Kurikulum Merdeka memusatkan pembelajaran pada siswa dalam mengembangkan potensinya. Hal ini membantu mengasah kreativitas siswa di sekolah.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Kurikulum Merdeka memberikan keleluasaan pada peserta didik untuk menentukan tema pembelajaran sesuai kompetensi yang diminati. Hal ini mengasah kreativitas siswa dalam mengembangkan proyek pembelajaran.
Guru dan siswa di sejumlah sekolah di Kupang, Nusa Tenggara Timur, cukup antusias menerapkan Kurikulum Merdeka dalam setahun terakhir. Meski menghadapi beragam keterbatasan, sekolah mulai terbiasa menerapkan kurikulum tersebut.
Kepala Sekolah Dasar (SD) Negeri Bertingkat Naikoten, Kota Kupang, Marthina Amaral mengatakan, Kurikulum Merdeka membuat pembelajaran di kelas tidak lagi satu arah. Siswa menjadi lebih aktif dalam menggali pengetahuan sesuai tema yang disukai.
”Siswa menentukan topik dan proses pembelajarannya. Hal ini mengasah kreativitas mereka karena tidak lagi berpatok pada keinginan guru. Dalam sistem ini, guru menjadi fasilitator,” ujarnya, di Kupang, Senin (28/11/2022).
Dalam mengembangkan pembelajaran bertema kearifan lokal, misalnya, siswa merancang selendang tenun khas NTT untuk dipakai setiap Selasa dan Jumat. Sekolah juga menyediakan waktu untuk menampung ide-ide siswa saat apel pagi sebelum memulai pembelajaran.
Siswa yang minat literasi difasilitasi untuk menulis cerita pendek. Bahkan, tulisan dari 25 siswa dirangkum dan diterbitkan menjadi buku pada Desember mendatang.
”Dengan menerbitkan buku, para siswa juga berkontribusi untuk memajukan literasi di sekolah. Ini salah satu dampak dari Kurikulum Merdeka yang membuat peserta didik antusias mengembangkan potensinya,” ucapnya.
Kepala Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 11 Kota Kupang Warmansyah menyebutkan, Kurikulum Merdeka mendorong siswa lebih termotivasi dalam pembelajaran. Sebab, siswa tak sekadar memperoleh pengetahuan, tetapi juga mendapatkan pengalaman dalam memahami materi pelajaran.
Kurikulum Merdeka membuat pembelajaran di kelas tidak lagi satu arah. Siswa menjadi lebih aktif dalam menggali pengetahuan sesuai tema yang disukai.
”Selain di dalam kelas, pembelajaran juga dilakukan di luar kelas dalam bentuk proyek kerja. Materi pelajaran fokus pada hal-hal esensial yang diminati siswa,” ucapnya.
Warmansyah mencontohkan, siswa di sekolahnya pernah mempraktikkan pembuatan sabun cuci tangan berbahan daun kelor. Siswa mencari bahan-bahannya secara mandiri. Setelah itu, mereka bekerja sama untuk membuat sabun di sekolah.
”Roh dari kurikulum ini adalah pelibatan siswa dalam pembelajaran. Dengan begitu, anak-anak jadi lebih santai dan tidak terbebani dalam memahami sesuatu,” jelasnya.
Salah satu implementasi Kurikulum Merdeka di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 5 Kota Kupang adalah proyek pembelajaran bertema suara demokrasi. Dalam proyek ini, siswa menyimulasikan proses pesta demokrasi, mulai dari dinamika di partai politik hingga pemungutan suara saat pemilihan umum.
”Mereka merancangnya dengan serius, bahkan sampai membuat bilik suara yang menggambarkan proses pemilu,” ujar Kepala SMA Negeri 5 Kota Kupang Veronika Wawo.
Tantangan transformasi digital
Kurikulum Merdeka juga membuat guru dapat mengakses berbagai materi dan praktik pembelajaran melalui Platform Merdeka Mengajar. Platform ini memungkinkan bagi guru di Tanah Air untuk berbagi konten pembelajaran.
Menurut Veronika, salah satu tantangan transformasi pendidikan berbasis digital itu adalah keterbatasan fasilitas. Sekolah tersebut, misalnya, hanya mempunyai 50 komputer untuk 1.400 siswa.
”Selain itu, masih ada sekitar 10 persen siswa belum mempunyai gawai. Jadi, ketika ada ujian daring, mereka datang ke sekolah untuk ujian di kelas,” ujarnya.
Sebelumnya, Kepala Pusat Data dan Teknologi Informasi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) M Hasan Chabibie mengatakan, saat ini di platform Merdeka Mengajar terdapat sekitar 50.000 konten belajar. Jumlahnya diharapkan meningkat dua kali lipat tahun depan.
Konten-konten itu bisa diakses secara luas oleh guru di seluruh Indonesia. Jadi, referensi pembelajaran makin banyak dan bervariasi.
Akan tetapi, sejumlah guru masih terkendala dalam memaksimalkan platform ini. Guru SD Negeri Bertingkat Naikoten, Victhoria, misalnya, mengaku kesulitan dalam membuat video konten atau bukti karya pembelajaran.
Sebab, ia tidak mempunyai bekal kompetensi membuat video. Menurut dia, diperlukan tim teknologi informasi khusus untuk membantu guru merancang video pembelajaran yang bermutu.
”Guru punya banyak ide, tetapi terkendala untuk membuat video yang bagus. Jadi, untuk sementara, yang penting unggah saja dulu,” katanya.