Hasil COP27 Bantu Indonesia Atasi Dampak Krisis Iklim
Sistem pendanaan kehilangan dan kerusakan dari COP27 diharapkan akan mampu menurunkan potensi di dalam negeri akibat dampak negatif perubahan iklim.
Oleh
HIDAYAT SALAM
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Konferensi Para Pihak tentang Perubahan Iklim Ke-27 atau COP27 di Sharm El-Sheikh, Mesir, beberapa waktu menghasilkan kesepakatan penting terkait mekanisme pendanaan untuk kehilangan dan kerusakan. Pendanaan ini akan diberikan kepada negara berkembang dan kecil yang terdampak krisis iklim. Mekanisme pendanaan tersebut diharapkan dapat membuat Indonesia lebih mudah mengakses dan mendapatkan bantuan teknis dari penanganan dampak krisis iklim.
Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Laksmi Dhewanthi mengatakan, disepakatinya kelembagaan Santiago Network dan skema pendanaan kehilangan dan kerusakan (loss and damage) ini telah memberi kemajuan yang sangat berarti.
Melalui pendanaan ini, diharapkan dapat membantu negara berkembang yang rentan terhadap dampak bencana hidrometeorologi. ”Meskipun Indonesia sudah berkomitmen dan melaksanakan upaya adaptasi secara maksimal, kerugian (kehilangan) dan kerusakan masih bisa terjadi,” katanya saat konfrensi pers di Jakarta, Senin (28/11/2022).
Dengan demikian, keberadaan sistem pendanaan kehilangan dan kerusakan ini diharapkan akan mampu menurunkan potensi di dalam negeri akibat dampak negatif perubahan iklim.
Jangan sampai ada negosiasi dari komitmen pendanaan loss and damage yang mengarah pada ketidaksungguhan untuk menghentikan penggunaan energi fosil, yakni batubara.
Saat ini secara spesifik pengaturan kelembagaan Santiago Network itu masih terus didiskusikan. Hal ini karena dalam pembahasan sebelumnya belum disepakati terkait pengaturan pendanaan (funding arrangement) dan sumber-sumber pendanaannya.
Kesepakatan tentang pendanaan untuk kehilangan dan kerusakan nantinya akan ditindaklanjuti dengan pembentukan komite transisi Sekretariat Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC). Komite transisi akan membuat rekomendasi terkait operasionalisasi dari pengaturan pendanaan baru untuk kehilangan dan kerusakan yang akan dibahas dalam COP28 tahun depan.
Sebelumnya terdapat dua hasil kesepakatan penting dalam COP27, meliputi pengaturan pendanaan kehilangan dan kerusakan untuk negara berkembang mengatasi krisis iklim dan program Kerja Mitigasi 2022-2026 yang dikhususkan untuk mempercepat penurunan emisi gas rumah kaca pada tahun 2030 mendatang.
Dihubungi secara terpisah, Tata Mustasya, Kepala Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, menerangkan, memang ada kabar baik dengan adanya komitmen negara-negara maju untuk pendanaan kehilangan dan kerusakan akibat perubahan iklim. Namun, ia menekankan hal yang lebih penting ialah memantau lebih lanjut terkait implementasinya, terutama soal jumlah pendanaan.
Hal ini mengingat pada 2009 lalu, negara-negara maju setuju untuk menyediakan pendanaan hingga 100 miliar dollar AS per tahun untuk membantu transisi negara-negara berkembang ke sistem energi hijau dan beradaptasi dengan perubahan iklim. Namun, sampai saat ini, inisiatif itu tidak pernah sepenuhnya dijalankan.
Menurut Tata, yang masih menjadi tantangan terbesar ialah tidak adanya komitmen untuk menghentikan total penggunaan energi fosil, terutama batubara. Padahal, untuk bisa mencegah krisis iklim dan kenaikan suhu tidak melampaui 1,5 derajat celsius, negara-negara harus melakukan penghentian (phase out) PLTU batubara di tahun 2040.
”Jangan sampai ada negosiasi dari komitmen pendanaan loss and damage yang mengarah pada ketidaksungguhan untuk menghentikan penggunaan energi fosil, yakni batubara. Sebab, pada kesepakatan COP26 di Glasgow lalu tidak ada komitmen untuk phase out batubara,” ucap Tata.
Sebelumnya, Guru Besar IPB University Daniel Murdiyarso menjelaskan, kebijakan iklim Indonesia belum berpihak pada energi baru dan terbarukan (EBT) yang potensinya amat besar. Saat ini EBT hanya mengambil porsi 13,3 persen dalam bauran energi, masih jauh dari target 23 persen di 2025.
Namun, sebaliknya, batubara diberi porsi 61 persen dan tetap mendominasi pembangkitan listrik di Indonesia. Apalagi, masih akan meningkat hingga 64 persen di 2030. Padahal untuk mencapai 1,5 derajat celsius, seharusnya porsi batubara diturunkan hingga 10 persen di 2030 dan dihapuskan di 2040 (Kompas, 9/11/2022).