Anak-anak Korban Gempa Cianjur Perlu Dukungan Psikososial
Banyak anak yang menjadi korban gempa bumi di Cianjur mengalami trauma. Dukungan psikososial untuk pemulihan psikologis anak-anak mulai dilakukan berbagai pihak.
JAKARTA, KOMPAS — Dukungan psikososial untuk membantu pemulihan psikologis anak-anak korban gempa bumi di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, mulai dilakukan berbagai pihak. Banyak anak yang merasa tertekan dan takut akibat peristiwa gempa yang mereka saksikan.
Direktur Eksekutif Plan Indonesia Dini Widiastuti, Rabu (30/11/2022), mengatakan, dari hasil penilaian kebutuhan cepat (rapid need assessment/RNA) yang dilakukan tim Tanggap Darurat Plan Indonesia, banyak anak yang merasa tertekan dan takut akibat peristiwa bencana tersebut.
”Umumnya anak-anak ini melihat dengan mata sendiri bangunan sekolah mereka runtuh dan menyaksikan teman-teman mereka tertimpa bangunan yang roboh diguncang gempa,” jelas Dini.
Meskipun ada trauma, anak-anak mengaku tetap termotivasi untuk kembali ke sekolah. Ada harapan dari anak-anak ini agar bangunan sekolah mereka lebih aman dan kuat.
Tim Tanggap Darurat Plan Indonesia memberikan dukungan psikososial bagi anak-anak terdampak gempa bumi di Cianjur yang saat ini berada di sejumlah tenda pengungsian. Dukungan psikososial mulai tanggal 24 November hingga 2 Desember 2022 di Kecamatan Cugenang. Metode yang digunakan 3L, yaitu look, listen, dan link.
Sebanyak 200 anak yang tinggal di lokasi pengungsian mengikuti kegiatan pendampingan psikososial ini. Untuk memperkuat upaya tersebut, tim Tanggap Darurat Plan Indonesia juga menggandeng mitra lokal, yaitu Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC), serta memberikan pelatihan dukungan psikososial untuk mitra lokal dan para sukarelawan.
Baca juga: Hampir Separuh Korban Tewas Anak-anak
Dini mengungkapkan, dari hasil RNA Tim Tanggap Darurat Plan Indonesia yang dilakukan di beberapa posko pengungsian di Mangunkerta, Rancagoong, Kadudampit, dan Cariu yang berada di Cugenang dan Cilaku, ditemukan sejumlah masalah yang perlu segera direspons dan diberi perhatian khusus.
Anak-anak merasa tidak aman saat tinggal di tenda pengungsian. Tidak adanya pemisahan ruangan antara laki-laki dan perempuan, serta lampu penerangan yang terbatas, juga membuat anak-anak dan perempuan rawan mengalami kekerasan.
Selain itu, ada 524 sekolah rusak serta tidak ada tempat belajar sementara. ”Anak-anak kehilangan bahan belajar, seragam sekolah, mainan, dan barang-barang berharga mereka. Mereka juga tidak memiliki kegiatan untuk dilakukan karena sekolah ditutup dan tidak ada kegiatan belajar-mengajar yang diadakan di ruang belajar sementara,” ungkap Dini.
Keterbatasan air dan toilet di lokasi bencana juga rawan menimbulkan gangguan kebersihan dan kesehatan bagi anak-anak. ”Anak-anak mengalami kesulitan mengganti pakaian dalam, bra, serta menjaga kebersihan menstruasi karena terbatasnya pakaian dalam dan pembalut yang tersedia,” lanjut Dini.
Berdasarkan laporan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, hingga 24 November, terdata 31 siswa dan 6 guru meninggal serta 367 peserta didik dan 76 guru yang luka-luka karena gempa di Cianjur. Gempa juga menghancurkan 2.235 ruang dengan tingkat kerusakan mulai dari ringan, sedang hingga berat.
Pendidikan adalah salah satu hak anak yang harus dipenuhi dalam situasi apa pun, termasuk kondisi darurat.
Dukungan untuk pemulihan psikososial anak-anak di Cianjur juga dilakukan Save the Children Indonesia bersama dengan kluster pendidikan Cianjur. Pendataan dilakukan guna mengidentifikasi anak dan guru yang terdampak, termasuk kondisi sarana dan prasarana sekolah.
”Hal ini menjadi penting untuk dapat memastikan penyaluran bantuan yang merata dan juga tepat sasaran, serta dapat segera memberikan layanan dukungan psikososial untuk membantu memulihkan aspek psikis anak, orangtua, dan guru yang terdampak,” kata Head of Education Save the Children Indonesia Imelda Usnadibrata.
Menurut Imelda, pendidikan adalah salah satu hak anak yang harus dipenuhi dalam situasi apa pun, termasuk kondisi darurat. Seperti di Cianjur, anak-anak penting untuk segera mendapatkan layanan dukungan psikososial yang masuk sebagai unsur pendidikan pada situasi darurat. Tujuannya untuk memastikan anak-anak dapat mengatasi rasa khawatir, takut, dan cemas.
Harapannya, dengan bertemu teman serta guru, anak-anak akan senang kembali belajar dan bersekolah. Imleda menambahkan, Save the Children Indonesia juga menyediakan tenda untuk dijadikan sebagai ruang belajar sementara yang aman dan nyaman bagi anak-anak.
Saat ini, Program Pendidikan dalam situasi darurat serta layanan dukungan psikososial Save the Children Indonesia telah menjangkau lebih dari 200 anak, 22 Guru di Nagrak, Cugenang, dan SMP 1 Warungkondang. Salah satu edukasi yang diberikan juga terkait pendidikan tentang pengurangan risiko bencana (PRB), untuk memastikan anak-anak, guru, dan warga sekolah memahami karakteristik bencana, memahami upaya mitigasi, serta langkah-langkah yang dapat dilakukan sebelum, saat dan setelah terjadi bencana.
Solidaritas perguruan tinggi
Bantuan juga mengalir dari Universitas Indonesia lewat aksi tanggap bencana UI Peduli Cianjur. Sebanyak 12 mahasiswa UI yang tergabung dalam Unit Kegiatan Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) UI dan Geography Mountaineering Club (GMC) Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) UI berkolaborasi dengan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Cianjur. Salah satunya melakukan asesmen daerah yang terisolisasi dan pemetaan daerah terdampak agar bantuan dapat terdistribusi tepat sasaran ke korban yang paling membutuhkan.
Asesmen juga dilakukan terhadap kondisi sekolah-sekolah yang ada di wilayah Cianjur dan tingkat kerusakannya untuk memperoleh gambaran bagaimana kegiatan pendidikan di daerah tersebut dapat segera pulih kembali.
Sementara itu, Pelaksana Tugas Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek Tjitjik Srie Tjahjandarie mengatakan, pihaknya sedang melakukan identifikasi kebutuhan-kebutuhan prioritas untuk penanganan pada masa tanggap darurat.
”Di masa tanggap darurat ini, kami prioritas untuk menyediakan kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang terdampak musibah. Informasi di lapangan, masyarakat membutuhkan tenda dan kebutuhan pokok lainnya. Kami akan siapkan untuk penyaluran tahap kedua,” jelas Tjitjik.
Di tahap pertama, Ditjen Diktiristek menyalurkan bantuan terdiri dari 20 tenda keluarga, 130 boks mi instan, 13 boks biskuit bayi, 100 boks biskuit, 50 boks popok bayi, 100 sarung, 70 selimut, 100 boks pembalut wanita, 1 koli pakaian dewasa, 1 koli pakaian anak-anak, dan 100 boks air mineral. Bantuan ini diserahkan ke tiga posko, antara lain Balai Besar Pengembangan Penjaminan Mutu Pendidikan Vokasi Pertanian, Universitas Suryakancana, dan Universitas Putera Indonesia.
Wakil Rektor II Universitas Suryakancana, Cianjur, Mia Amalia turut meninjau beberapa fasilitas kampus rusak, antara lain gedung perpustakaan, auditorium, dan ruang-ruang kelas. Fasilitas ini mengalami kerusakan antara lain robohnya struktur atap, plafon runtuh, tembok dan struktur beton retak.
”Kami berharap adanya bantuan untuk perbaikan fasilitas-fasilitas pembelajaran yang rusak terdampak gempa,” kata Mia.
Mia mengatakan, proses pembelajaran di Universitas Suryakancana sementara diliburkan. Hal ini dilakukan untuk proses pembersihan puing dan pengecekan kelayakan bangunan.
”Prioritas kami adalah keselamatan mahasiswa. Mahasiswa sementara diliburkan untuk dilakukan pembersihan puing. Insya Allah, Senin depan bisa mulai pembelajaran secara daring,” kata Mia.
Baca juga: Pendataan Rumah Rusak Terdampak Gempa Cianjur Mulai Berjalan
Sementara itu, Telkom University (Tel-U) juga menurunkan tim sukarelawan yang terdiri dari mahasiswa, pegawai, dan dosen ke Cianjur. Selain memberikan kebutuhan harian yang diperlukan oleh korban bencana, kampus ini mengirimkan produk inovasi unggulannya, yaitu mobile cognitive radio base station (MCRBS) untuk menangkap sinyal komunikasi di daerah terdampak bencana.
Direktur Advanced Intelligent Comms Telkom University Khoirul Anwar menjelaskan, MCRBS merupakan base station portable dengan komponen yang terdiri dari tower, antena, sistem daya, dan sistem kontrol sehingga dapat dengan mudah berpindah sesuai kebutuhan (misalnya dipasang pada mobil penanganan bencana).
MCRBS didesain mampu menangkap sinyal dari berbagai generasi komunikasi dan bisa ”menghubungkan” daerah bencana dengan daerah yang aman sehingga komunikasi dapat terbangun dan tindakan penyelamatan dapat segera dilakukan dengan lebih efektif dan efisien.
Selain berhasil memberikan koneksi komunikasi dan data internet, desain dan rancangan MCRBS terbaru mampu mandiri dalam hal power dengan bantuan generator, aki, dan panel tenaga surya. Alat ini dapat digunakan di daerah yang tidak terjangkau listrik.
”Kehadiran MCRBS di Cianjur untuk membantu pemulihan jaringan sekaligus melakukan aksi penyelamatan korban bencana,” kata Khoirul.