Kasus Anak Meracun Anggota Keluarga, Gambaran Lemahnya Ikatan Emosional
Kasus anak yang membunuh anggota keluarganya di Magelang, Jawa Tengah, menjadi gambaran lemahnya ikatan emosional pada sebagian keluarga di Indonesia.
Oleh
ZULIAN FATHA NURIZAL
·3 menit baca
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Mural berisi pesan gambaran keluarga bahagia di Jalan Bekasi Timur Raya, Jakarta Utara, Kamis (20/2/2020).
JAKARTA, KOMPAS — Kasus anak yang membunuh anggota keluarga di Magelang, Jawa Tengah, Senin (28/11/2022), menggambarkan lemahnya ikatan emosional dalam keluarga. Hal ini tergambar dengan pelaku yang melakukan percobaan pembunuhan dua kali.
Hal itu disampaikan sosiolog dari Universitas Nasional, Sigit Rochadi, saat dihubungi pada Rabu (30/11/2022). Sigit mengatakan, kasus anak yang meracun anggota keluarganya sendiri menggambarkan dengan jelas kondisi keluarga di Indonesia yang semakin individualis.
”Pelaku melakukan percobaan pembunuhan dua kali. Secara gamblang dia sadar dan berencana melakukan evaluasi. Dengan begitu, terlihat tidak adanya ikatan emosional dalam keluarga sehingga dia tega melakukan hal itu kepada keluarganya sendiri,” kata Sigit.
Sigit menambahkan, bagi sebagian masyarakat, kasus ini menggambarkan bahwa rumah yang seharusnya menjadi tempat yang aman justru sebaliknya.
Seperti diberitakan sebelumnya, pelaku DDS (22) menyiapkan dua jenis racun, yaitu arsenik dan sianida, untuk menghabisi tiga anggota keluarganya. Dua racun ini sudah dipakainya dalam dua kali upaya pembunuhan pada Rabu (23/11/2022) dan Senin (28/11/2022).
Racun sianida itu ditemukan dalam sampel organ lambung korban yang telah diperiksa tim Bidang Kedokteran dan Kesehatan Kepolisian Daerah Jawa Tengah. Racun itulah yang diduga menewaskan tiga korban di rumah mereka di Dusun Prajenan, Desa Mertoyudan, Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang, Senin (28/11/2022).
Pelaku mencampurkan dua sendok teh sianida ke setiap gelas teh dan kopi yang dikonsumsi ketiga korban. Ketiga korban yang diracun adalah Abbas Ashar (58), Heri Riyani (54), dan Dhea Chairunnisa (24). Abbas dan Heri adalah pasangan orangtua pelaku dan Dhea adalah kakak kandung pelaku.
”Di tahap awal, dia membeli dan menggunakan racun arsenik. Namun, karena gagal, tidak menewaskan siapa pun, pelaku kemudian membeli dan kembali beraksi dengan menggunakan sianida,” ujar Pelaksana Tugas Kepala Kepolisian Resor Kota Magelang Ajun Komisaris Besar Sajarod Zakun saat ditemui di Markas Polresta Magelang, Magelang, Jawa Tengah, Rabu (30/11/2022) (Kompas, 30/11/2022).
KOMPAS/REGINA RUKMORINI
Kapolres Magelang Ajun Komisaris Besar Sajarod Zakun memberikan keterangan kepada pers, Selasa (9/8/2022).
Sajarod menambahkan, pelaku tidak kelihatan depresi ataupun stres. Dia sangat lancar memberikan keterangan yang diminta polisi. Atas perbuatannya, pelaku dinyatakan melanggar Pasal 340 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) juncto Pasal 338 KUHP. Ancaman hukumannya berupa pidana penjara seumur hidup atau hukuman mati.
Pembentukan karakter
Sigit menuturkan, tersangka yang berusia 22 tahun sudah masuk kategori dewasa sehingga bisa berpikir dan bertanggung jawab atas apa yang dilakukan. Meski demikian, karakter seorang anak dapat dipengaruhi berbagai macam faktor.
”Pembentukan karakter juga bisa dipengaruhi oleh faktor eksternal. Misalnya, lingkungan bermain dan bekerja. Selain itu, kita ketahui bahwa pengaruh media sosial bisa lebih berpengaruh,” kata sigit. Walau begitu, pengaruh pembentukan karakter paling kuat adalah di rumah.
Karakter juga bisa dibentuk melalui pendidikan dengan mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan atau pendidikan moral pancasila. Sigit menilai, saat ini pendidikan Indonesia lebih berfokus pada ilmu pengetahuan dan teknologi atau iptek.
Bagi sebagian masyarakat, kasus ini menggambarkan bahwa rumah yang seharusnya menjadi tempat yang aman justru sebaliknya.
Dihubungi melalui telepon, Pelaksana Tugas Kepala Pusat Penguatan Karakter Kementerian Pendidikan Kebudayan Riset dan Teknologi Hendraman mengatakan, penguatan karakter pada anak saat ini diperdalam melalui program pelajar Pancasila. Di dalamnya terdapat enam dimensi yang berkaitan dengan sikap menghargai orangtua.
”Kaitannya dengan sikap menghargai dan menghormati ada di dimensi pertama, yaitu Dimensi Beriman, Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan Berahlak Mulia. Di mana sudah jelas berakhlak mulia, termasuk menghargai kepada orangtua, guru, dan teman,” kata Hendraman.
Dia menilai, dalam pembentukan karakter tidak elok jika hanya membebani tenaga pendidik dan sekolah. Ini yang sering kali kurang disorot sejumlah pihak seakan-akan sekolah bisa menyelesaikan masalah kekerasan dan pembentukan karakter.
”Sebaik apa pun dididik karakter di sekolah, begitu keluar dari sekolah, dan masuk ke rumah atau masyarakat, apakah masih menjadi tanggung jawab guru dan sekolah?” ujar Hendraman.