Menjaga Keberlanjutan Sukses Inovasi di Awal Pandemi Covid-19
Keberhasilan pembentukan ekosistem inovasi di awal pandemi menunjukkan bangsa Indonesia mampu melahirkan inovasi. Keberlanjutan sukses itu perlu dijaga dengan melibatkan semua pihak secara bergotong royong.
Di tengah ketidakpastian akhir pandemi Covid-19, dunia dihadapkan pada krisis pangan dan energi. Inflasi dan resesi ekonomi yang memicu ketidakstabilan politik di beberapa negara membuat pemenuhan kebutuhan dasar menjadi menantang. Namun, kondisi itu juga bisa menjadi peluang untuk mendorong riset dan inovasi agar lebih maju lagi.
Terganggunya rantai pasok global obat dan alat kesehatan di awal pandemi Covid-19 tahun 2020 membuat Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) waktu itu bergerak cepat mengoordinasi semua lembaga riset dan perguruan tinggi untuk membuat berbagai produk kesehatan yang dibutuhkan dalam menangani Covid-19.
Dengan tujuan terarah, penugasan yang gamblang, pendanaan yang jelas, sistem keuangan riset yang dipermudah, hingga koordinasi lintas keilmuan dan lembaga yang lincah memacu lahirnya banyak inovasi dalam waktu singkat dan kondisi terbatas. Dukungan penuh lembaga sertifikasi membuat berbagai inovasi itu bisa segera diserap pasar sekaligus membantu masyarakat.
Inovasi di awal pandemi itu antara lain menghasilkan bahan dan alat uji cepat antigen, ventilator, laboratorium uji bergerak, aneka suplemen kesehatan, ruang isolasi portabel, robot pembersih ruang isolasi, hingga vaksin. Sebagian inovasi itu sudah tidak digunakan seiring terkendalinya penyebaran Covid-19, tetapi sebagian justru baru akan dipergunakan seperti vaksin.
Baca Juga: Ekosistem Inovasi
Tak hanya itu, berbagai riset terkait pandemi Covid-19 terutama tentang epidemiologi dan perilaku juga banyak dilakukan. Hasil riset itu banyak dijadikan dasar pengambilan kebijakan dan edukasi masyarakat, khususnya terkait pelaksanaan peraturan pembatasan kegiatan masyarakat.
Kini, tingkat keparahan penyakit dan kematian akibat Covid-19 lebih terkendali meski dampaknya masih cukup terasa, khususnya di bidang ekonomi dan kesehatan masyarakat. Saat ekonomi negara-negara belum pulih, perang Rusia-Ukraina terjadi yang memicu kenaikan harga pangan dan energi global.
Belum pulihnya ekonomi membuat jumlah pengangguran terus bertambah yang di Indonesia justru banyak diisi pengangguran lulusan perguran tinggi dan usia produktif. Belum lagi pemutusan hubungan kerja juga masih terjadi. Situasi suram itu sejatinya bisa menjadi peluang lahirnya inovasi yang bisa membuka lapangan kerja sekaligus memenuhi kebutuhan masyarakat.
”Riset dan inovasi terkait optimasi hasil pangan, teknologi pascapanen dan pengolahan pangan beserta segala diversivikasinya penting untuk dikedepankan pada 2023,” kata Ketua Lembaga Pengembangan Inovasi dan Kewirausahaan Institut Teknologi Bandung R Sugeng Joko Sarwono, Rabu (23/11/2022).
Untuk bidang energi, riset inovasi energi baru dan terbarukan berbasis solar serta arus sungai dan laut juga diprediksi meningkat. Demikian pula inovasi teknologi alat transportasi listrik beserta segala penunjangnya mengingat kebijakan pemerintah sekarang mendorong transisi dari kendaraan berbasis mesin pembakaran internal (internal combustion engine) ke kendaraan listrik (electrical vehicle).
Ketidakjelasan akhir pandemi membuat riset dan inovasi teknologi farmasi, khususnya terkait obat-obatan dengan bahan baku yang tersedia di Indonesia serta obat-obatan herbal, juga akan terus berkembang. Sementara riset alat kesehatan juga diyakini akan terus berkembang, terutama untuk menggantikan alat kesehatan impor yang digunakan di daerah-daerah.
”Teknologi omics terkait kode genetika manusia atau makhluk hidup, seperti untuk pengurutan genom lengkap (genome sequencing) serta teknologi bioinformatika juga akan semakin strategis perannya di masa depan,” tutur Joko.
Baca Juga: Inovasi dan Investasi
Semua jenis riset dan inovasi yang akan semakin berkembang di tahun depan itu akan berbasis pada kecerdasan artifisial, mesin pembelajar (machine learning), hingga mahadata. Karena itu, tersedianya sumber daya manusia berkualitas dalam bidang teknologi informasi akan semakin penting.
Jebakan kelas menengah
Pentingnya mendorong inovasi itu bukan semata untuk memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) semata, tetapi justru untuk mendorong agar Indonesia keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah. Hanya dengan ekonomi yang didorong oleh inovasi, Indonesia diyakini bisa melompat menjadi negara maju sejajar dengan bangsa-banga lain.
Sudah sejak 1985 atau hampir 40 tahun terakhir, Indonesia berada di kelompok negara berpendapatan menengah. ”Untuk menjadi negara maju pada 100 tahun kemerdekaannya tahun 2045, Indonesia harus bisa meningkatkan pendapatan per kapitanya yang saat ini mencapai 4.000 dollar AS menjadi 12.000 dollar AS,” kata Gatot Dwianto, anggota Next Federation, lembaga yang mendorong integrasi dan transformasi sumber daya industri global.
Lompatan pendapatan per kapita itu hanya bisa terjadi jika pertumbuhan ekonomi di dorong oleh inovasi, tidak bisa hanya bertumpu pada ekspor komoditi. Untuk mendorong inovasi, maka peran parapihak dalam pentaheliks atau pemerintah, media, akademisi, bisnis, dan komunitas (GMABC) sama-sama besar.
Keberhasilan sinergi GMABC di awal pandemi tidak hanya bisa menghasilkan produk-produk inovasi, tetapi juga membentuk ekosistem inovasi yang terarah. Setelah peleburan Kemenristek ke Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, kini Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) punya andil besar dalam mengorkestrasi para pihak yang terlibat inovasi.
Kebebasan sains
Namun, perombakan ekosistem riset bisa merenggut kebebasan sains peneliti. Pada awal 2022, dunia sains menjadi sorotan karena peleburan sejumlah lembaga riset ke dalam BRIN. Langkah ini dianggap sebagai kemunduran dunia sains Indonesia karena setiap lembaga riset punya ekosistem riset berbeda.
Pada September 2022, peneliti orangutan sekaligus Direktur Borneo Futures, Erik Meijaard, dan empat peneliti lain dicekal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan karena publikasi mereka dinilai mendiskreditkan pemerintah.
Fenomena itu bukti terenggutnya hak serta kebebasan sains sejumlah peneliti. Wakil Ketua Kelompok Kerja Sains dan Masyarakat Akademi Ilmuwan Muda Indonesia Herlambang Wiratraman menuturkan, ”Para peneliti merasa kini riset jauh lebih sulit karena keterbatasan pembiayaan dengan skema baru di BRIN. Kerja sama riset dengan jaringan di luar negeri makin rumit prosesnya.”
Percepatan riset dan inovasi di tahun depan akan sulit mencapai target apabila kondisi ini tanpa perbaikan signifikan. Jadi, pemerintah dan pihak terkait mesti menjamin kebebasan sains peneliti demi tumbuh kembang ekosistem riset.
Baca Juga: Lembah Kematian Inovasi
”Ekosistem riset yang maju bisa dilahirkan dari perjumpaan gagasan. Situasi tak akan berubah apabila semua peneliti terdisiplinkan dan sikap kritis dimatikan,” ucap Herlambang, Rabu (23/11).
Kepala BRIN Laksana Tri Handoko menyebut ekosistem riset di Indonesia belum pernah terbentuk. Hal ini ditandai jumlah paten dari peneliti Indonesia amat rendah. Peleburan sejumlah lembaga riset ke dalam BRIN merupakan transisi fundamental untuk membentuk ekosistem riset yang benar demi melahirkan inovasi.
Pentingnya melahirkan inovasi, bukan sekadar invensi atau riset, itu merupakan amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Karena itu, riset seharusnya tidak sekadar mengejar publikasi ilmiah atau paten semata, tetapi bisa menghasilkan produk inovasi yang mampu memenuhi kebutuhan pasar.
Untuk mendukung inovasi itu, tidak hanya dibutuhkan periset dan perekayasa, tetapi juga technopreneur atau wirausahawan teknologi. Di berbagai negara, upaya itu diwujudkan dengan pembentukan taman sains dan teknologi atau science and technopark (STP) untuk menginkubasi munculnya calon-calon technopreneur baru.
Di awal pemerintahan Presiden Joko Widodo, pemerintah sempat mencanangkan pembangunan 100 STP, baik yang dikelola lembaga penelitian maupun perguruan tinggi. Namun, sejak peleburan berbagai lembaga penelitian ke dalam BRIN, STP pun mati suri. Terlebih, sejak dibentuk lebih dari setahun lalu, BRIN masih fokus dalam penataan organisasi dan sumber daya.
”Di luar negeri, untuk membentuk STP yang matang rata-rata perlu 30 tahun,” kata Gatot. Namun, China hanya butuh sekitar 20 tahun agar STP yang dibangunnya sejak 1994 mampu menghasilkan aneka produk inovasi ”made in China” yang kini menguasai pasar dunia, mulai dari berbagai merek gawai, peranti elektronik, industri otomotif, hingga industri antariksa.
Potensi Indonesia untuk menghasilkan technopreneur itu sangat besar mengingat Indonesia saat ini berada di era bonus demografi dengan 70 persen populasinya adalah penduduk usia produktif.
Selain itu, 26 persen penduduk adalah generasi milenial (Y) dan 28 persen penduduk dari generasi Z. Limpahan penduduk usia muda membuat Indonesia tidak kekurangan tenaga produktif dan kreatif seperti yang dialami sejumlah negara maju.
”Pembentukan ekosistem inovasi itu mutlak diperlukan sebab Indonesia tidak bisa hanya menunggu transfer teknologi dari negara lain karena semua negara saling bersaing,” kata Gatot.
Jaga kepercayaan
Oleh karena itu, ekosistem inovasi yang sudah terbentuk di awal pandemi perlu dipertahankan dan diperkuat. Kebijakan yang baik seharusnya tetap berjalan dalam kondisi apa pun, tanpa peduli siapa yang menjadi pemimpin. Namun, berkaca dari sejarah politik Indonesia, hal itu menjadi tantangan berat.
Jepang yang tahun 1945 hancur akibat perang, kini menjadi negara dengan kekuatan ekonomi terbesar ketiga dunia, bahkan sempat menjadi nomor dua sebelum China menyalip. Kunci keberhasilan Jepang adalah terjaganya konsistensi kebijakan terkait riset dan inovasi meski perdana menteri atau pemerintah silih berganti.
Baca Juga: Jaga Keberlanjutan Inovasi
Prinsip itu seharusnya bisa ditiru Indonesia. Riset dan inovasi seharusnya tidak bergantung pada siapa presiden atau partai politik yang berkuasa karena semua pimpinan politik seharusnya memiliki visi yang sama untuk menyejahterakan bangsa melalui inovasi. Siapa pun yang menjadi pemimpin negara, keberpihakan terhadap inovasi dalam negeri harus selalu ada.
Keberpihakan itu salah satunya bisa diwujudkan dengan menggunakan produk-produk inovasi karya anak bangsa, apa pun kondisinya, bukan malah mendorong penggunaan inovasi bangsa lain demi kepentingan kelompok tertentu atau tekanan intervensi asing. Pola itu juga dijalankan China. Meski semula kualitas produknya rendah, kini produk China mampu bersaing dengan produk negara maju.
Kepercayaan bahwa bangsa ini mampu dan memiliki kompetensi untuk bisa memberi solusi atas masalah bangsa perlu terus ditingkatkan.
Menurut Joko, keberpihakan itu juga bisa diwujudkan dengan memperbanyak program-program inovasi penugasan yang dikerjakan secara kolaboratif antarpeneliti dan perekayasa dari berbagai institusi, seperti di awal pandemi. Karya yang diinovasikan adalah produk-produk yang memang dibutuhkan masyarakat atau pasar hingga kemanfaatan produk lebih cepat dirasakan.
Selain itu, program-program pendanaan riset bersifat kompetisi, seperti yang selama ini berlangsung, perlu dikurangi. Program pendanaan yang kompetitif dari pemerintah ataupun lembaga lain justru akan membuat inovasi tidak fokus, tidak sesuai kebutuhan pasar, hingga sulit berdampak cepat bagi kesejahteraan masyarakat. Namun, pendanaan kompetitif bisa dilakukan untuk riset-riset frontier atau dasar.
Keberpihakan pemerintah di awal pandemi yang bisa diteruskan adalah diberikannya kepercayaan penuh kepada lembaga riset dan inovasi, termasuk yang ada di perguruan tinggi, untuk menghasilkan inovasi yang membantu menyelesaikan masalah bangsa. Kepercayaan itu makin besar dengan dibebaskannya periset untuk berkolaborasi dengan peneliti lain secara setara dari dalam maupun luar negeri.
”Kepercayaan bahwa bangsa ini mampu dan memiliki kompetensi untuk bisa memberi solusi atas masalah bangsa perlu terus ditingkatkan,” kata Joko.
Meski demikian, berbagai persoalan klasik terkait riset dan inovasi perlu segera dituntaskan agar tidak menghambat dan menurunkan semangat peneliti dan perekayasa. Proses pendanaan riset yang lebih terfokus pada proses keuangan alias memandang riset sebagai proyek perlu digeser dengan basis keluaran atau hasil.
Pola itu akan membuat peneliti dan perekayasa tidak lagi terlalu disibukkan dengan urusan administrasi riset daripada menyelesaikan substansi riset. ”Memang tidak semua perguruan tinggi bisa disamaratakan untuk menerapkan metode ini, tetapi bisa dipilih berdasarkan kesiapan masing-masing perguruan tinggi,” ujarnya.
Kini, semua berpulang kepada pemerintah, khususnya BRIN sebagai lembaga tunggal yang mengelola penelitian, pengembangan, pengkajian, hingga penerapan iptek. Sebagai bangsa besar dan digadang-gadang akan menjadi kekuatan ekonomi terbesar dunia kelima, riset dan inovasi Indonesia masih jauh tertinggal, bahkan dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lain.
Ke mana riset dan inovasi Indonesia akan dibawa dalam 25 tahun mendatang? Target-target ambisius apa yang sudah dirancang dan bagaimana upaya mewujudkannya? Rencana-rencana itulah yang kini sedang ditunggu melalui Grand Design Visi Pencapaian Iptek Indonesia yang tengah disusun BRIN. Kalaupun rencana besar itu sudah ada, konsistensi pelaksanaannya perlu dijaga.
Jika keberlanjutan rencana itu tidak terjaga, riset dan inovasi berjalan biasa-biasa saja, Indonesia akan semakin sulit keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah. Untuk itu, GMABC perlu bekerja keras bersama-sama. Tidak boleh satu pihak merasa mampu menyelesaikan semua persoalan sendiri karena sejatinya gotong royonglah yang menjadi kekuatan utama bangsa ini.