Pengobatan Orang dengan HIV di Indonesia Belum Optimal
HIV merupakan penyakit menular yang bisa diobati. Semakin awal diketahui, maka kian baik juga keberlangsungan hidup orang dengan HIV.
Oleh
HIDAYAT SALAM
·4 menit baca
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Ilustrasi. Dokter Puskesmas Kecamatan Tamansari, Jakarta, mengambil darah salah seorang warga di Kawasan Museum Fatahillah, Jakarta, beberapa waktu lalu.
JAKARTA, KOMPAS — Layanan pengobatan dan pemeriksaan human immunodeficiency virus atau HIV belum optimal. Layanan ini sangat penting dioptimalkan untuk mencapai satu dari tiga target dalam mencapai Indonesia bebas acquired immunodeficiency syndrome atau AIDS 2030.
Ketiga target Indonesia bebas AIDS 2030 yang harus dicapai ini disebut dengan 3 Zeros. Target ini meliputi tidak ada lagi kasus baru infeksi HIV, tidak ada lagi kasus kematian terkait AIDS, serta tidak ada lagi diskriminasi pada orang dengan HIV/AIDS.
Upaya pemerintah dalam mengakhiri epidemi HIV mulai dari target 95 persen kelompok berisiko tinggi dites, 95 persen mereka yang positif HIV mau berobat dengan antiretroviral (ARV), hingga 95 persen orang yang mendapat ARV sampai pada kondisi virus di tubuhnya tidak terdeteksi.
Ibu dengan HIV tidak selalu menularkan virus HIV ke bayinya. Kecenderungan penularan hanya 20-40 persen.
Namun, berdasarkan data September 2022 Kementerian Kesehatan (Kemenkes), capaian target tersebut hanya 79 persen orang dengan HIV (ODHIV) yang diketahui statusnya, 41 persen ODHIV diobati ARV, dan 16 persen ODHIV dengan jumlah virus tersupresi atau tidak lagi terdeteksi.
”Upaya agar mereka yang terdeteksi HIV untuk menjalani pengobatan atau terapi ARV belum maksimal dan masih di bawah 50 persen. HIV itu penyakit menular yang bisa diobati. Semakin awal diketahui, kian baik juga keberlangsungan hidup orang dengan HIV karena itu bukan akhir segalanya,” kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes Imran Pambudi saat temu media Hari AIDS Sedunia 2022 secara daring, Selasa (29/11/2022).
Menurut Imran, permasalahan lainnya ialah para petugas kesehatan belum maksimal dalam memberikan edukasi terkait penanganan dan pengobatan HIV. Hasilnya, ketika orang telah dites HIV dan terkonfirmasi positif, mereka tidak mau melakukan pengobatan.
Apalagi, terjadinya pandemi Covid-19 membuat layanan Perawatan Dukungan Pengobatan (PDP) HIV-AIDS terganggu, yaitu hanya 1.705 layanan PDP yang aktif. Padahal, layanan PDP HIV-AIDS yang tersedia di Indonesia berjumlah 2.048 layanan. Dengan keterbatasan akses layanan pengobatan ini, dapat berpotensi meningkatkan angka putus obat pada ODHA (Kompas.id, 2/12/2021).
Imran memastikan, layanan PDP HIV-AIDS saat ini sudah kembali normal. Pemerintah sudah memberikan fasilitas pengobatan ARV secara gratis bagi ODHA. Ketika terdiagnosis HIV tanpa harus melihat kadar CD4 dalam tubuh, seseorang sudah bisa mendapatkan fasilitas pengobatan secara rutin. Itu termasuk pengobatan lain yang menjadi komorbid HIV, seperti tuberkulosis (TBC), hepatitis B dan C, serta infeksi menular seksual.
Penularan vertikal
Menurut data Penemuan dan Pengobatan HIV Indonesia tahun 2018-2022 Kemenkes, diperkirakan ODHIV sebanyak 526.841. Sementara orang yang mengetahui statusnya HIV ada 417.778 orang dan hanya 169.767 orang yang menerima terapi ARV atau 41 persen. Adapun kasus HIV pada anak usia 14 tahun ke bawah sebanyak 12.553 kasus
KOMPAS/ERWIN EDHI PRASETYA
Suasana shelter Lentera tempat tinggal anak-anak pengidap HIV/AIDS di Solo, Jawa Tengah, pertengahan Februari 2019.
Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Banten Santoso Edi Budiono mengatakan, pada 2021 dari 2,5 juta ibu hamil yang diperiksa untuk tes HIV, ditemukan sekitar 6.094 ibu yang positif HIV. Dari jumlah itu, hanya sepertiga yang mendapatkan pengobatan ARV sehingga risiko anak yang tertular HIV dari ibunya masih tinggi.
”Ibu dengan HIV tidak selalu menularkan virus HIV ke bayinya. Kecenderungan penularan hanya berkisar 20-40 persen. Deteksi dini serta pengobatan rutin adalah langkah mencegah penularan HIV secara vertikal dari ibu ke anak. Semakin dini terdeteksi dan diobati, penularan semakin bisa dicegah,” ujar Santoso.
Dosen Bidang Alergi Imunologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Evy Yunihastuti, menjelaskan, kesadaran dan pengertian pentingnya tes pada ibu hamil memang perlu ditingkatkan. Sebab, HIV pada anak dan bayi bisa dicegah dengan melakukan tes HIV bersama dengan tes hepatitis B dan sifilis atau yang dikenal dengan program triple elimination.
KOMPAS/REGINA RUKMORINI
Seorang ibu bertanya perihal penyakit HIV/AIDS kepada petugas kesehatan RSUD Tidar Magelang, Jawa Tengah, yang membuka pos pelayanan di Lapangan Rindam, Magelang, Kota Magelang, Jawa Tengah beberapa waktu lalu.
Menurut Evy, gejala awal saat seseorang kemasukan virus HIV tidak begitu spesifik, hanya seperti terkena flu atau demam, lalu akan hilang. Namun, setelah 5-10 tahun kemudian, barulah ada gejala-gejala klinis, seperti demam dan batuk lama. Lalu lidah yang putih akibat jamur disertai berat badan turun juga perlu diduga disebabkan HIV.
”Kita berkesempatan menurunkan risiko penularan ke bayi dari 30-40 persen menjadi kurang dari 1 persen dengan program pencegahan ini. Tidak hanya pada masyarakat, tetapi juga pada petugas kesehatan yang dapat membantu menurunkan kasus HIV pada anak di Indonesia,” katanya.