Konsumsi Daging Olahan Berlebih Tingkatkan Risiko Kanker Usus Besar
Banyak faktor risiko kanker kolorektal yang perlu diwaspadai, seperti riwayat keluarga serta kebiasaan diet rendah serat, tetapi tinggi lemak.
Oleh
ZULIAN FATHA NURIZAL
·4 menit baca
KOMPAS/RIZA FATHONI
Menu di rumah makan di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, awal November 2019.
JAKARTA, KOMPAS — Penambahan kasus baru kanker usus besar yang semakin meningkat harus menjadi perhatian bersama. Masyarakat diimbau memperhatikan pola makan, termasuk dengan makanan daging olahan untuk menurunkan risiko kanker kolorektal.
Berdasarkan data dari Global Cancer Statistics (Globocan), kanker kolorektal menempati urutan keempat tertinggi di Indonesia dengan lebih dari 34.000 kejadian baru. Hampir 12 persen kejadian baru kanker terjadi pada laki-laki dan hampir 6 persen kejadian baru kanker pada perempuan.
Pada 2020, Indonesia mengalami penambahan 396.914 kasus kanker baru dengan lima jenis kanker terbanyak, yaitu kanker payudara 16,6 persen, kanker serviks 9,2 persen, kanker paru 8,8 persen, kanker kolorektal 8,6 persen, dan kanker hati 5,4 persen. Data ini menunjukkan peningkatan 13,8 persen dibandingkan dengan penambahan kasus baru pada 2018.
Ketua Umum Yayasan Kanker Indonesia Aru Wisaksono Sudoyo mengatakan, peningkatan jumlah kasus kanker kolorektal dipengaruhi oleh pola makan dan jenis makanan yang dikonsumsi. Selain itu, kurangnya pemahaman memengaruhi deteksi dini pada kanker.
ZULIAN FATHA NURIZAL
Suasana diskusi daring bertajuk ”Waspada Kanker Kolorektal: Pahami Resikonya dengan #PERIKSA”, Rabu (30/11/2022), melalui aplikasi Zoom.
”Kurangi konsumsi daging merah dan makanan olahan daging, seperti sosis dan nugget. Kedua makanan itu merupakan penyebab risiko tinggi kanker kolorektal,” ujar Sudoyo dalam diskusi daring bertajuk ”Waspada Kanker Kolorektal: Pahami Resikonya dengan #PERIKSA”, Rabu (30/11/2022).
Selain itu, banyak faktor risiko kanker kolorektal yang perlu diwaspadai, seperti riwayat keluarga serta kebiasaan diet rendah serat, tetapi tinggi lemak. Adapun gejala awal untuk deteksi dini kanker kolorektal ini dengan melihat pola buang air besar (BAB) yang berubah. Gejala lainnya termasuk pendarahan saat buang air besar, kelelahan, serta yang paling parah penurunan berat badan secara drastis.
Sudoyo lebih lanjut menjelaskan, kanker kolorektal dimulai dengan pertumbuhan daging, seperti kancing, di permukaan lapisan usus atau dubur yang disebut polip. Saat kanker tumbuh, ia mulai menyerang dinding usus atau rektum.
Masyarakat dapat mengisi ”Kuesioner Risiko Kanker Usus Besar” melalui tautan bit.ly/yukperiksa untuk mengetahui apakah gaya hidup yang dijalankan merupakan faktor risiko kanker usus besar.
Kelenjar getah bening di dekatnya juga dapat diserang. Karena darah dari dinding usus dan sebagian besar rektum dibawa ke hati, kanker kolorektal dapat menyebar ke hati setelah menyebar ke kelenjar getah bening di dekatnya.
Deteksi dini
Untuk meningkatkan kewaspadaan masyarakat terhadap faktor-faktor risiko kanker kolorektal, Yayasan Kanker Indonesia bekerja sama dengan Merck Indonesia memperkenalkan kampanye dengan tagar #PERIKSA, yaitu kepanjangan dari Peduli Risiko Kanker Kolorektal Sejak Awal.
Head Of Corporate Communication PT Merck TBK Melisa Sandrianti mengatakan, kampanye ini bertujuan mengajak masyarakat agar lebih peduli terhadap kanker kolorektal. Selain itu diharapkan masyarakat lebih mengenali tanda atau gejala awal yang berkaitan dengan risiko kanker kolorektal.
ZULIAN FATHA NURIZAL
Head Of Corporate Communication PT Merck TBK Melisa Sandrianti dalam diskusi daring bertajuk Waspada Kanker Kolorektal: Pahami Resikonya dengan #PERIKSA”, Rabu (30/11/2022), melalui aplikasi Zoom.
”Deteksi dini yang kami buat dengan metode mengisi kuesioner secara daring. Dalam kuesioner itu nanti akan terdeteksi sejauh mana risiko yang diderita,” ujar Melisa. Dia mencontohkan, dalam kuesioner berisi pertanyaan seputar faktor risiko, seperti seberapa sering mengonsumsi makanan cepat saji atau makanan sehat.
Masyarakat dapat mengisi ”Kuesioner Risiko Kanker Usus Besar” melalui tautan
bit.ly/yukperiksa untuk mengetahui apakah gaya hidup yang dijalankan merupakan faktor risiko kanker usus besar.Pengobatan
Seiring dengan kemajuan penanganan kanker kolorektal di Indonesia, khususnya dengan tersedianya terapi target dan pemeriksaan status penanda tumor RAS, diharapkan angka kematian karena kanker kolorektal dapat terus berkurang. Pilihan metode pengobatan secara personal (personalized treatment) akan membantu menegakkan diagnosis yang lebih akurat.
Dokter Aru Sudoyo menjelaskan tentang beberapa opsi pengobatan kanker kolorektal, yaitu operasi, kemoterapi, terapi radiasi, terapi target, dan imunoterapi kanker kolorektal, disesuaikan dengan kondisi dan lokasi kanker kolorektal.
Jika kanker kolorektal telah memasuki stadium IV dan berkembang ke banyak organ dan jaringan yang jauh, Sudoyo menjelaskan, pembedahan mungkin tidak membantu memperpanjang umur seseorang. Pilihan pengobatan lain dapat menyebabkan ketidaknyamanan dan dapat menghasilkan gejala tambahan yang membuat kualitas hidup seseorang menjadi lebih buruk.
”Dalam kasus ini, orang mungkin memutuskan untuk tidak melakukan perawatan medis yang berupaya menyembuhkan kanker dan sebagai gantinya memilih perawatan paliatif untuk mencoba membuat hidup lebih nyaman. Perawatan paliatif biasanya akan melibatkan menemukan cara untuk mengelola rasa sakit dan mengurangi gejala seseorang sehingga mereka dapat hidup dengan nyaman selama mungkin,” papar Sudoyo.
Menimbang panjangnya proses penyembuhan kanker kolorektal, dia mengimbau masyarakat untuk melakukan pencegahan kanker kolorektal sedini mungkin dengan berhenti merokok dan menghindari alkohol. ”Selain itu, lakukan skrining untuk kanker kolorektal, makan banyak sayuran, buah-buahan, dan biji-bijian, berolahraga secara teratur dan kendalikan berat badan,” kata Sudoyo menyarankan.