berdampak pada sisi sosial, ekonomi, kultural, dan ekologi. Bukan hanya ancaman deforestasi, food estate juga sudah berkali-kali terbukti gagal.
Adapun data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan laju deforestasi atau kehilangan hutan Indonesia dalam beberapa tahun terakhir cenderung menurun. Deforestasi neto periode 2019-2020 mengalami penurunan 75,03 persen, yakni 115.460 hektar. Sementara periode 2018-2019 sebesar 462.400 hektar dan pada periode 2017-2018 sebesar 439.400 hektar.
Kompas telah menghubungi Direktur Jenderal (Dirjen) Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK Ruandha Agung Sugardiman, Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan Belinda A Margono, serta Kepala Biro Hubungan Masyarakat KLHK Nunu Anugrah terkait pemanfaatan kawasan hutan untuk program lumbung pangan. Namun, hingga pukul 18.00 WIB belum ada respons.
Berdasarkan arsip Kompas, 17 November 2020, ketika Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK dijabat oleh Sigit Hardwinarto, ia menjelaskan, perubahan peruntukan kawasan hutan untuk pembangunan food estate dilakukan pada kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi dengan syarat harus melewati kajian tim terpadu, kajian lingkungan hidup strategis, serta menyelesaikan upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup (UKL-UPL).
Kawasan hutan lindung yang digunakan untuk pembangunan food estate tidak sepenuhnya berfungsi lindung, yaitu dalam kondisi terbuka/terdegradasi/sudah tidak ada tegakan hutan. Namun, food estate itu akan memulihkan hutan dengan pola kombinasi tanaman hutan dengan tanaman pangan, ternak, dan perikanan. Tanaman hutan dengan berbagai kombinasi itu akan memperbaiki fungsi hutan lindung (Kompas, 17/11/2020).