Catatan Kaki dari Masyarakat Sipil untuk Bidang Kesehatan
Masyarakat sipil punya peran penting untuk memastikan komitmen yang disepakati oleh negara anggota G20. Hal ini termasuk komitmen pada bidang kesehatan agar bisa terealisasi dengan baik dan dijalankan secara inklusif.
Konferensi Tingkat Tinggi atau KTT G20 Presidensi Indonesia telah usai. Namun, itu tidak berarti komitmen yang disepakati oleh negara-negara anggota juga selesai. Akhir Presidensi G20 Indonesia tahun ini justru menjadi awal untuk menindaklanjuti komitmen yang telah disepakati.
Presidensi G20 Indonesia telah mengusung tiga agenda prioritas, yakni transisi energi berkelanjutan, transformasi digital, dan arsitektur kesehatan global. Penguatan arsitektur kesehatan global menjadi salah satu isu penting karena dengan itu pemulihan global pascapandemi bisa terjadi secara inklusif.
Ada harapan juga dunia bisa lebih siap menghadapi pandemi berikutnya di masa yang akan datang. Dengan begitu, sekalipun pandemi kembali terjadi, dunia lebih siap. Dampak yang dihasilkan pun tidak membuat dunia kembali terpuruk.
Apresiasi diberikan oleh banyak pihak akan komitmen politik terhadap penguatan arsitektur kesehatan global yang dihasilkan dalam KTT G20. Komitmen berupa deklarasi di tengah ketegangan geopolitik saat ini bukan hal mudah yang bisa dihasilkan. Meski begitu, para pemimpin G20 tetap dituntut agar kesepakatan itu bisa dilanjutkan pada presidensi berikutnya dan diimplementasikan dengan baik hingga berdampak pada masyarakat luas.
Presiden Joko Widodo saat membuka sesi kedua KTT G20 tentang kesehatan di Bali, Selasa (15/11/2022), mengatakan, dunia tidak boleh mengulang kesalahan yang sama saat pandemi Covid-19. Dunia harus belajar untuk menyiapkan kondisi darurat kesehatan global berikutnya. ”Never again harus jadi mantra kita bersama,” katanya.
Baca juga: G20 dan Arsitektur Kesehatan Global
Ia menuturkan, pandemi Covid-19 telah membuktikan dunia tidak siap menghadapi pandemi. Dunia pun ternyata tidak memiliki arsitektur kesehatan yang andal untuk mengelola pandemi. Itu sebabnya, ketahanan komunitas internasional harus diperkuat untuk menghadapi pandemi.
Menurut Presiden Jokowi, ketika sistem ketahanan global bisa lebih andal, dunia pun bisa lebih siap menghadapi krisis secara inklusif dan berkeadilan. ”Pandemi tidak boleh lagi memakan banyak korban. Pandemi juga tidak boleh lagi meruntuhkan sendi-sendi perekonomian global,” ucapnya.
Komitmen kesehatan
Dalam upaya penguatan arsitektur kesehatan global setidaknya ada lima aksi kunci yang disepakati bersama. Pertama, terbentuknya Dana Pandemi atau yang sebelumnya disebut sebagai dana perantara keuangan (FIF) untuk pencegahan, kesiapsiagaan, dan respons pandemi. Hingga akhir penutupan KTT G20 Presidensi Indonesia pada 16 November 2022, telah terkumpul komitmen untuk Dana Pandemi sebesar 1,5 miliar dollar AS dari 24 donor, baik dari negara anggota G20, negara non-G20, dan lembaga filantropi.
Dunia harus belajar untuk menyiapkan kondisi darurat kesehatan global berikutnya. ”Never again harus jadi mantra kita bersama.” (Joko Widodo)
Kedua, memformalkan akselerator akses kebutuhan untuk Covid-19 (ACT-A). Dari evaluasi yang sudah dilakukan, ACT-A dibutuhkan untuk mengakomodasi kebutuhan kesehatan ketika pandemi terjadi sehingga perlu diperkuat.
Ketiga, penguatan pada surveilans genomik. Hal ini dianggap penting sebagai sistem peringatan dini dari patogen, seperti virus, bakteri, dan parasit, yang muncul di masyarakat. Dengan cepat mengidentifikasi, penanganan diharapkan bisa semakin cepat. Berbagi data genomik juga turut dibahas dalam KKT G20 kali ini.
Keempat, kesepakatan akan pentingnya protokol kesehatan global. Itu bisa diwujudkan dalam sertifikat perjalanan berbasis digital untuk kesehatan. Lewat sistem ini, diharapkan ketika terjadi pandemi di masa depan tidak akan membatasi pergerakan sektor esensial. Hasil dari kesepakatan ini juga akan diajukan dalam pertemuan kesehatan dunia (WHA) untuk dilakukan revisi mengenai sertifikat perjalanan digital.
Baca juga: Butuh Komitmen Berkelanjutan untuk Keberhasilan Dana Pandemi
Kelima, analisis terkait kesenjangan serta pemetaan jaringan penelitian dan manufaktur di bidang kesehatan. Sejumlah negara anggota G20, terutama negara di bagian selatan, telah setuju membangun jaringan dalam penelitian dan manufaktur untuk vaksin, terapi, dan alat diagnostik. Negara tersebut meliputi Afrika Selatan, Turki, Arab Saudi, India, Indonesia, Afghanistan, dan Brasil.
Selain itu, aksi konkret lain juga dihasilkan dari acara pendamping, yakni mengenai tuberkulosis, resisten antibiotik, dan ”One Health”. Aksi konkret yang dihasilkan berupa komitmen pendanaan juga upaya bersama untuk mencegah, mendeteksi, dan merespons ketiga masalah kesehatan tersebut.
Keberlanjutan
Aksi kunci tersebut telah disepakati oleh semua negara anggota G20. Itu artinya, setiap negara anggota seharusnya juga berkomitmen untuk memastikan aksi tersebut bisa berlanjut dan terimplementasi dengan baik. Seluruh pihak pun diharapkan bisa berperan untuk mengawasi implementasi dari komitmen tersebut, termasuk kelompok masyarakat sipil.
Catatan pun diberikan oleh sejumlah kelompok masyarakat sipil untuk penguatan arsitektur kesehatan global yang dibahas dalam KTT G20. Pendiri Center of Indonesia’s Strategic Development Inisiatif (CISDI) Diah S Saminarsih menyampaikan, komitmen politik yang telah dikemukakan pada KTT G20 Presidensi Indonesia harus dipastikan keberlanjutannya pada presidensi G20 berikutnya. Hal penting yang harus dipastikan tersebut adalah mengenai penyelesaian ketimpangan kapasitas pencegahan, kesiapsiagaan, dan respons pandemi serta penguatan pada ketahanan kesehatan secara menyeluruh.
Baca juga: Lima Isu Prioritas Dibahas pada Pertemuan Kedua Menteri Bidang Kesehatan
Khusus terkait Dana Pandemi, Diah mengungkapkan, peran publik dan masyarakat sipil dibutuhkan untuk mengawasi penggunaan sumber dana tambahan tersebut agar berjalan baik dan transparan. Penetapan prioritas Dana Pandemi membutuhkan konsultasi dan partisipasi dari penerima manfaat untuk dapat merepresentasikan kebutuhan mereka. Dengan cara ini diharapkan juga tidak berisiko mengulang Kembali ketidakadilan struktural pembiayaan kesehatan global.
”Peran masyarakat sipil diperlukan dalam pengambilan keputusan guna memastikan Pandemic Fund merefleksikan semangat inklusi dan kesetaraan. Pendanaan ini harus bisa bermanfaat dan mencapai negara-negara hingga komunitas-komunitas yang membutuhkannya,” tutur Diah.
Catatan lain juga disampaikan oleh Sangeeta Shashikant dari Third World Network. Ia mengatakan, kesepakatan terkait pembagian data genomik antarnegara harus dipertimbangkan secara matang. Selain berbagi data (data sharing), perlu dipastikan adanya prinsip berbagi manfaat (benefit sharing). Jika hanya berbasis prinsip berbagi data, itu dikhawatirkan berpotensi menimbulkan penyalahgunaan data oleh produsen dengan memanfaatkan sistem perlindungan kekayaan intelektual.
Ia mencontohkan, jika terdapat potensi virus di Indonesia kemudian info itu dibagikan ke jejaring laboratorium milik perusahaan farmasi tanpa ada ketentuan prinsip berbagi manfaat, kemungkinan besar vaksin atau produk yang dikembangkan oleh perusahaan farmasi terkait data tersebut akan diserahkan ke Indonesia sebagai barang komersial dan dijual dengan harga tinggi. Tujuan untuk mengatasi ketimpangan akan akses vaksin atau produk kesehatan lain pun tidak bisa terwujud.
”Untuk itu, diperlukan kerangka kerja yang jelas, yang meletakkan akses materi genetik dan informasi atau data genomik dan pembagian manfaat pada posisi yang sejajar. Komitmen pembagian data genomik telah dihasilkan, tetapi belum ada kejelasan tentang mekanisme benefit sharing,” kata Sangeeta.
Sementara Koordinator Kelompok Kerja Akses Vaksin dan Kesehatan Global Civil 20 Agung Prakoso menyampaikan, perluasan manufaktur vaksin di dalam G20 yang disepakati dalam presidensi G20 Indonesia merupakan hal yang amat baik. Sayangnya, kesepakatan itu masih berkutat pada analisis ketimpangan manufaktur.
Baca juga: Pemimpin Dunia Diminta Mendengarkan Aspirasi Masyarakat Akar Rumput
Ia menuturkan, diskusi dan pemaparan mengenai potensi manufaktur di negara-negara G20 sudah disampaikan, tetapi potensi tersebut tidak bisa dimaksimalkan karena aturan TRIPS atau kekayaan intelektual. ”Pemerintah masih merasa bahwa aturan kekayaan intelektual ini bukan masalah besar bagi manufaktur sehingga tidak termasuk di dalam diskusi-diskusi G20,” ucap Agung.
Catatan-catatan dari masyarakat sipil tersebut diperlukan sebagai pengawas atas komitmen yang telah diserukan oleh G20. Kerja sama dan keterlibatan banyak pihak diperlukan untuk membangun fondasi kesehatan global yang lebih kuat. Itu dimaksudkan agar tujuan kesetaraan dan keadilan benar-benar tercapai. Pandemi Covid-19 pun telah memberikan pelajaran bahwa no one is safe until everyone is, tidak ada satu pihak pun yang akan aman sampai semua aman.